Nadia Yaqub, salah seorang professor Kebudayaan dan Bahasa Arab di Universitas North Carolina mencatat tentang revolusi sinema di Palestina. Revolusi yang ia maksud, adalah revolusi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) antara tahun 1968 – 1982 setelah peristiwa. Apa yang diungkap Nadia Yakub merujuk pada aktivitas Sutradara Irak yang sering melakukan kontak dengan pegiat film di Palestina. Nadia Yaqub waktu itu, optimis kendati perang terus terjadi di Palestina dan genosida belum berhenti, entah kapan, ia yakin ada suatu masa orang-orang mampu memahami Palestina dengan dinamika kebudayaannya, bukan hanya sekedar perang melawan Israel. “Menangkap dan menyimpan sejarah sehingga dapat dilihat dan dipahami oleh orang lain pada saat yang bersamaan (masa damai) nanti” kata Nadia dalam wawancara film Quarterly.
Apa yang ditangkap? Jika setiap hari di sepanjang jalan Yerussalem atau Gaza terus jatuh, dan kematian seperti remah nasi bekas di sampah toko restoran. Keintiman pengalaman itulah yang ditangkap. Pengalaman seorang Individu, baik ia seorang milisi Palestina, dan atau sebagai manusia yang utuh. Dengan demikian, kisah dalam benak setiap orang akan memiliki keunikan cara membaca sejarahnya sendiri. Julia Kristeva seorang Fenomenolog sekaligus Kritikus Sastra menacatat, subjek dalam narasi akan selalu terus mencari yang lain agar mampu menerjemahkan kehadiran dirinya dalam dunia. Ini barangkali maksud daripada Nadia.
Adalah puisi yang menjadi medium cukup mumpuni dalam merekam pengalaman kebahasaan seseorang. Penyair Palestina, Mahmoud Darwish salah satu penyair yang mampu membahasakan keresahan ini ke dalam dunia luas salah satunya. Saat masih terlibat aktif di Partai Komunis pada tahun 1960, ia rutin keluar masuk penjara akibat aktivitas politik dan kekuatan puisi-puisinya. Aku berjalan di atas bumi, sebelum pedang menikam tubuh, yang akan mengubahnya menjadi santapan. Aku belajar semua kata-kata, dan memecahkannya, agar aku bisa menyusun satu kata, yaitu : Tanah Air.
Tanah Air menjadi pertanyaan seluruh hidup Darwish. Setiap hari, ia menyaksikan kematian seperti bunga gugur yang atuh tanpa peramalan waktu yang tepat. Hanya puisi yang mampu Darwish tulis. Aku membayangkan bahwa puisi sedihku, dan ratapan ini, akan menjadi kenangan dan bahwa nyanyian kegembiraan juga lengkung Pelangi akan didendangkan oleh lainnya//aku membayangkan, oh negeriku yang tersalib, akan terbakar suatu hari. Kesedihan bagi Darwish bukan melulu soal kehilangan, akan tetapi kesedihan yang mampu mengumpulkan air mata menjad api perlawanan. Dengan medium puisi, Darwish merasa mampu menjaga jarak dari kesedihan yang berlarut.
Orang mengenal Darwish sebagai Penyair Palestina yang melawan. Hanya saja, berapa banyak orang yang membaca puisinya. Dalam lagu kesedihan, perasaan paling intim Darwish mengajak kita membaca Palestina, sementara barangkali mungkin orang hanya mengenal aktivitas politiknya. Mungkin tepat, jika kemudian Sinema dan Montase menjadi medium unik yang mampu menerjemahkan puisi-puisi Darwish, sehingga teks mampu lebih diterima oleh khalayak yang lebih luas. Adalah Qais Al Zubaidi, seorang Sutradara Irak lulusan Jerman yang mencoba menerjemahkan puisi-puisi Darwish, dalam filmnya yang berjudul Ziarah (The Visit).
Ziarah Qais Al-Zubaidi, tercatat sebagai salah satu film Palestina yang mampu mendobrak narasi baru tentang sinema melalui teknik kolase puisi. Teknik ini memang wajar digunakan oleh Qais, karena fokus studinya selama di Jerman antara lain adalah Montase. Teknik mengambil potongan gambar, menjadi gambar bergerak dan menjadi satu kesatuan cerita utuh. Dalam film ini, bukan hanya puisi-puisi Mahmoud Darwish yang digunakan oleh Qais. Dua penyair lain, selain Darwish adalah Samih Al-Qasim dan Tawfiq Ziad.
Adegan pertama, menampilkan sosok seorang lelaki berpakaian jas hitam sedang menuju ke tempat checkpoint. Tempat orang-orang Palestina sering diperiksa oleh Tentara Israel. Setelahnya adegan dipotong begitu saja dan tiba-tiba gambar hilang diganti dengan seorang bapak yang sedang memeluk kematian anaknya disertai dengan lanskap puisi. Seorang Migran yang datang kesini, dan tidak kembali ke tanah air.Seorang Migran yang mati tanpa kain kafan. Setelahnya, adegan lelaki yang tadi hilang kembali muncul menuju ke tempat yang tampak seperti Gudang.
Teknik seperti ini, terus menerus diulang oleh Qais, untuk menggambarkan Palestina yang tanpa tembakan senjata, sambil menawarkan kisah dari Palestina tidak selalu tentang Perang. Meskipun akhirnya, dalam adegan akhir, ada penembakan yang diperlihatkan kepada sosok perempuan yang mimiknya datar dan pasrah berada di atas ranjang. Ada seorang tentara yang wajahnya tidak diperlihatkan menodong senjata ke si perempuan. Sebelum mati, alis perempuan itu mengangkat sedikit, dengan tampak kesedihan yang kuat dan membuat penonton merasakan ekspresi gelisah sekaligus perasaan yang nihil. Singkat, film itu kemudian berakhir. Apa yang dilakukan Qais, dengan maksud bermain-main dengan Puisi. Palestina yang mana dalam gambaran Qais, Palestina apa yang hadir dalam cerita Ziarah. Barangkali demikian cara Qais menawarkan film tentang Palestina. Biar penonton yang menangkap isi cerita.