“Kiprah Tirto Adhi Soerjo terekam sebagai “batu penjuru” bangunan pers dan pelopor pergerakan nasional. Ialah Sang Pemula.”
Agustus, bulan penting bagi segenap rakyat Indonesia. Tepatnya pada 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka dari penjajahan. Karena itu, nuansa perayaan pada sepanjang Agustus mudah ditemui di setiap sudut negeri.
Pada momen ini pula kita kembali melihat jauh ke belakang, di masa perjuangan kemerdekaan. Lazimnya, mata kita akan tertuju pada sosok Soekarno-Hatta yang menjadi Bapak Proklamator Kemerdekaan dengan segala perjuangannya plus sebab romantisir sejarah. Namun, jauh sebelum itu, perlawanan terhadap penjajahan Kolonial Belanda dan Jepang ternyata sudah ada. Kendati gaungnya masih kecil, namun dari sanalah lahir bibit perjuangan yang tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Ialah Tirto Adhi Soerjo yang menabur benih itu.
Siapakah Tirto? Dalam catatan sejarah, Tirto hidup pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia yakni pada 1880-1918. Kiprahnya terekam sebagai “batu penjuru” bangunan pers dan pelopor organisasi pergerakan nasional. Kendati masa hidupnya terbilang singkat, namun keberanian dan gagasan yang ditinggalkan hidup abadi. Perannya sebagai pelopor pergerakan nasional dan jurnalisme, membuka jalan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pelopor Pergerakan
Sungguh pun begitu, tonggak pergerakan nasional yang acap diajarkan di ruang-ruang kelas dan buku-buku sejarah tertuju pada organisasi Budi Utomo, yang berdiri pada 20 Mei 1908. Padahal, jika ditilik lebih tajam dan jernih, bibit pergerakan nasional sudah ada sebelum Budi Utomo lahir. Organisasi itu ialah Sarekat Prijaji yang dipelopori Tirto Adhi Soerjo pada 1906. Kendati tak berumur panjang, organisasi kumpulan bangsawan Jawa itu sempat memberi sinyal bahaya bagi Kolonial Belanda.
Kala organisasi Sarekat Prijaji bubar, Tirto tetap melanjutkan langkah perjuangan melawan kolonialisme melalui jalan berserikat dan menulis. Tepat pada 1909, tumbuh organisasi Cum partai pribumi terbesar kala itu, bernama Sarekat Dagang Islam (Pratama, BandungBergerak.id, 2023). Tersebab itulah, Pram menjuluki Tirto Adhi Soerjo sebagai Sang Pemula.
Tajam sekali Tirto punya pena. Ia berani mengkritik dengan gamblang perlakuan Kolonial Belanda terhadap pribumi dan menyuarakan keadilan dengan tujuan memantik kesadaran rakyat pribumi. Karena keberaniannya itu, Tirto berulang kali diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada suatu ketika diasingkan, Sarekat Dagang Islam diambilalih oleh Haji Samanhoedi dan H.O.S. Cokroaminoto. Organisasi itu kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) sepeninggalan Tirto (Raditya, Tirto.id, 2018). SI dalam perkembangannya menjadi organisasi pergerakan revolusioner yang menghasilkan para pejuang kemerdekaan Indonesia; Semaoen, Abdul Muis, Haji Agus Salim, Suryopranoto, Alimin, dan lainnya.
Di samping gagasannya mendirikan perhimpunan, Tirto ialah pemula yang menghadirkan bacaan bagi masyarakat bumiputera, baik fiksi dan nonfiksi. Suguhan literatur dalam bahasa Melayu itu kental nuansa pembangkit kesadaran pribumi yang tengah digerogoti penindasan di tanahnya sendiri sekaligus ajakan untuk melawan (Enol, Surau.co, 2022). Ia menulis dan menerbitkan berbagai artikel, esai, dan pamflet yang mengkritik kolonialisme Belanda dan menyoroti ketidakadilan sosial yang dialami oleh rakyat Indonesia.
Bagi Tirto, jalan perjuangan melawan kolonial Belanda harus dengan berserikat. Tak sampai di situ, ia juga selalu membentuk media organisasi untuk menggemakan suara. Jadi, berserikat dan menulis adalah dua jalan yang tak dapat dipisahkan, keduanya berjalan seiring.
Sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamiyah, yang kemudian menjadi Sarekat Islam, Tirto Adhi Soerjo membuka jalan bagi perkembangan gerakan buruh dan pergerakan nasional di Indonesia. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar pada masanya dan memainkan peran penting dalam membela kepentingan ekonomi dan sosial kaum pribumi Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo berperan penting mempelopori berbagai gerakan dan organisasi yang berkontribusi pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia mencetuskan ide-ide dan mengambil langkah konkret memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia. Tirto juga memainkan peran kunci dalam membangun kesadaran nasional di kalangan rakyat Indonesia. Melalui tulisannya, ia mengkritik kebijakan kolonial Belanda dan memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia; menjadi suara bagi kaum pribumi yang terpinggirkan dan mempengaruhi banyak orang dengan ide-idenya (Hakim, 2020: 14-16).
