urgensi partai politik

Partai dan sistem kepartaian pada era reformasi mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada era Orde Baru, partai politik sedemikian rupa mengalami pengebirian oleh rezim. Dilakukanlah penggabungan (fusi) partai politik dengan membatasi hanya 3 partai yang diakui pemerintah (Golkar, PDI, dan PPP). Pengalaman masa lalu tersebut alih-alih menciptakan efisiensi justru menjadi gejala rezim yang otoriter. Kekuasaan pada saat itu secara sewenang mengintervensi wilayah akar ketatanegaraan berbentuk mesin politik itu sendiri.

Dengan diberlakukannya penggabungan partai, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat menjadi dibatasi. Rakyat hidup dalam bayang-bayang ketakutan dengan pengawasan yang ketat oleh aparat. Politisasi masa mengambang juga turut mengaburkan ideologi politik  basis masa partai. Akibat selama 32  tahun berkuasa, Golkar yang menjadi kepanjang tanganan kekuasaan  selalu memenangkan pemilu. Sentralisasi kekuasaan masa kepada salah satu partai politik mengakibatkan seperangkat kebijakan yang disahkan pun kontroversial. Mesin politik yang yang pincang akhirnya mengakibatkan produk politik yang bermasalah.

Pada era reformasi, partai tumbuh bak cendawan di musim hujan. Reformasi dengan euforianya membawa perayaan kebebasan berpolitik. Banyak bermunculan partai, baik di tingkat lokal dan nasional, didirikan untuk turut berpartisipasi dalam pemilu. Partai tersebut berlomba-lomba menarik konstituen sebanyak mungkin agar mendapat jatah kursi kekuasaan.

Seiring berjalannya waktu, banyak partai yang mati karena kalah dalam kompetisi politik. Reformasi gagal menyadari problematik dasar sistem ketatanegaraan. Demokratisasi tersandera oleh pengalaman praktik otoriter orde baru serta orang-orang kuat yang masih melenggang di era reformasi. Warisan orde baru menghasilkan ketimpangan akses terhadap sumber daya materi dan politik. Hegemoni tersebut mengakar kuat dalam proses interaksi politik.

Partai politik di Indonesia mengalami setidaknya dua pokok permasalahan, yakni struktural dan kultural. Secara struktur, partai politik saat ini tidak bisa lepas dari pengaruh pemodal. Kelompok oligarki pemodal mengendalikan partai politik sesuai kepentingan mereka. Tidak sedikit dari mereka merupakan bekas lingkaran orde baru yang telah berhasil me-reorganisasi diri. Secara kultural, hegemoni orde baru melalui berbagai macam cara (misalnya melalui institusi pendidikan) telah mewariskan budaya patronase yang kuat.

Dalam praktiknya, jika berkaca pada pemilihan presiden tahun 2014, kedua calon yang diusung faktanya mempunyai backing pemodal masing-masing (lihat: film Sexy Killer, Watchdoc [2019]). Dalam konteks lokal, kita tentu sering  menemui calon kepala daerah melakukan praktik ijon dengan para pengusaha. Para pemodal memberikan modal kampanye dengan imbalan proyek pengadaan pemerintah. Banyak juga bermunculan dinasti politik, dan pengaruh ketua umum partai yang kuat. Kedekatan hubungan dengan orang kuat partai menjadi modal utama untuk mempermudah rekomendasi pencalonan.

Pelembagaan Partai Politik

Melihat fakta sejarah, partai politik di Indonesia mengalami pasang surut. Disebut pasang karena konfigurasi politik yang demokratis dengan tingkat kompetisi yang stabil. Sedangkan surut, ketika konfigurasi politik berjalan otoriter dengan minimnya kompetisi antar partai.

Dalam demokrasi perwakilan, posisi partai menjadi begitu penting. Partai politik adalah konsekuensi logis atas pilihan sistem demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Agar demokrasi  berjalan dengan baik, maka partai juga harus menjalankan fungsinya dengan baik pula. Persoalan yang saat ini terjadi adalah penilaian publik yang buruk terhadap partai lebih diakibatkan karena partai yang tidak menjalankan fungsinya.

Partai saat ini terkesan hanya hadir ketika momen menjelang pemilu saja. Oleh karena itu citra buruk terhadap partai tersebut  harus mulai diperbaiki. Pelembagaan  partai  politik menjadi satu-satunya cara  untuk mengembalikan marwah partai politik. Mengupayakan sistem kepartaian yang sehat melalui penguatan platform partai, kaderisasi, rekrutmen politik, dan menciptakan kohesivitas dan demokrasi internal partai. Sebuah partai yang kokoh setidaknya memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul (Huntington: 1968).   

Pelembagaan Partai akan menghasilkan representasi masyarakat yang sistematis. Partai yang mempunyai basis massa yang jelas, bukan partai yang menang pemilu karena money politik. Partai yang punya ideologi yang jelas, bukan sekedar klaim ideologi tertentu untuk pragmatisme politik.    

Buku “Partai Politik” Dinamika dan Problematik Pelembagaan di Indonesia, memberikan ulasan yang cukup detail terkait perjalanan tata kelola partai politik di Indonesia. Berdasarkan pengamatan yang panjang, penulis berusaha memaparkan  faktor pelemah pelembagaan partai: absennya ideologi partai, kepemimpinan personal dan klientelistik, konflik internal partai, dan pragmatisme politik.  Dengan demikian partai politik harus berani membangun organisasi dan prosedur yang masif.

Penulis juga memaparkan urgensi sistem multipartai moderat. Membentuk sistem kepartaian yang sederhana dan relatif stabil. Hal itu karena sistem pemilu proporsional yang diterapkan tidak menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen dan tidak dapat menghasilkan perwakilan politik yang  mendorong stabilitas politik dalam upaya check and balance eksekutif dan legislatif. Partai politik yang sederhana dengan jumlah yang tidak banyak tetapi mampu mewakili kelompok politik aliran yang ada di Indonesia. .


Dapatkan promo khusus pembelian buku ini dengan klik di sini.

Partai Politik Dinamika dan Problematik Pelembagaan di IndonesiaJudul: Partai Politik: Dinamika dan Problematik Pelembagaan di Indonesia

Penulis: Prof. Dr. Lili Romli, M.Si

Penerbit/Tahun: Intrans Publishing/2021

ISBN: 978-623-6709-20-7

Halaman: xiv+162 hlm

Ukuran: 15,5 cm x 23 cm

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here