Telinga Panjang itu menjadi simbol kecantikan, keagungan, dan perlindungan bagi suku Dayak. Tapi Ia memotong telinganya sebagai wujud penolakan sekaligus ketaatan. Pilihan yang sulit.
“Dulu telingaku Panjang, pemerintah Kab. Berau sering memintaku untuk menari di acara-acara kedinasan.” Kalimat yang dilontarkan Doh Bong Luy saat aku berkunjung ke rumahnya.
Hal ini membuat Doh Bong Luy dikenal sebagai penari dari suku Dayak. Banyak orang menganggap ia sebagai pionir yang memperkenalkan tarian suku Dayak kepada masyarakat luas. Namun, ternyata persepsi tersebut keliru. Justru, ia tidak ingin lagi menari, tidak ingin lagi mengisi acara kedinasan. Karena ia tidak mau menarikan tarian yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki. Baginya itu melanggar pakem adat istiadat.
“Waktu itu saya diminta untuk mengisi acara di Jakarta. Namun, setelah mendengar permintaan tariannya dan itu bukan untuk tarian perempuan. Saya tidak mau. Saya disuruh menari Mandau di atas gong. Itu tarian lelaki.”
Ia lalu mencari cara agar tidak diajak ke Jakarta. Ide berani pun muncul: sebagai wujud penolakan, ia memotong telinganya. “Aku Memotong Telingaku.” Ujar Doh Bong Luy, dengan raut wajah sedih.
Mengingat peristiwa masa lampau itu, lanjutnya bercerita, setelah memotong telinganya ia Kembali ke desa tempat ia tinggal. Di rumahnya ia meratapi apa yang telah dia lakukan. Benar saja, saat ia berkunjung ke rumah sang kakak yang berada di desa sebelah. Ia tidak lagi diterima oleh sang kakak. Sang kakak begitu kecewa melihat sang adik memotong telinganya. “Pergi, kamu bukan adekku lagi, aku gak mau ketemu lagi,” ujar Doh Bong Luy menirukan ucapan sang kakak.
Sambil menangis ia menceritakan hal tersebut kepadaku. Ucapan yang membuatnya cukup terpukul, ia sekarang tidak diakui menjadi bagian dari keluarganya. Telinga Panjang adalah salah satu tradisi dan kehormatan bagi wanita Dayak (Dayak Ga’ai). Hal itu berlangsung kurang lebih 3 tahun ia tidak ditegur oleh sang kakak. Perjuangan untuk masuk ke keluarganya terus dilakukan. Ia tidak ingin menyerah begitu saja, dengan berbagai cara Ia terus mendekati sang kakak untuk bisa menjelaskan alasannya kenapa memotong telinganya.

Perjuangan yang dilakukan Doh Bong Luy akhirnya membuahkan hasil, akhirnya sang kakak menerimanya kembali. Setelah ia pulang pergi dari desanya ke desa sebelah untuk menemui kakaknya.
“Aku lebih baik tidak menari, karena tarian itu bukan untuk perempuan dan aku memotong telingaku agar aku tidak menyalahi aturan adat,” ucapnya jujur kepada sang kakak. Suasana yang meluluhkan hati itu ditandai pelukan hangat keduanya.
Berbeda lagi dengan nenek Pelukud. Ia bercerita saat itu setelah dia pindah dari desanya yang jauh dan menuju kota. Ia dan teman-temannya yang memiliki telinga Panjang di minta untuk memotong telinganya oleh pemerintahan setempat. “ini sudah bukan zamannya, sekarang masuk zaman modern, potong saja daun telinga itu” pungkas sang nenek.
“Aku menyesal telah memotong daun telingaku,” ujar sang nenek. Ia sedih karena ia teringat oleh sang ibu yang membuatkan telinga Panjang tersebut dan harus ia potong. Nenek Pelukud memotong daun telinganya di sebuah klinik di kota tempat ia berada. Nenek Doh Bong Luy dan Nenek Pelukud (Alm) ialah dua dari ratusan bahkan ribuan orang yang memotong daun telinganya.
Simbol Kecantikan & Keagungan
Suku Dayak lekat dengan identitas berupa Tatto, Telinga Panjang, dan ritual-ritualnya yang masih kental. Begitu melekat di kepala bahwa tradisi memanjangkan telinga Panjang dan tattoo. Yah suku Dayak memiliki berbagai tradisi, salah satunya adalah memanjangkan telinga atau bisa disebut juga Telinga Dadok. Penyebutan di suku Dayak Kenyah. Tradisi ini menjadi turun-temurun bagi beberapa suku Dayak yang ada di Kalimantan. Namun tidak semua suku Dayak yang memiliki tradisi memanjangkan telinga.
Memanjangkan telinga dilakukan sejak kecil. Dengan menggunakan duri yang dibalut kain lalu ditusuk ke daun telinga. Kalau sekarang mungkin kita sebutnya piercing yah. Kurang lebih metodenya sama seperti itu. Namun yang berbeda adalah setiap tahunnya telinga itu akan diberikan beban dan terus ditambah tiap tahun hingga memanjang. Telinga Panjang itu menjadi simbol kecantikan, keagungan, dan perlindungan.

