3 Hal Unik dari Al-Farabi, Filsuf Muslim Terbesar
3 Hal Unik dari Al-Farabi, Filsuf Muslim Terbesar

Al-Farabi (259 H/872 M – Rajab 339 H/951 M) adalah seorang ilmuwan, filsuf, dan ahli hukum Islam dari Farab, wilayah Turkistan. Nama lengkapnya adalah Abū Nashr Muhammad bin Muhammad bin Uzalagh bin Tarkhan Al-Fārābī, namun ia lebih dikenal dengan nama singkat Al-Farabi, atau Alpharabius dalam literatur Latin. Al-Farabi dikenal sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim al-Tsānī) setelah Aristoteles, yang dipandang sebagai “Guru Pertama”. Pencapaian Al-Farabi dalam berbagai bidang seperti epistemologi, metafisika, logika, matematika, ilmu alam, politik, tata bahasa, dan musik menjadikannya tokoh berpengaruh dalam filsafat Islam dan Barat.

Latar Belakang


Al-Farabi lahir di desa Wasij, dekat Farab (sekarang Otrar, Kazakhstan). Ia berasal dari keluarga berdarah Turkik, meskipun beberapa sumber menyebutkan ia memiliki keturunan Persia. Setelah menerima pendidikan dasar di kota kelahirannya, Al-Farabi melakukan perjalanan ke pusat-pusat intelektual terkemuka pada masanya, seperti Bukhara, Samarkand, dan Baghdad. Di Baghdad, ia belajar logika dan filsafat Yunani dari Yūhannā bin Haylān, seorang Nestorian yang ahli dalam teks-teks Yunani.

Al-Farabi lahir di Farab, sebuah kota di kawasan Turkistan yang kini berada di sekitar Otrar, Kazakhstan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ayahnya adalah seorang komandan militer keturunan Persia yang bertugas di wilayah tersebut. Farab pada masa itu merupakan kota besar yang terletak di Jalur Sutra, sehingga menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. Setelah masa mudanya, Al-Farabi melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu ke berbagai kota seperti Bukhara, Samarkand, Merv, dan Balkh, sebelum akhirnya tiba di Baghdad pada usia 40 tahun. Di sana, ia belajar ilmu logika dari Yūhannā bin Haylān, seorang Nestorian yang juga dikenal sebagai penerjemah dan komentator karya-karya Yunani. Di Baghdad pula, ia bertemu dengan Abu Bishr Matta bin Yunus, yang mengajarkannya berbagai ilmu logika Aristotelian.

Karena situasi politik yang tidak stabil di Baghdad akibat perebutan kekuasaan, Al-Farabi melarikan diri ke Aleppo dan mendapatkan perlindungan dari Sayf al-Dawlah dari Dinasti Hamdanid. Di Aleppo, Al-Farabi terus mengembangkan pemikirannya hingga akhir hayatnya. Ia wafat di Damaskus pada bulan Rajab 339 H (951 M).

Pemikiran dan Pengaruh

Al-Farabi adalah filsuf Muslim pertama yang menyusun filsafat sebagai sistem yang koheren dalam dunia Islam. Warna Neoplatonisme pemikirannya terlihat dalam konsep emanasi yang menjadi dasar kosmologinya, meskipun ia juga sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristotelian. Melalui berbagai karyanya seperti “Ihsa Al-‘Ulum” dan komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles, Al-Farabi dijuluki sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles. Karyanya yang berpengaruh mencakup berbagai bidang, dari metafisika, kosmologi, psikologi, hingga logika.

Ibnu Sina (Avicenna) adalah salah satu tokoh yang sangat terpengaruh oleh karya-karya Al-Farabi, terutama dalam memahami Metafisika Aristoteles. Karya Al-Farabi juga memengaruhi filsuf Yahudi, Maimonides, serta pemikir Barat seperti Albertus Magnus dan Leo Strauss.

Pemikiran tentang Negara dan Masyarakat

Menurut Al-Farabi, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, sehingga mereka membentuk komunitas yang kemudian berkembang menjadi sebuah negara. Negara menurutnya merupakan kesatuan masyarakat yang mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan warganya, sehingga tercapai tujuan kebahagiaan yang nyata. Dalam “Negara Utama” (Al-Madinah Al-Fadilah), warga negara berusaha mencapai kebahagiaan di bawah pemimpin yang bijak dan berbudi luhur. Negara ini merupakan ideal yang dia bandingkan dengan tubuh manusia, di mana setiap bagian memiliki fungsinya yang teratur dan harmonis.

Al-Farabi juga mengklasifikasikan negara dalam lima bentuk utama: Negara Utama, Negara Bodoh, Negara Fasik, Negara yang Berubah-ubah, dan Negara Sesat. Negara Utama merupakan ideal yang dipimpin oleh nabi atau filsuf, sementara negara lainnya mencerminkan bentuk masyarakat yang tidak sempurna dan menyimpang dari cita-cita kebahagiaan sejati.

Teori Emanasi

Al-Farabi memperkenalkan teori emanasi yang menjelaskan asal mula alam semesta dari Tuhan sebagai entitas yang Esa, tidak berubah, dan jauh dari materi. Dari Tuhan sebagai “Wujud Pertama” muncul Akal Pertama, dari Akal Pertama muncul Akal Kedua, dan seterusnya hingga Akal Kesepuluh yang menciptakan roh dan materi pertama. Dari proses inilah muncul elemen dasar seperti api, udara, air, dan tanah. Teori ini menyatakan bahwa seluruh ciptaan berasal dari Tuhan melalui pancaran bertingkat-tingkat.

Dengan berbagai pemikiran tersebut, Al-Farabi membentuk dasar bagi perkembangan filsafat Islam dan menjembatani pemikiran antara Timur dan Barat.

Pengaruh dan Warisan

Sebagai komentator utama filsafat Yunani, Al-Farabi memengaruhi pemikir Islam dan Barat, termasuk Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Averroes), dan filsuf Yahudi Maimonides. Ia berperan dalam melestarikan dan mengembangkan filsafat Yunani di dunia Islam. Al-Farabi juga membuka jalan bagi generasi berikutnya dalam mempertemukan pemikiran Islam dengan filsafat klasik, menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Islam.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here