Bachtiar Siagian

 

Bachtiar Siagian “hampir” hilang dalam Sejarah Film Indonesia. Bachtiar mengerti betul tentang film, sesaat setelah Jepang masuk yang sebagian mode gerakannya menggunakan metode propaganda film. Dari sinilah Bachtiar belajar film, dari mereka yang secara tegas sejak dahulu mengerti bahwa Film secara fungsi tidak lain adalah untuk kepentingan propaganda. Dalam ideologi politik, karena itu Bachtiar tegas kepentingannya adalah membela rakyat melalu Lembaga Kerakyatan. Kendati dalam masalah estetika, dari sebagian besar film yang hilang arsipnya kita mampu melihat corak seperti apa yang ia bawa.

Bachtiar dari Binjai, Kota yang berbatasan dengan Medan dalam jarak tempuh kurang dari satu jam  alamat ini adalah perlu saya katakan karena sebaran Politik Kebudayaan Indonesia sejak 45 – 65 tidaklah merata, apalagi jika saling mengaitkannya secara homogen. Di Luar Pulau Jawa waktu itu, konflik horizontal atas nama identitas cukup keras. Misalnya dalam hal ini organisasi masyarakat yang sedang bertarung di daerah Medan sempat tampak dalam film Jagal. Khususnya sentimen terhadap narasi yang dibawa oleh Kelompok Komunis. Sementara di sisi lain, Bachtiar ketika berada di Binjai belum tergabung dalam lembaga-lembaga yang pada masa itu masuk dalam kategori kiri.

Bachtiar mengecap pengalaman, “menjadi kiri” meskipun kurang jelas apakah ia seorang Marxis tulen atau seorang yang terpengaruh oleh diktat Partai Komunis. Dua hal ini akan berbeda dan memang perlu dibatasi, karena pada waktu itu bias antara paham Marxis sebagai ilmu sosial dan diktat partai mengalami kontradiksi dalam tubuh partai itu secara kuat. Kendati demikian, Bachtiar seorang anak kelas pekerja. Ayahnya adalah pegawai administasi  Perusahaan Kereta Api dan Bachtiar kecil ikut menyaksikan bagaimana kondisi buruh di sekitar Perusahaan Kereta Api amat terlunta. “Mungkin hati nuraniku banyak dipengaruhi lingkungan aku dilahirkan di perkebunan dan dibesarkan di lingkungan kuli kontrak yang diperlakukan sewenang-wenang,” kata Bachtiar dalam salah satu ulasan di Starnews Weekly.

Dengan pengalaman hidup yang cukup, ia mulai menggagas sinema ala lain dari film Hollywood – sebab pada waktu itu, Hollywood sudah cukup terkenal sebagai kanon perfilman dunia – ia mencari genre yang mampu diadaptasi dalam kehidupan orang Indonesia. Memang bukan genre otentik, akan tetapi dengan kondisi keterbatasan akses (privilege), Bachtiar cukup kemaruk mengambil ilmu-ilmu sinema. Salah satu sutradara yang mempengaruhinya antara lain adalah gerakan genre Neorealisme dari Rusia. Khususnya karya sutradara Vsevolod Pudovkin. Bukan secara langsung belajar dengan menyaksikan film, Bachtiar dalam kasus Pudovkin hanya mempelajarinya melalui buku. Entah buku itu diperoleh dari mana yang jelas aksara yang digunakan adalah Bahasa Cina. Dengan susah payah, Adam Malik yang pada waktu itu kenal dengan Bachtiar diminta menerjemahkan buku yang dipegangnya. Dari Jepang ke buku-buku mulailah Bachtiar membuat filmnya sendiri dan judul pertama yang ia rilis adalah Kabut Desember.

Dimanakah kita bisa menyaksikan film Kabut Desember? Tak ada dimanapun, karena memang sebagian besar dan rol film Bachtiar hancur setelah genosida 65 terjadi. Jika ada rol film yang selamat, sebagian besar itu karena anaknya Bunga Pratiwi Siagian. Adapun film yang tersebar antara lain hari ini tampil dalam layanan tonton langsung . Mubi , salah satu kanal film-film festival dunia menjadi salah satu penyedia layanan ini. Meskipun itu hanya berjumlah 4 dari 13 dan sisanya yang terlacak film buatan Bachtiar. Pada akhirnya, film-film Bachtiar Siagian hadir sebagai mitos yang lahir dari gelapnya sejarah politik kebudayaan di Indonesia.

