Identitas Buku
Judul : Jangan Pulang jika Kamu Perempuan
Penulis : Riyana Rizki
Penerbit : Buku Mojok
Tebal : 156 halaman
Harga : Rp68.000,-
Tahun Terbit : Agustus, 2021
Kumpulan cerita pendek (cerpen) “Jangan Pulang jika Kamu Perempuan” karya Riyana Rizki berisikan dua belas cerpen dengan sepuluh sudut pandang perempuan dan dua sudut pandang laki-laki. Namun, seluruhnya mengerucut pada satu pertaruhan, yakni nasib manusia yang tak punya kuasa.
Sebagai cerpen pembuka—yang berjudul sama seperti judul buku ini—“Jangan Pulang jika Kamu Perempuan” menghadirkan satu premis. Jika kamu seorang perempuan yang telah dilarikan pada malam hari oleh seorang lelaki yang meniatkan dirinya menjadi suamimu, tapi kamu tak setuju dan kemudian memilih pulang ke rumah sendiri, celakalah dirimu.
Habislah harga dirimu, tak berguna lagi segala pencapaianmu sebagai seorang individu berjenis kelamin perempuan.
Di beberapa wilayah Indonesia, hal di atas merupakan potret realitas. Di sini, pengarang mereproduksi potret tersebut menjadi sebuah cerita bergaya bahasa ringan.
Terlepas dari teknik penceritaan yang minim kompleksitas, pengarang telah berhasil menyodorkan apa-apa yang dipotretnya. Pada bagian lain, pembaca akan dibuat terkikik oleh dekonstruksi dongeng yang digarap pengarang; semacam menciptakan sosok anti-hero dan memelintir alur sejumlah dongeng.
Teknik atau movitasi semacam ini tentulah bukan hal baru, dan bukan berarti serta-merta banal. Ia masih akan menjadi hal yang menantang untuk digarap, dan pengarang berhasil melalui tantangan tersebut dengan menyuguhkan kegetiran sebagai hasil dekonstruksinya.
Mari kembali ke premis dalam kumpulan cerpen ini: nasib manusia yang tak punya kuasa. Premis tersebut, dalam sekali baca akan lekas terpantul melalui isi cerita.
Selain itu, di setiap cerita, struktur kalimat disusun cenderung mudah dicerna—tak tampak usaha pengarang menyamarkan karakter para tokoh serta latar tempat ataupun waktu.
Dari temuan tersebut, muncullah asumsi bahwa pengarang secara sengaja menerangkan informasi-informasi yang membangun bagan cerita; dan tindakan tersebut ternyata membawa efek tertentu secara teknis.
Menjadikan ide atau gagasan sebagai pertaruhan karya, tampaknya membuat kumpulan cerpen setebal 156 halaman ini mengesampingkan teknik penceritaan.
Salah satu teknik tersebut, yang menurut saya tepat bila digunakan dalam kumpulan cerpen ini adalah teknik tunda—tentu saja ini adalah istilah yang tercetus secara arbitrer—dengan berfokus pada penyamaran detail informasi latar waktu dan tempat, dan/atau pun karakter tokoh.
Penyamaran tersebut seumpama tirai yang hadir berlapis-lapis dalam sebuah cerita. Mereka, tirai-tirai itu, akan menyedot perhatian pembaca agar lebih teliti mengurai benang merah cerita melalui singkapan lapis-lapis tirai.
Jika tidak teliti, pembaca tidak akan mampu menangkap secara jelas isi cerita. Saya pikir, inilah yang membuat sebuah karya sastra asyik dibaca berkali-kali pada waktu tertentu.
Sebab, dengan bekal referensi yang dinamis dalam kepala pembaca, tafsir pun besar kemungkinan akan bergerak—entah meluas samar-samar atau bahkan menyempit konkret.
Akan tetapi, kembali kepada buku “Jangan Pulang jika Kamu Perempuan”, teknik tersebut, toh, sebenarnya telah diupayakan juga oleh pengarang; meskipun dengan cara yang berbeda. Bacalah penggalan “Dongeng Pengantar Kematian” ini.
“… Bagaimana Saim ada di sana akan kuceritakan nanti. Tahan dulu penasaran kalian. Atau mungkin kalian sudah bisa menebaknya. Kalau sudah, tunda dulu berkomentar agar yang belum tahu tidak terganggu. Kulanjutkan ya….”
(Dongeng Pengantar Kematian, hal.114-115)
Teknik tunda di atas, yang dihadirkan melalui kalimat tak langsung—suara narator bersudut pandang impersonal serba tahu, begitu kental kelisanannya. Lebih dari itu, isi cerita yang tampak terang dan jelas sekali singkap, secara perlahan telah mendikte imajinasi pembaca.
Tak banyak ruang yang dihadirkan untuk ditafsir, dan ini terjelaskan karena pengarang tak berusaha menyamarkan detail-detail yang ada. Bagaimanapun, bagi pembaca umum, memahami isi cerita secara mudah dan cepat merupakan sebuah keriangan, pun kepuasan tersendiri.
Sayangnya, hal tersebut cenderung membuat pembaca cermat kehilangan gairah karena mereka biasanya menikmati teknik yang menantang pembacaan mereka. Meski begitu, tentu saja tidak memuaskan sekelompok pembaca bukan berarti secara mutlak karya tersebut jadi tak layak baca.
Karya-karya yang mengusung premis sejenis, nyatanya masih perlu digalakkan di negara yang belum becus menangkap kondisi dan kebutuhan masyarakatnya; masyarakat yang tak punya kuasa, bahkan atas dirinya sendiri.
Maka dari itu, sikap politis seorang pengarang yang secara sengaja dituang—atau pun tak sengaja tertuang—bukanlah tindakan berlebihan dalam kerja kreatifnya.
Namun, lantas mengesampingkan teknik bercerita bukan pula pilihan yang menguntungkan untuk sebuah cerita pendek; sebab teknik bercerita merupakan kunci dari keragaman tafsir atas karya.