Eri Hendro Kusuma

Ada satu hal paling menyebalkan yang saya jumpai saat membersihkan teras depan rumah akhir pekan kemarin. Saya bertemu dengan seekor anak ular yang sedang tidur pulas berselimutkan keset di bak mandi plastik bekas yang ada di teras rumah.

Jadi, akhir pekan itu memang sengaja saya sempatkan untuk membersihkan dan merapikan barang-barang bekas di teras depan rumah. Saya merasa risih melihat tumpukan kayu, bak mandi plastik, keset, dan barang-barang lain yang sebenarnya sudah tidak digunakan lagi tapi terpaksa “parkir” di teras rumah hanya karena “sayang”. Sayang kalau dibuang, sayang kalau dikasihkan orang, dan sayang kalau diloakan

Karena saya sudah menetapkan hari dan menyebarkan undangan ke kolega untuk hadir di kegiatan Aqiqah anak kami yang kedua, tentu saya harus segera menyiapkan tempat yang cukup untuk tamu yang saya undang. Terlebih rumah saya tergolong rumah sederhana dan sangat sempit sekali. Sehingga saya tidak membiarkan sedikit pun ruang kosong di area rumah yang tidak bermanfaat. 

Satu persatu barang bekas di depan teras rumah coba saya tata. Ketika mengambil keset yang ada di bak mandi bekas, saya berlari dan berteriak karena melihat hewan berwarna coklat yang melingkar. Untuk memastikan, saya mencoba untuk mengangkat kembali keset yang ada di dalam bak mandi bekas tersebut. Sial. Hewan tersebut memang ular, sesuai yang saya prediksi. 

Saya menyampaikan ke istri saya jika ada ular di dalam bak mandi bekas. Secara spontan istri saya langsung mengambil tongkat kayu yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Sikap spontan istri saya tersebut membuat saya menjadi tenang. Pikiran saya urusan ular adalah urusan istri saya. Ya, saya adalah orang yang sangat takut terhadap hewan melata itu. Jangankan bertemu langsung, melihat gambar atau videonya pun sebenarnya saya tak pernah mau, karena bisa terbawa mimpi saat tidur.

Harapan saya terhadap istri akhirnya kandas. Istri saya bukan mendekati ular, tapi malah bersiap di luar pagar rumah dengan tongkat kayunya. Saya tetap diminta untuk membuang bak mandi bekas itu keluar rumah dengan harapan ketika ular keluar dari bak mandi, akan dipukul oleh isteri saya. 

Pikiran saya tentu kacau balau pada saat itu. Jangankan melempar bak mandi itu keluar pagar, memegangnya saja saya sudah ragu dan gemetaran. Membayangkan ular itu akan melawan, menggigit tangan saya, atau malah kabur ke dalam rumah.

Di luar pagar, istri saya sudah berteriak dan tidak sabar dengan tindakan “diam saja” yang saya lakukan.

Terlihat di kaca jendela rumah, kedua anak saya juga berteriak memberikan semangat kepada saya. Sebagai seorang suami dan sekaligus sebagai bapak, saya harus menunjukkan sikap yang pantas untuk menjadi panutan serta pengayom rumah tangga. Saya tidak boleh mengecewakan istri dan anak-anak saya yang sudah ditakdirkan hidup bersama saya.

Dengan sedikit menghela nafas, saya beranikan menyentuh bak mandi yang berisi ular itu. Begitu saya pegang, langsung saya lempar bak mandi itu keluar pagar. Brakkkk!!!! Bak mandi itu pun jatuh tepat di luar pagar rumah. Saya pun lega dan merasa jika tugas saya sudah terselesaikan dengan sempurna. Tinggal menyaksikan aksi istri saya untuk memukul ular itu. 

Tapi begitu saya tengok keluar pagar, istri saya ternyata juga diam saja menunggu ular itu keluar dari bak mandi. Akhirnya saya terpaksa keluar pagar rumah dan membalik bak mandi bekas itu. Ketika bak mandi itu saya angkat sudah terlihat seekor anak ular yang lemah tak berdaya. 

Saya dan istri sama-sama bingung mau dilakukan tindakan apa terhadap anak ular yang sudah bikin gaduh seisi rumah di pagi hari. Pikiran saya mengatakan untuk tidak membunuh anak ular itu, mungkin dia anak ular yang dibuang oleh induknya, atau dia hanya mampir ke rumah karena kedinginan akibat hujan yang terus menerus tiada henti. Kami berdua pun hanya diam menyaksikan anak ular tersebut. 

Selang beberapa waktu, ibu tua samping rumah membawa bongkahan paving dan memukulkannya ke kepala anak ular itu. Prakkk!!! Sambil memukul kepala anak ular, ibu tua itu menyampaikan jika anak ular itu dibiarkan dan masuk ke dalam rumah  nanti bisa berbahaya. Setelah kepala anak ular itu dipukul ibu tua itu, lantas saya dan istri juga memberikan pukulan kecil-kecil ke anak ular itu.

Setelah anak ular itu mati, saya duduk di teras rumah sambil merenung. Mengapa ketika awalnya saya takut pada anak ular itu tiba-tiba jadi tidak tega untuk membunuhnya? Padahal kalau tidak dibunuh bisa jadi membahayakan saya dan keluarga.

Mungkin inilah manusia. Sejahat-jahatnya orang lain pada kita, rasa kasihan itu pasti ada. Sesama makhluk saja masih ada rasa kasihan, apalagi sesama manusia. Entah apa yang meracuni jiwa manusia yang tega menyiksa bahkan membunuh sesama manusia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here