Berkeluh dan jatuh di hadapan sejarah bukan jawaban yang patut diutarakan oleh mereka yang mempelajari Bachtiar. Bersama gerombolan pegiat seni, baik yang tergabung dengan Lekra ataupun Bukan sebab raibnya naskah dan rol film Bachtair bukan karena takdir. Pada 30 September 1965 penangkapan, penahanan dan pembunuhan seniman yang dituduh simpatisan PKI orang-orang yang dicap simpatisan ini diberangus. Bachtiar masuk ke sel Salemba setelah akhirnya kemudian diantarkan ke Pulau Buru bersama Tahanan Politik lain seperti Pramoedya.

 

Masalahnya kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah Bachtiar atau mereka yang turut ke Pulau Buru adalah seorang Marxis. Dalam salah satu wawancara, Pram yang turut pergi ke Pulau Buru misalnya, tak pernah sedikitpun ia menegaskan dirinya sebagai Marxis dan atau Komunis. Pram hanya berpandangan bahwa sejah itu berkaitan dengan kedaulatan manusia maka itulah yang ia perjuangkan dalam tulisannya. Demikian juga barangkali yang terjadi dengan Bachtiar, ia hanyalah seseorang yang hendak memperjuangkan apa yang menurutnya layak. Utamanya adalah rakyat yang bekerja untuk kesejahteraan hidupnya. Meskipun Orde Baru pada akhirnya menyisihkan mereka dalam sejarah. Bachtiar bahkan sempat mengecap Nusakambangan.

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk dalam sejarah Film Bachtiar pada akhirnya mendapat tempat khusus. Banyak orang yang mengatakan bahwa dalam hal kepeloporan film Indoensia, Bachtiar layak disandingkan dengan Usmar Ismail. Ada banyak persamaan antara keduanya, meskipun dalam hal lain perbedaan mereka juga ada. Latar belakang tentu mempengaruhi. Usmar Ismail seorang Bangsawan, sementara Bachtiar seorang pekerja. Kendati dalam posisi sejarah film Indonesia,  Usmar Ismail dengan karya legendarisnya Darah dan Doa menuai nilai setara dengan Turang milik Bachtiar yang langsung disaring lewat saksi mata Soekarno.

Mengapa Bachtiar Siagian begitu penting? Barangkali karena pasang surut revolusi orang-orang sibuk bicara merdeka. Kemerdekaan yang sama sekali lain dalam film-film Usmar Ismail dan Bachtiar Siagian. Kemerdekaan yang tidak sekedar diperoleh melalui Perang Bersenjata. Karena itu, Bachtiar dikategorikan sebagai Neorealisme sebagai genre yang berkembang dari aliran realis Rusia. Dalam hal ini, saya percaya yang dibawa oleh Bachtiar hampir serupa dengan partisipasi Keluarga Toer dalam hal menerjemahkan karya-karya sastra Rusia. Neorealisme yang turut berkembang seiring dengan perkembangan revolusi Rusia yang dilanjutkan dengan perkembangan hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia itulah yang dibawa oleh Bachtiar Siagian.

Bachtiar telah tiada, tapi karya-karyanya menyaksikan jejak kenangan sejarah estetika film di Indonesia berikut kegelapan kuasa Orde Baru. Sebelum waktunya habis, Bachtiar menjauhi diri dari kumpulan seniman yang dahulu jadi teman perjuangannya. Dalam catatan Bunga, Bachtiar sebenarnya mengalam trauma cukup berat. Hanya saja, dengan demikian kita akhirnya mengerti di simpang sejarah ada orang yang disampingkan meski kontribusinya amat besar dalam sejarah sinema Indonesia. Ialah Bachtiar Siagian, seorang anak dari Binjai yang meyakini kita melalui filmnya Violetta (1962) sedari dahulu seorang Disabilitas tak pernah diperhitungkan dalam suara dan mimpi tentang kemerdekaan Indonesia.

 

 

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here