Jika ada udang di balik batu, ada Usmar Ismail di balik perfilman Indonesia. Keduanya menyatu, tapi seperti dua sisi koin berbeda. Menyebut namanya berarti harus menyinggung sejarah film indonesia, begitu pula sebaliknya.
Usmar Ismail lahir di Padang pada 20 Maret 1921. Ia sangat film sejak kecil dan selalu punya cara untuk sampai ke gedung bioskop. Kesukaannya adalah film koboi, film “yang ada berkelahinya, yang ada banditnya”. Ayahnya tidak terlalu menyukai kebiasaan ini dan sebab itu ia sering kali harus pasrah saat punggungnya menerima rotan dari ayahnya.
Suatu malam, karena harus ke bioskop untuk menonton film baru, ia menerobos keluar rumah melalui jendela kamarnya. Ia selalu berhasil masuk gedung bioskop bahkan saat tidak punya uang untuk membeli karcis. “Penjaga pintu adalah konco karib saya dan dia mengerti kesulitan-kesulitan yang saya hadapi,” tulisnya dalam pengantar buku Tjitra (1949) yang dimuat ulang cinemapoetica.com.
Kecintaan Usmar pada film bukan kaleng-kaleng. Hobi menonton terus diseriusi sampai ia dewasa dan berkarir sebagai sutradara ternama. Pada tahun 1952, guna mengasah kemampuannya, Usmar melanjutkan pendidikan ke Universitas Los Angeles di bidang Sinematografi.
Film pertama Usmar Ismail adalah Darah dan Doa (1950), diambil pertama kali pada 30 Maret 1950. Film ini bercerita tentang Kapten Sudarto (Del Juzar) yang memimpin pasukan divisi Siliwangi dan keluarganya pulang dari Yogyakarta menuju Jawa Barat.
Usmar menggambarakan karakter utama film Darah dan Doa, Kapten Sudarto, jauh dari sosok heroik sebagaimana yang sering tergambar pada film-film perjuangan. Karakter utama digambarkan apa adanya.
Meski seorang pemimpin pasukan yang sedang berjuang untuk tanah air, bukan berarti Kapten Sudarto tak lagi manusia biasa. Kapten Sudarto memiliki istri di tempat asalnya, dan di tengah perjalanan pulang, ia terlibat asmara dengan dua orang perempuan.
Film Darah dan Doa menjadi film pertama Indonesia. Presiden BJ Habibie menetapkan tanggal mulai produksi film ini, yaitu 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.
Pandangan Usmar Ismail tentang Film dalam Islam
Pengalaman menonton film sejak kecil membuat Usmar Ismail sangat paham dunia perfilman di Indonesia. Ia merasa ada anggapan umum di masyarakat bahwa dunia film penuh kehidupan yang jauh dari nilai-nilai islam.
Lelaki dan perempuan telanjang, cium-ciuman, dan tindakan-tindakan tidak senonoh lain yang muncul dalam adegan-adegan film kerap dijadikan alasan melihat dunia perfilman sebagai sesuatu yang buruk. Sebagian orang bahkan menghindari film dengan alasan haram dan najis.
Padahal film hanyalah medium dan menonton film sama seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau bahkan bermain catur. Ia bisa menjadi baik dan buruk karena ulah manusia yang menggunakannya, baik produser, penulis, sutradara, penonton, maupun pembaca.
“Jika ada yang najis,” kata Usmar Ismail dalam tulisannya di Aneka, No. IV, tahun 1953, “maka yang najis itu adalah orang yang menggunakan [film] dengan tidak senonoh.”
Film yang baik bagi Usmar adalah film yang sesuai dengan nilai islam, yaitu film yang tidak memalsukan keadaan yang sebenarnya. Pemalsuan watak dan kehidupan manusia dalam film adalah sesuatu yang berbahaya bagi penonton awam.
“Film-film yang memalsukan kejadian yang sebenarnya dan mempertontonkan kejadian-kejadian yang palsu sebagai satu kebenaran bagi saya lebih jahat lagi dan lebih merusakkan daripada film-film yang memperlihatkan Esther Wiliams dalam baju mandi,” katanya.
Bagi Usmar Ismail, film-film seperti ini menipu dan merusak jiwa para penonton. Film semestinya berkata jujur sesuai keadaan yang sebenarnya.
“… mungkin [penonton] akan bisa puas selama dia ada dalam gedung bioskop, tetapi setibanya di rumah hatinya akan lebih mual, karena mendapati keadaannya sendiri berbeda seperti bumi dan langit dari yang dilihatnya di layar putih,” lanjutnya.
Karir Usmar Ismail
Usmar Ismail adalah salah seorang perintis perfilman Indonesia. Ia dikenal sebagai Bapak Film Indonesia. Selain itu, ia juga tokoh organisasi islam Nahdlatul Ulama (NU) dan pernah di parlemen mewakili partai NU.
Pada tahun 1962 bersama Djamaluddin Malik dan Asrul Sani, ia mendirikan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI), sebuah lembaga seni dan kebudayaan di bawah NU untuk menyaingi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) milik PKI.
Saat itu pertarungan politik mengental menjadi politik identitas yang tajam dan merambah ke segala hal. Karena alasan politis pula film Usmar Ismail yang berjudul Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962) pernah diboikot oleh PKI.
Usmar Ismail meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 akibat penyakit stroke. Pada titik akhir hidupnya, ia masih terus berjuang menghidupkan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI), sebuah perusahaan film yang didirikannya pada 1950 bersama Djamaluddin Malik dan teman-temannya, yang saat itu sedang menghadapi masa-masa krisis.