Sastra terlahir dari sebuah kedinamisan dan keberagaman konflik yang berada di masyarakat. Bagi seorang pengarang, karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengungkapkan apa yang sedang dirasakan dan dipersoalkannya, misalnya melalui warna alias alur penciptaan puisi.
Kali ini saya akan bagaimana puisi bisa dijadikan sarana mengungkapkan permasalahan antara manusia dengan Tuhan, baik dari penyair ke karya sastra, maupun dari karya sastra ke pembaca. Untuk membahas permasalah ini, saya akan mengungkapkan bukti-bukti dari salah satu pengarang kita yang terkenal dengan puisi dan sifat religiusnya, yaitu K. H. Mustofa Bisri atau lebih dikenal luas dengan nama Gus Mus.
Mari kita mulai dari puisi Aku Manusia yang memiliki judul yang sama dengan nama
kumpulan puisi ini. Puisi Aku Manusia memiliki nuansa yang bisa dirasakan pembaca, bahwa puisi ini adalah jalan perenungan pertama bagi seorang Gus Mus. Dalam puisi ini, Gus Mus dengan segala permasalahan yang dimilikinya sebagai manusia, ia memilih untuk menyadari, menerima, dan dengan bangga mengakui bahwa “aku manusia”.
Kesadaran, rasa menerima, dan kebanggaan itu seolah-olah ia sampaikan kepada Tuhan yang telah ia tuangkan dalam puisi tersebut. Kata-kata dalam puisi tersebut dapat dimaknai secara tersirat bahwa Gus Mus ingin memberi tahu kepada pembaca untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang dimilikinya sebagai manusia atas kebaikan yang telah dilimpahkan oleh Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dari larik terakhir puisi berikut, “dengan bangga aku mengatakan aku manusia, Tuhan memuliakanku.”
Sekarang kita beralih ke puisi yang berjudul Salat. Salat atau sholat adalah ibadah
yang setiap hari dilakukan oleh umat Islam. Dengan tingkat religiusitasnya serta dorongan dari lingkungannya yang merupakan lingkungan para ulama dan para santri, Gus Mus menciptakan puisi ini dengan memasukkan unsur ibadah sholat umat islam. Pemaknaan Gus Mus terhadap adanya Tuhan tidaklah main-main, seperti halnya yang telah dituliskannya dalam puisi Salat.
Dalam puisi semacam ini, sebenarnya pergulatan batin Gus Mus sebagai seorang manusia terhadap Tuhan dapat dilihat. Melalui puisi ini juga ia memberikan kritik untuk perempuan-perempuan agar senantiasa untuk menutup aurotnya dengan benar terlebih pada saat melakukan ibadah salat, yang diungkapkannya secara tidak langsung dalam larik puisi berikut, “Kaki-kakinya yang telanjang bagai tongkat sonokeling menancap pada kardus-kardus”.
Selanjutnya pada dalam puisi Fragmen menggambarkan beberapa sifat Tuhan dalam
asmaul husna dan sedikit penjelasan dalam setiap sifat. Secara diksi yang terdapat pada puisi tersebut pada kata istilah “Fragmen” yang artinya cuplikan. Dalam puisi ini, ditulis sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Asmaul Husna, seperti Ya Rahmaan, Ya Rahim (maha pengasih dan penyayang) Ya Maliku Ya Quddus (yang merajai dan yang suci) dan masih banyak lagi.
Secara imajinatif, Gus Mus ingin berkomunikasi dengan Tuhan, melalui sifat-sifat
Allah Swt. yang ditulisnya dalam puisi ini. Dari puisi ini, dapat kita ketahui dua hal, yaitu psikologi penyairlah yang telah melahirkan puisi ini, dan timbal baliknya puisi ini dapat mempengaruhi psikologi pembaca.
Saya rasa, permasalahan yang timbul dalam puisi-puisi Gus Mus sejatinya bermuara pada jiwanya sebagai seorang manusia. Melalui penciptaan puisi, Gus Mus seperti ingin membebaskan jiwa dari kegelisahan-kegelisahan atas kesemrawutan tatanan sosial dan kaburnya kemanusiaan di dunia.
Dari puisi-puisinya kita tahu bahwa agama dan religiusitas sebagai umat islam tidak dapat dipisahkan dengan hakikat hidup sebagai manusia. Keduanya senantiasa saling berjalin kelindan. Jika kita mau mengingat istilah katarsis yang dikemukakan oleh murid Plato, Aristoteles, maka kita akan lebih memahami puisi-puisi karya Gus Mus yang diciptakan dengan tujuan pembersihan hati dan pikiran dalam menghadapi hal-hal yang menggangunya ataupun menanggapi hal-hal sesuai dengan pemikirannya.
Sehabis membaca puisi-puisi Gus Mus dapat kita ketahui bahwa eksistensi sastra dan
agama memiliki keterkaitan. Melalui keduanya, beberapa perbedaan perspektif dalam
menghadapi masalah dapat diselaraskan. Sastra dapat digunakan sebagai pengembang
pemikiran-pemikiran sekaligus sebagai wadah penampung pemikiran yang berkaitan dengan aspek-aspek kemanusiaan, terlebih mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.
Saya rasa sudah cukup membahas bahwa puisi dapat dijadikan sebagai sarana pengungkapan permasalahan antara manusia dengan Tuhan. Akan terlalu rumit jika kita terlalu membahas masalah manusia dengan permalasahannya, apalagi membicarakan hubungan religiusitas antara manusia dengan Tuhannya. Sebagai penutup, saya berpikir apakah zaman dapat menjadi dasar penghayatan manusia?
Gus Mus yang hidup lebih dulu dari kita mampu mengahayati persoalan-persoalan yang sifatnya kompleks, tak pelak lagi kita juga mengenal sosok Gus Mus yang kuat dengan religiustitasnya. Apakah kita yang hidup sedikit terlambat ini sudah tak mampu untuk merasakan dorongan penghayatan-pengahayatan atas krisis manusia, maka kita hanya tersadar melalui karya-karya puisi religi yang mungkin jarang kita baca.
Maka jika demikian, karya-karya sastra puisi seperti ciptaan Gus Mus memang layak untuk diciptakan, terutama bagi manusia-manusia yang tidak paham mengenai permasalahan dengan Tuhan dan sesamanya.