Kegiatan yang sangat menjengkelkan bagi saya adalah saat mengusir Tikus. Hewan yang sangat saya benci sejak dulu. Bagaimana tidak benci? Saya ingat waktu itu. Tepatnya satu minggu menjelang lebaran saya dibelikan baju baru oleh kakak saya. Belum sampai tiga malam di lemari, baju baru yang sudah saya bayangkan dipakai di hari lebaran itu rusak digigit Tikus. Saya heran, karena hanya satu baju itu saja yang dirusak. Sejak saat itulah saya mendeklarasikan diri untuk perang melawan tikus.
Perang melawan tikus bagi saya bukanlah perkara yang mudah. Apalagi setiap berhadapan langsung dengan tikus, tak jarang saya yang kabur dan teriak minta tolong. Bukannya takut, tapi karena “jijik” saja melihatnya. Lebih baik saya angkat kaki dan memberikan jalan ketika dia hendak kabur dari pada saya memukulkan tongkat yang sudah saya pegang.
Kenakalan Tikus ini bukan satu atau dua kali saja terjadi. Setelah pindah rumah pun juga masih menghadapi “keusilan” hewan satu ini. Ruang dapur saya pernah kebanjiran juga karena ulah Tikus. Apalagi samping dan belakang rumah saya adalah ladang yang biasa ditanami jagung dan ketela pohon. Sehingga tak jarang kawanan Tikus “nyasar” ke rumah saya.
Dia membuat lubang yang tembus ke tembok rumah. “Alhasil” ketika hujan lebat air mengalir deras lewat lubang tikus itu yang menyebabkan ruang dapur saya banjir. Perkara lubang Tikus tidak berhenti disitu saja, pernah suatu ketika Ular masuk ke dalam rumah gara-gara mengejar Tikus. Tentu ketika bertemu dengan hewan melata itu lebih mengerikan lagi bagi saya.
Kemudian lampu kamar mandi juga pernah padam gara-gara kabelnya putus digigit Tikus. Sehingga malam hari terpaksa kencing dalam suasana kegelapan. Pokoknya banyak sekali masalah yang ditimbulkan oleh hewan tersebut.
***
Beberapa waktu yang lalu istri saya tiba-tiba “ngomel” sendiri. Dia “ngomel” karena keset lantai yang ada di kamar hilang seperempat bagian. Dugaannya, keset ini rusak karena dimakan Tikus. Sehingga seperti biasa, istri saya langsung memberikan tugas kepada saya untuk mengusir makhluk itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Sekali lagi, mengusir Tikus bagi saya bukan perkara yang mudah. Butuh penyelidikan yang agak rumit. Mulai dari mengintai jalan yang biasa dilalui, mencari tempat “nongkrongnya”, dan juga tempat istirahatnya. Jika sudah berhasil diselidiki maka bisa ditentukan strategi yang tepat untuk dilakukan pengusiran. Apakah memakai jebakan? Racun? ataukah cukup diusir?. Semua butuh pertimbangan yang matang.
Pernah suatu ketika saya tebar racun Tikus. Itu ternyata tidak menyelesaikan masalah, tapi malah menimbulkan masalah yang baru. Tak jarang saya harus merusak bagian rumah tertentu untuk mengambil bangkai si kecil menjengkelkan itu. Meskipun sudah menjadi bangkai, saya sebenarnya juga masih “geli” ketika melihat bentuk hewan itu. Jika sangat terpaksa, saya baru melakukan hal itu.
Tugas saya sebenarnya hanya menyelidiki sampai dengan eksekusi mati saja. Ketika sudah mati, maka tugas untuk mengambil bangkai itu adalah istri saya. Sedangkan bagian pembuangan bangkai ke sungai adalah anak saya yang pertama. Meskipun tidak tertulis, tapi “tupoksi” itu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Kecuali pada momen-momen tertentu, sayalah yang harus menyelesaikan semuanya. Ya karena sudah menjadi konsekuensi sebagai kepala keluarga.
Memang tidak salah ketika manusia menginginkan hidup yang tenang tanpa masalah. Seperti saya yang tidak ingin berhadapan lagi dengan hewan itu. Akan tetapi perlu diingat jika manusia hidup pasti selalu datang yang namanya masalah. Seperti Tikus yang selalu datang dan membuat masalah. Tugas kita sebenarnya adalah mencari strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu. Sehingga masalah yang kita hadapi bisa selesai tanpa menimbulkan masalah yang baru. Meskipun masalah itu pada akhirnya akan muncul kembali, maka sudah selayaknya kita juga menghadapi dan menyelesaikannya lagi. Begitu seterusnya. Kuncinya hanya satu, yaitu kesabaran.