Indonesia memang kaya dengan sejarahnya, mulai dari zaman kerajaan yang telah ada dari ratusan tahun yang lalu. Kebenaran akan keberadaannya dibuktikan dari peninggalan-peninggalan yang telah ditemukan dan tersebar di berbagai belahan bumi nusantara. Ragam warisan leluhur itu dapat kita nikmati dan pelajari.
Peninggalan tersebut tidak hanya menjadi pusaka yang berharga, tetapi juga buah warisan yang kaya dengan moral dan etika. Tiada lain, ditujukan sebagai pedoman bagi manusia dalam kehidupan. Tidak dibantahkan pula bahwa peninggalan tersebut juga menjadi wadah untuk mengabadikan peradaban.
Hal ini pun disentil dalam agenda DialogIN yang kembali diselenggarakan oleh Intrans Publishing. Kali ini, tema yang dibawa bersinggungan dengan peringatan Hari Konferensi Warisan Budaya Dunia yang jatuh pada 16 November.
Bertajuk “Warisan Leluhur untuk Kedamaian Luhur,” agenda ini disiarkan melalui akun Instagram @intranspublishing. Dibawakan oleh Salsa Wilda Mahdiyah dan menghadirkan petandang Yossy Indra, Pamong Budaya Ahli Muda Museum Singhasari.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2015, museum merupakan sebuah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Museum memiliki peran penting dalam melestarikan warisan leluhur.
Menurut Yossy, modern ini, masyarakat memandang museum hanya sebagai gudang penyimpanan. Tidak sedikit yang percaya, benda-benda bersejarah di museum memiliki “kodam” atau penjaga tak kasat mata. Tak heran masyarakat menganggap museum sebagai tempat berhantu yang menyeramkan.
Padahal benda-benda peninggalan itu sangat langka sebab tidak ada gantinya. Bagaimana tidak, waktu pembuatannya saja melampaui ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Nilai peradaban yang termuat di dalamnya menjadikan benda-benda itu istimewa.
Nilai tersebut juga menjadikan benda-benda itu dijual sangat mahal, loh. Jadi, tidak heran jika banyak artefak peninggalan yang hilang dicuri oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. “Kami bisa saja mempunyai mobil Ferrari. Karena itu, orang-orang di museum adalah mereka yang khusus atau orang-orang terpanggil,” ujar Yossy.
Pengelolaan museum membutuhkan perjuangan panjang dan tidak murah. Apalagi terkait sumber daya manusianya. Orang-orang yang terpanggil itu disebutkan oleh Yossy biasa menyimpan barang-barang pemberian mantan. Dalam arti lain, menyimpan benda-benda dari masa lalu karena menganggap itu berharga.
Orang-orang museum adalah orang yang damai dengan dunianya sendiri. Jika tidak berdamai dengan dunianya sendiri, ia akan mencuri benda-benda yang disimpan di museum. Orang-orang museum semangat mengembangkan museum dengan tidak berorientasi pada uang. Inilah yang disebut mencapai kedamaian luhur.
Menurut Yossy dalam proses ekskavasi peninggalan, pasca penggalian merupakan proses yang tidak mudah sebab tidak adanya penjagaan dan pemerian tanggung jawab apabila terjadi kehilangan. Cagar budaya apabila hilang atau rusak, tidak ada gantinya.
Polemik tiket masuk Candi Borobudur salah satu contohnya. Wisatawan menilai tiket masuk terlalu mahal dan tidak masuk akal. Padahal, hal itu dilakukan dengan pertimbangan dari segi perawatan yang tidak tergolong murah dan mudah.
Museum Singhasari sendiri berdiri dengan perjuangan yang berat pula.Kini, koleksi yang dikelola museum berjumlah 376, yang terdiri dari tiga kategori dari segi bahan, yaitu kayu, logam, dan batu. Jumlah ini memang tergolong sedikit dibandingkan dengan museum yang lain, sebab masih belum banyak diketahui masyarakat.
Keberhasilan museum diukur dari banyaknya kunjungan dari wisatawan. Namun, hal ini tidak didukung oleh kenyataan bahwa anak muda zaman sekarang tidak begitu tertarik pada museum. Mereka lebih memilih tempat-tempat yang indah untuk liburan maupun healing.
Inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi pengelola museum. Karena itu, berbagai metode pun dilakukan oleh pengelola Museum Singhasari dengan mengadakan event menarik, spot-spot yang trend seperti kedai kopi, dan penyampaian sejarah yang dikemas seperti dongeng.
Banyaknya anak muda yang tidak mengetahui sejarah juga bisa menjadi salah satunya, sehingga tidak banyak pula yang tertarik mengunjungi museum. Nah, untuk mengetahui tentang sejarah bisa didapatkan pula melalui buku.
Salah satu contohnya buku berjudul Tumapel yang diterbitkan oleh Intrans Publishing. Buku ini ditulis oleh Prof. Henricus Supriyanto, M. Hum. Buku ini berisi jejak-jejak kehidupan Kerajaan Majapahit yang disajikan dengan bahasa yang ringan.
Buku yang ditulis oleh Zainul Arifin, dkk berjudul Semesta Singhasari juga dapat dibaca. Buku ini berisi mengenai Kerajaan Singhasari, mulai dari asal usulnya, letak geografis, hingga relief pada peninggalannya.
Adapun bacaan mengenai budaya seperti buku berjudul Budaya Lokal dan Hegemoni Negara yang ditulis oleh Suparlan Al Hakim. Buku ini berisi kajian empiris yang berkaitan dengan praktik hegemoni negara pada masa order baru terhadap praktik sosial ‘budaya macapat’ sebagai produk budaya lokal.
Cagar budaya merupakan suatu wadah yang digunakan untuk melestarikan budaya dalam peradaban. “Cagar budaya itu tidak hanya menjadi pariwisata, itu hanya muncul sebagai efek untuk pelestarian. Cagar budaya itu ditujukan untuk edukasi dan riset,” ujar Yossy.
Museum merupakan salah satu wujud cagar budaya yang mengedukasi sekaligus menghibur. Melalui benda-benda peninggalannya yang disimpannya, dapat memberi informasi mengenai sejarah peradaban manusia masa lampau. Informasi ini tentu bukan hanya pengetahuan semata, tetapi juga mengajarkan tentang moral dan etika.
“Cagar budaya itu sangat mahal dan berharga. Marilah bersama-sama menjaga. Ketika menemukan sebuah situs, laporkan ke pemerintah setempat. Jika barang itu dijual tidak akan memiliki ilmu, tetapi jika dimuseumkan bisa dijadikan kajian dan edukasi bagi masyarakat,” tutur Yossy.
Detik berjalan menuju menit yang kian mendorong jam menunjuk waktu siang. Suasana kian hangat disemai dengan canda tawa dua insan yang telah lama bercengkrama lewat gawai mereka.
Penuturan dari Yossy Indra pun jadi penanda diakhirinya agenda DialogIN kali ini. Tak lupa ucap terimakasih dan senyum manis jadi salam penutupan perbincangan itu.
“Berhenti membangun sebuah opini pribadi bahwa museum itu adalah rumah berhantu yang besar. Cobalah kunjungi museum. Bersahabatlah dengan museum. Hilangkan pandangan bahwa museum itu adalah gudang. Museum itu adalah sebuah pengendali peradaban supaya kita tetap pada jalur, tidak lupa dengan siapa kita di tengah peradaban modern yang luar biasa ini,” ujar Yossy sebagai penutup agenda DialogIN Intrans Publishing bersama Museum Singhasari.