Saya bertemu dengan nenek Pelukud di desa Metun Sajau Kalimantan Utara, pertemuan yang luar biasa bagi saya. Bagaimana tidak, saya bisa mendengarkan ia bercerita sejarah membuat telinga Panjang hingga tatto yang ia kenakan. Telingaku dulu dilubangi dengan duri yang dibungkus kain, kemudian kainnya dibiarkan di lubang telinga. Beranjak saat aku mulai bisa berjalan, kain tersebut diganti dengan anting-anting. Anting-anting ini akan terus ditambah hingga memanjang,” pungkasnya.
Telinga Panjang akan bergandengan dengan tradisi tato. Tato juga menjadi simbol kecantikan hingga kasta. Tato ini menjadi penanda kasta. Simbol-simbol yang begitu memiliki makna yang mendalam bagi para perempuan Dayak. Misalnya adalah Dayak Wehea, jika perempuan tidak ditato pada bagian tangannya, maka ia tidak boleh memasak makanan untuk orang lain atau makanan yang ia buat tidak akan di makan oleh orang lain.
Tidak semua suku Dayak memanjangkan telinganya
Suku Dayak sendiri saat ini memiliki sub suku sebanyak 470-an yang tersebar di Kalimantan. Suku besarnya yang sering di kenal adalah Suku Dayak Iban, Dayak Punan, Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Kayan dan Dayak Lundayeh. Dari semua suku Dayak yang ada di Kalimantan tidak semuanya melakukan tradisi telinga Panjang. Bahkan tidak semua suku Dayak juga yang memiliki tradisi mentato.

Hal yang pasti menjadi ciri khas suku Dayak adalah peramu. Ya mereka adalah peramu professional. Bagaimana tidak, kedekatan mereka dengan hutan tropis yang memiliki banyak flora & fauna menjadikan mereka ahli dalam meramu berbagai macam ramuan.
Diskriminasi dan tidak modern

Stigma negatif yang muncul bagi para penerus tradisi ini terjadi. Bahkan ketakutan orang tua untuk melestarikan tradisi ini ke anaknya menjadi momok besar. “Gak mau kayak gitu (telinga Panjang) nanti gak bisa sekolah, gak bisa jadi PNS dan gak bisa jadi guru.” Kalimat ini yang terlontar dari seorang ibu dan anak muda Dayak yang pernah saya temui. Ketakutan ini membuat mereka tidak ingin melakukan tradisi telinga Panjang.
Waktu akan menjadi pengingat budaya ini
Tradisi memanjangkan telinga ini sudah berlangsung ratusan tahun. Namun, kini akan menjadi pengingat kita semua, bahwa tradisi ini pernah ada di negeri kita dengan segala keindahannya.
Tradisi memanjangkan telinga ini sudah tidak lagi diteruskan oleh generasi muda. Selama saya berkeliling ke desa-desa di pelosok Kalimantan saya tidak menemukan ada generasi 70-an hingga 90-an meneruskan tradisi ini. yang saat ini kita lihat adalah generasi terakhir yang lahir di tahun 40-an yang masih mempertahankan tradisinya di tengah kemajuan teknologi.

Kebanyakan yang masih melestarikan tradisi ini memasuki usia senja, namun usia hanya angka. Saya pernah menemui salah satu nenek yang usianya 80 tahun yang masih berjalan kaki ke ladang dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Hal ini mungkin tidak akan kita temui lagi di pelosok Kalimantan karena seiring berjalannya waktu semua akan hilang. Gambar dan tulisan tentang mereka (telinga Panjang) akan terus abadi menjadi pengingat kita semua.