Pelopor Pers
Ki Hadjar Dewantara pernah berujar mengenang Tirto yang termuat dalam buku Sebelas Perintis Pers Indonesia karya Soebagijo I.N. (1974: 34), katanya: “kira-kira pada tahun berdirinya organisasi pergerakan Budi Utomo, ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancar dan tajamnya pena yang ia pegang, yaitu R.M. Djokomono, kemudian berganti nama Tirto Adhi Soerjo. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik” (Raditya, Tirto.id, 2018).
Perjalanan karier jurnalistik Tirto cukup panjang hingga ia mampu mendirikan media pribumi pertama. Awal mulanya, Tirto berkarier di surat kabar Chabar Hindia Olanda, yang terbit dalam rentang waktu 1888‒1987. Setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, Tirto kemudian bekerja di surat kabar Pembrita Betawi. Pekerjaan itu dilakoninya bersamaan menjadi pembantu tetap di surat kabar Pewarta Priangan. Pada 1 April 1902, Tirto kemudian dipercaya sebagai pemimpin redaksi Pembrita Betawi. Ia menggantikan idolanya dalam dunia jurnalistik, F. Wiggers.
Setahun berselang, pada 1903, Tirto mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Pembrita Betawi. Ia mendengarkan anjuran kepala redaksi surat kabar Niews van den Dag bernama Wijbrands agar Tirto mendirikan surat kabar sendiri. Benar saja, Tirto mendirikan surat kabar Soenda Berita pada 1903. Surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh kaum pribumi. Surat kabar ini hanya bernafas dua tahun, kurun waktu 1903‒1904 (Kanariyati, mengenaliindonesia.com). Maklum, Tirto belum punya pengalaman dalam mengelola media, modalnya juga masih kecil.
Kira-kira tiga tahun kemudian, Tirto kembali mendirikan surat kabar yang diberi nama Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Melalui surat kabar ini, Tirto kembali dengan modal pengalaman, visi, dan pondasi keuangan yang lebih mumpuni. Secara terang, Medan Prijaji ditujukan melawan penindasan Kolonialisme, dan sebagai sarana membebaskan pribumi. Sembonyanya gamblang, “swara oentoeq sekalian radja-radja bangsawan asasi, bangsawan pikiran, prijaji-prijaji dan kaoem moeda dari bangsa pribumi serta bangsa jang dipersembahkan dengannja di seloeroeh Hindia-Olanda.”
Jelas, berita utama surat kabar Medan Prijaji menyoal politik. Tirto sendiri sebagai pendiri sekaligus pemimpin redaksi turut menulis lantang kritikan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Tak berhenti pada tulisan, mulianya lagi, Medan Prijaji juga dijadikan sebagai sarana advokasi dengan turun langsung mendampingi masyarakat lemah dalam kasus-kasus tertentu. Tirto dan Medan Prijaji menerapkan jurnalisme investigatif dalam mengungkap kasus.
Aktivitas melawan arus itu berlangsung selama 6 tahun. Pada 23 Agustus 1912, Medan Prijaji tutup karena beberapa alasan; terlilit hutang, kasus yang dihadapi Tirto, dan intervensi dari pemerintah Hindia-Belanda (Hakim, 2020: 28-29).
Semasa Medan Prijaji beroperasi, rupanya Tirto meluncurkan surat kabar Soeloeh Keadilan (1907) yang berfokus pada isu hukum. Tak hanya itu, didirikan surat kabar Poetri Hindia (1 Juli 1908) yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, dikelola perempuan, dan untuk perempuan.
Perjalanan Sang Pemula dalam dunia jurnalistik terbilang panjang dan berliku. Tirto berulang kali “gulung tikar” perusahaannya, dikecam dan diasingkan karena kritik-kritiknya. Namun, ia tetap berjuang dan mewariskan pondasi pers nasional yang terus bertumbuh setelahnya.
Tak dapat dipungkiri, kiprah Tirto sebagai peletak dasar bangunan pers dan pelopor pergerakan nasional menjadi pemantik semangat nasional dalam merebut kemerdekaan. Melalui kepeloporannya, Tirto membuka ruang bagi lahirnya organisasi pergerakan nasional dan mekarnya pers tanah air yang keduanya berada pada jalan yang sama; memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Daftar Pustaka
Hakim, Arief M. 2020. Tirto Adhi Soerjo: Bapak Pers Indonesia. Bandung: Nuansa Cendekia.
Diakses dari https://historia.id/politik/articles/membedah-silsilah-tirto-adhi-soerjo-PG8ny pada 22 Juli 2023.
Diakses dari https://sastra-indonesia.com/2020/01/bumi-manusia-minke-representasi-tirto-adhi-soerjo/ pada 22 Juli 2023
Diakses dari https://bandungbergerak.id/article/detail/14939/jejak-langkah-tirto-adhi-soerjo-pers-bumiputera-dan-pers-advokasi pada 24 Juli 2023.
Diakses dari https://surau.co/biografi-r-m-tirto-adhi-soerjo-1880/ pada 25 Juli 2023.
Diakses dari https://tirto.id/tirto-adhi-soerjo-bapak-pers-nasional-yang-mati-dalam-sunyi-dbs6 pada 25 juli 2023.