“One child, one teacher, one book and one pen”
Mendengar kalimat itu, tentu saja kita akan mengarah kepada sosok perempuan muda yang berasal dari Lembah Swat Pakistan. Namanya terkenal seantero belahan dunia. Bagaimana tidak? Ia memperjuangkan hak perempuan yang direnggut oleh kelompok, yang mereka sebut “Taliban”. Siapa dia? Tentu saja Malala Yousafzai.
Keberaniannya melampaui batas budaya patriarkal. Nampaknya urat nadi ketakutan tak lagi bersemayam di lubuk hatinya. Hanya suara ketulusan dan kemurnian yang hinggap di dirinya. Hingga semua terbalas dan dunia memperkenalkannya ia sebagai “pahlawan”.
Selain itu, ia telah diberikan berbagai penghargaan, salah satunya adalah Nobel Peace Prize termuda di Dunia. Di tahun 2014, telah berdiri sebuah yayasan bernama Malala Fund. Yayasan ini menampung berbagai isu terhadap anak dan perempuan.
Tentu yang dilakukan oleh Malala, bermula dari ajaran ayahnya yang bernama “Ziauddin Yousafzai”. Ibarat api unggun, ayahnyalah yang menjadi minyak, hingga menumbuhkan kobaran semangat api yang membara itu.
Ziauddin Seorang Aktivis
Tak banyak orang tau kisah di balik pencapaian Malala. Kebanyakan mereka hanya melansir sebuah kisah yang bermuara pada peristiwa penembakan yang dilakukan oleh Taliban serta tulis menulis di sebuah media yang bernama “BBC “. Padahal ada yang paling krusial yang patut di telusuri yakni peranan ayahnya, yang menciptakan anak sekuat Malala. Apalagi Malala sering menyebutnya sebagai role model dan kamerad perjuangannya.
Sebab, beberapa penelitian menyebutkan bahwa peran orang tua dalam perkembangan dan pertumbuhan anak dapat mempengaruhi masa depannya. Tentu pola pikir, sikap, kecerdasan intelektual hingga emosional dimulai dari bagaimana pola asuh kedua orang tua. Artinya, rumah sebenarnya adalah sekolah pertama bagi seorang anak.
Malala memang lahir di bawah cengkraman Taliban, sehingga larangan untuk menyambut kelahiran anak perempuan memang menjadi suatu adat istiadat. Namun, berbeda dengan tangapan Ziauddin yang kelahiran anaknya (Malala) di sambut dengan suka cita. Baginya tidak ada diskriminasi antara anak laki-laki dan perempuan.
Ia memang seorang aktivis pendidikan, utamanya pendidikan perempuan. Ia tak segan-segan turun ke jalan untuk memprotes kebijakan yang dibuat oleh Taliban. Ia kadang sering berpindah tempat ke tempat lainnya untuk hanya mengamankan anak dan istrinya. Sebab, kekuatan protesnya menjadi ancaman bagi pemilik kebijakan.
Tidak hanya melakukan aksi massa, namun protesnya terkadang dibalut dengan tulisan. Hingga DNA kecakapan serta kemahiran dalam menulis diturunkan kepada anaknya. Tak heran apabila Malala gemar menulis sebab semua ia dapatkan atas bimbingan langsung dari ayahya.
Buku yang telah ditulis oleh Ziauddin di antaranya adalah Let Her Fly dan Livre Para Voar: A Jornada De Um Pai e a luta pela ingualdade. Salah satu isi buku Let Her Fly yang telah diterbitkan November 2018 mengambarkan perjuangangan hak atas semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Selian itu, isi tersebut juga membicarakan perihal peluang dan pengakuan sosial dan politik di hadapan negara.
Tak heran apabila suara Malala dapat menikam belenggu kekuasaan Taliban. Sebab, dibalik kekuatannya terpancar kekuatan ayahnya yang gemar mengilhamkan putrinya untuk mengangkat suaranya dalam mengkampanyekan hak-hak anak atas pendidikan khusunya perempuan. Walaupun demikian, ia kerap kali menjadi sasaran empuk dan mendatangkan kriminalisasi dari kelompok ekstrim Taliban. Hingga peristiwa 9 Oktober 2012 terjadi, dimana tembakan peluru itu tertancap di kepala Malala.
Seorang Pendidik
Ziauddin bukan hanya menjadi—seorang aktivis, namun juga—pendidik. Ia adalah seorang pendiri serta pemilik sekolah khusus perempuan yang bernama Khushal Publik School. Niatnya adalah memfasilitasi anak-anak perempuan dalam mendapatkan pendidikan yang sama. Harapan ini pun juga manmade impian Malala.
“In some parts of the world, students are going to school every day, it’s their normal life. But ini another part of the world, we starving for eduction…it’s like a precious gift, it’s like a diamond” “Malala”
Pendidikan memang menjadi sentral utama dalam kebutuhan manusia. Sama halnya manusia membutuhkan makanan dalam kehidupan sehari-harinya. Darinya semua bisa tercerahkan, tidak ada kebodohan yang berantai. Namun, apabila itu terangkai secara sistematis perlu ada perubahan secara radikal selayaknya Ziauddin Yousafzai.
Sebagaimana dikasihkan di tahun 2008, Taliban mengumumkan bahwa melarang anak perempuan pergi ke sekolah. Oleh karena itu, lembaga yang didirikan oleh Ziauddiin tak bisa melakukan pembelajaran seperti biasanya.
Upaya dalam memperjuangkan pendidikan tak berhenti disitu. Ziauddin membawa Malala ke Pashawar untuk menyampaikan keluhan Malala perihal “Berani-beraninya Taliban megambil hak dasar saya menerima pendidikan” di depan publik yang disiarkan dalam telivisi dan radio.
Artinya, Ziauddin memberi kesempatan bagi Malala, sebagai perwakilan perempuan dan anak yang diberangus haknya oleh Taliban. Setidaknya tujuan hanyalah membagun keberanian kepada publik untuk menyuarakan hak dasar miliki mereka yang menjadi suatu tujuan konstitusi negara.
Baginya larangan Taliban terhadap pendidikan anak perempuan tidak patut untuk dilaksanakan. Sebab, hal tersebut memungkinkan perempuan untuk bekerja dan memperdayakan mereka untuk memimpin. Oleh karena itu, Ziauddin akan terus bersuara sampai para anak, perempuan tetap melanjutkan pendidikannya.
Sebab, tidak ada satu kata pun dalam Al-Quran yang melarang perempuan untuk mengenyam pendidikan. Padahal belajar adalah kewajiaban bagi setiap muslim. Sebagaimana hadist
Oleh karena itu, hari ini Ziauddin menjadi salah satu Ketua Dewan untuk Dana Malala. Ia juga menjadi penasihat khusu PBB untuk Pendidikan Global dan juga atase pendidikan untuk Konsultan Pakistan di Brimingham, Inggris.