Pada tahun delapan puluhan akhir saat menempuh studi di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah mengikuti kegiatan pembekalan sebagai fungsionaris organisasi intra kampus atau pada istilah lainnya adalah aktivis mahasiswa.
Pada masa itu menggunakan diksi aktivis perlu hati-hati karena di zaman NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Kordinasi Kemahasiswaan) kehidupan aktivis mahasiswa tidak sebebas di zaman sekarang. Zaman dulu menyelenggarakan kegiatan semacam seminar, diskusi, ataupun lokakarya intelektual oleh organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus wajib mendapatkan izin dari aparat keamanan setempat dan kegiatannya musti boleh ditungguin oleh aparat keamanan. Aparat biasanya duduk di barisan kursi belakang dengan meminta salinan absen dan salinan materi yang sedang dibicarakan atau diskusikan. Begitulah di masa lalu.
Kembali kepada kegiatan pembekalan fungsionaris tadi, seorang tinggi besar dan jalannya dengan gagah memasuki ruang auditorium kampus dan langsung menuju podium yang telah disediakan penyelenggara. Begitu selesai memberikan salam dan menjelaskan tentang keadaan dunia global dan situasi nasional mulai dari masalah sosial, politik, hukum maupun ekonomi, pembicaraannya masuk kepada topik yang menurut saya pada saat itu remeh temeh yaitu tentang kamar mandi atau di zaman sekarang lebih mafhum disebut toilet di lembaga-lembaga pendidikan (khususnya Islam). Tokoh tinggi besar yang berwibawa itu adalah Allahyarham Prof. A. Malik Fadjar, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang fenomenal dan membolehkan kampus menjadi tempat dialog kontestan partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Padahal di zaman itu, hal tersebut sangat tabu.
Di saat menjelaskan tentang toilet, beliau berkata bahwa sebelum membicarakan tentang kemajuan dan sebagainya lihatlah toiletnya terlebih dahulu. Bagaimana mau bicara tentang kemajuan jika toiletnya saja masih jorok, apalagi lembaga Islam. Saya dan beberapa teman saling toleh dan sambil berbisik mengatakan apa hubungannya kegiatan aktivis mahasiswa dengan toilet yang jorok?
Setelah sekian lama barulah saya menyadari apa yang pernah dikatakan oleh Pak Malik, begitu sapaan akrabnya di masa lalu. Ini adalah soal cara pandang. Toilet itu harus bersih. Tidak boleh jorok. Pada waktu itu tidak sedikit toilet dibuat ala kadarnya dan dianggap tidak penting dibanding tampilan muka.
Secara awam, pada masanya tampilan muka kantor harus mentereng. Tidak apa kalau belakangnya termasuk toilet dibuat sekadarnya saja sampai terkesan jorok. Ini tentang mindset. Tentang cara pandang dan masalah perilaku yang menganggap bagian belakang tidaklah penting. Padahal bagian belakang itu sangat penting apalagi bagi masyarakat Jawa. Setiap rumah orang Jawa di masa lalu dapat dipastikan ada pintu belakangnya untuk beragam kepentingan sebagaimana disampaikan oleh Jan Newberry dalam bukunya Back Door Java. Artinya, area belakang tidak selalu berkonotasi jelek maupun jorok.
Inilah yang mesti diubah. Karena seluruh area yang menjadi hunian baik untuk belajar ataupun untuk ibadah seluruhnya harus bersih. Bersih tidak sama dengan mewah. Kalau semuanya bersih, lingkungan fisik bersih, lingkungan sosial bersih tentu dalam berinteraksi kehidupan sehari-hari akan nyaman. Tidak merasa risih. Itulah ingatan pertama saya tentang toilet.
Sedangkan ingatan kedua saya tentang toilet adalah saat melakukan kegiatan organisasi di salah satu kampus di Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Pada saat sesi acara saya izin kepada panitia sekaligus menanyakan toilet ada di sebelah mana. Setelah ditunjukkan, saya langsung ngeloyor mencarinya. Dan setelah ketemu toiletnya ternyata ada penjaga. Toilet itu dijaga oleh seseorang yang berseragam. Saya bertanya toilet mana yang kosong. Dan penjaga itu menjawab bahwa toilet yang di depan saya tidak boleh digunakan karena khusus untuk pimpinan. Saya disuruh ke sebelahnya yang merupakan toilet khusus tamu.
Setelah itu, saat saya akan kembali ke ruangan, saya bertanya kenapa dibedakan toilet pimpinan dan toilet tamu? Penjaga itu menjawab kalau toilet pimpinan lebih bagus dan bersih. Dan saya langsung beranjak jalan menuju ruangan setelah mengucapkan terima kasih kepada penjaga toilet tadi. Dalam perjalanan ke ruangan itu saya tersenyum sendiri dan terbersit dalam pikiran saya bahwa toilet ternyata juga bisa diskriminatif.
Di luar dua cerita di atas, ada toilet di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum). Toilet di SPBU yang pernah saya kunjungi menunjukkan dengan jelas di depannya ada tulisan. Ada toilet bertuliskan gratis dan ada yang tertulis berbayar. Di area yang tertulis berbayar pun ada tulisan harga yang berbeda. Ada yang tertulis lima ribu rupiah, dan ada yang tertulis sepuluh ribu rupiah dengan keterangan menggunakan air dingin dan air panas.
Toilet adalah hal yang sederhana namun keberadaanya sangat vital. Namun yang betul-betul menarik adalah ada perubahan cara pandang bahwa toilet bukanlah sekadar tempat melepaskan hajat buang air besar atau air kecil saja. Toilet mengandung makna kebersihan pada cerita pertama. Dan pada kejadian cerita kedua dan ketiga marilah kita tersenyum, bahwa toilet ternyata bisa juga diskriminatif.