Kesengsaraan tiada tara. Inilah perumpamaan bagi sebuah tragedi yang telah terjadi. Galibnya, tragedi menceritakan kisah-kisah seseorang atau kelompok tertentu yang dianggap baik, namun nasibnya sungguhlah buruk–selalu mendapatkan masalah. Nasibnya betul-betul tidak menyenangkan atau selalu berakhir dengan kesedihan yang teramat pilu. Begitulah lazimnya terjadi dalam sebuah drama atau cerita-cerita yang ada.
Suatu kemalangan yang terjadi tentu tidaklah harus selalu dalam keadaan yang besar. Petaka bisa saja terjadi dalam “skala” yang kecil. Tragedi Kanjuruhan yang terjadi sekitar 50-an hari lalu banyak menyita waktu baik nasional maupun internasional adalah sebuah bencana yang sangat besar dilihat dari skala korbannya.
Tragedi Kanjuruhan bermula dari pertandingan sepak bola yang mestinya menjadi sebuah kegembiraan dan menjadi tontonan bersama telah berubah menjadi luka dan nestapa bagi keluarga yang ditinggalkan oleh korban menuju alam baka atau meninggalkan alam yang fana ini. Kepiluan juga diderita oleh keluarga korban yang meskipun tidak meninggal dunia, namun mengalami kecacatan fisik, entah karena matanya yang tidak lagi berfungsi ataupun kakinya yang patah, dan lain sebagainya.
Hingga saat ini, penyelesaian dari adanya tragedi Kanjuruhan ini belum terlihat terang benderang. Bahkan slogan yang selalu disampaikan oleh warga Arema dengan kalimat pendek namun tegas yaitu, “Usut Tuntas” seolah tak bergema apapun bagi para pejabat publik yang mempunyai otoritas dalam menyelesaikan kasus dan menjawab siapa yang telah menjadi dalang peristiwa ini.
Minggu lalu, pemberitaan beberapa media massa dapat kita lihat bersama ada sekelompok orang yang mewakili korban tragedi yang diberi nama Arema Menggugat berangkat ke Jakarta, ibu Kota Republik Indonesia. Perwakilan korban itu berangkat untuk mencari keadilan melalui Lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di Jakarta. Semoga segera ada kepastian.
Kehidupan di dunia telah banyak melahirkan cerita baik cerita yang heroik, cerita yang sedih tak berkesudahan maupun cerita yang terus bertubi-tubi mengalami tragedi. Seperti saat ini bangsa Indonesia yang masih didera dengan masalah Kanjuruhan, kini muncul tragedi di Cianjur, Jawa barat yang disebabkan oleh adanya gempa bumi yang juga banyak menelan korban meninggal dunia hingga ratusan jiwa.
Di Indonesia, jika dicatatkan terjadinya tragedi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kejadian, yaitu ada tragedi yang dilatari oleh kontestasi politik seperti tahun 1965 maupun yang terjadi pada tahun 1998. Selain latarbelakangnya politik, tragedi yang banyak terjadi juga disebabkan oleh fenomena alam yang tidak dapat diantisipasi oleh ilmu dan pengetahuan yang dimiliki manusia. Fenomena alam gempa bumi, banjir, longsor rentan terjadi di Indonesia.
Masih tertancap dalam ingatan, bencana tsunami pernah terjadi di “Bumi Rencong” Aceh yang sangat fenomenal pada tahun 2004 yang lalu. Kerusakan yang ditimbulkan begitu dahsyat, rekonstruksinya membutuhkan waktu bertahun-tahun yang juga ramai dibantu oleh negara-negara lain di dunia ini. Bahkan banyak yang menduga konflik aceh yang terjadi bertahun-tahun karena ada tsunami kemudian menjadi daerah yang kembali damai hingga saat ini.
Sebuah tragedi tak dapat dihindari. Tragedi seolah telah menjadi keniscayaan yang telah menjadi cerita dalam dunia ini.