Ramadhan

“Pa.. nanti sepulang kerja mampir ke tempat kue biasanya ya..” Begitulah pesan Whatsapp edisi Bulan Ramadhan yang biasa saya terima dari istri saya.

Setelah bel sekolah berbunyi, saya pun langsung tancap gas menuju rumah penjual kue yang cukup lama menjadi langganan keluarga kecil kami. Begitu sampai tujuan, sudah terlihat kue pesanan istri saya  terbungkus rapi di kantong plastik warna hitam. Begitu saya buka helm, “Mbak” penjual kue itu pun langsung menyerahkan pesanan kepada saya.

Seperti biasa, saya akan membuka bungkusan terlebih dahulu untuk memastikan apa betul sesuai dengan pesanan. Begitu saya buka bungkusan itu, secara spontan saya bertanya kepada “Mbak” penjual kue itu untuk sekadar memastikan. Setelah mendapat kepastian, saya pun langsung tancap gas untuk pulang ke rumah.

Selama perjalanan pulang saya masih tidak percaya dengan pesanan istri saya itu. Tidak seperti kue biasanya yang di pesan, semacam ketan bubuk, wajik, jadah, roti dan kue tradisional lain yang menjadi favorit keluarga kecil kami, ini malah saya lihat hanya ada 6 kue dengan bentuknya yang sangat kecil. Saya juga semakin heran karena 6 kue itu harganya dua puluh lima ribu rupiah. Sebuah nominal yang menurut saya termasuk mahal, karena jika dibelikan mie ayam di kantin sekolah akan dapat lima porsi.

Sesampainya di rumah, saya langsung memastikan kepada istri perihal pesanan yang membuat saya bertanya-tanya sepanjang perjalanan mengendarai sepeda motor itu. Saya jadi tercengang ketika mendengar penjelasan istri, jika kue tersebut adalah “tester” kue lebaran.

Kegiatan “visioner” yang dilakukan oleh istri tersebut, membuat saya sejenak mengerutkan kening. Apalagi bulan suci Ramadhan masih kurang tiga minggu lagi.

Belum lama saya mengerutkan kening, dia kembali menjelaskan panjang lebar tentang kebutuhan selama Ramadhan yang tidak sedikit. Dia menyampaikan  rincian jumlah “selamatan” mulai awal Ramadhan sampai dengan “lebaran ketupat”. Kebetulan di dusun tempat kami tinggal, tradisi selamatan itu dilakukan di masing-masing rumah dengan mengundang 5 sampai 10 orang tetangga terdekat. Setidaknya dia menyampaikan ada 5 tradisi selamatan yang harus dilalui selama Ramadhan. Mulai selamatan megengan, maleman, wewehan, arioyo dan kupatan. 

Belum sempat saya menimpali, istri saya kembali menyampaikan rincian kegiatan  lain selama bulan Ramadhan seperti menyediakan “takjil” di Mushola dan acara buka bersama. Selain itu, dia juga menyampaikan jika butuh menyiapkan menu spesial ketika buka puasa dan sahur. Baju lebaran juga tak ketinggalan disampaikan dengan seksama olehnya. Terakhir, dia memberi kesimpulan perihal memesan “kue” lebaran jauh-jauh hari tak lain adalah untuk mendapatkan kue sesuai selera dan harga yang murah.

Mendengarkan istri yang berbicara begitu panjang, membuat saya harus memegang kepala untuk beberapa kali. Saya jadi berpikir, bukankah salah satu tujuan puasa Ramadhan itu untuk belajar kesederhanaan. Tapi entah mengapa begitu banyak kebutuhan yang harus terpenuhi selama menjalani puasa di bulan suci Ramadhan. Apa yang dibicarakan istri saya itu sejatinya adalah “proposal” kebutuhan selama Bulan Ramadhan yang harus saya pikirkan dan penuhi pendanaannya.

Seandainya Bulan Ramadhan tanpa ada tradisi “lain” yang melekat, saya yakin tidak dapat memberikan suasana khas selama menjalani puasa. Terkadang, “tradisi” yang tidak menjadi syarat wajib puasa  itu malah menjadi suasana yang dirindukan. Sehingga tidak ada salahnya ketika harus menyisihkan tabungan yang cukup besar setiap Ramadhan. Selain untuk melepas rindu, juga untuk menyambut dan memeriahkan bulan yang sangat Istimewa ini. Terpenting, tradisi itu jangan mengalahkan kewajiban yang semestinya harus dijalankan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here