Sekitar 50 vokal dalam deretan paduan suara, solis juga beberapa penyanyi, 24 penggesek violin, 12 pemain cello dan bass, serta gaung brass dan wind yang ditiupkan oleh orang-orang yang berada di atas panggung menggantikan kesenyapan pada halaman teater Karntnertor, Wina, hari itu.
Kemegahan yang ulung merayapi dinding-dinding teater kala pamungkas simfoni. Beethoven merangkaki nada-nadanya melalui baton dan lembar-lembar partitur. Ia kerap kecil meloncat dan bergerak. Dua tangannya tarik ulur meliukkan ragam irama—berupaya menyamai tempo, dan bunyi yang berayun dari para violinis, para cellis. Namun yang terjadi selanjutnya adalah—Caroline Unger, sang penyanyi contralto, menghentikan gerak tubuh sang maestro—gerak tubuhnya yang aneh. Sebab, orkestra telah berhenti sedari tadi. Beethoven ternyata tak mendengarnya. Ia memang mutlak tak dapat mendengarkan apapun.
Di gedung teater Karntnertor, Wina, seperti gelanggang, gedung terpenuhi oleh ratusan lebih orang yang telah lama menunggu Beethoven melayari orkestra di atas panggung lagi. Luas gedung terlihat tak menyisakan ruang sehasta pun. Setiap sudut penuh, dan ambang menutup cahaya siang hari. Mereka, tak sabar menanti maestronya tampil kembali setelah 12 tahun mengasingkan diri dari muka umum, dari keindahan kota Wina dan geletar musik-musiknya.
Namun, sepanjang musik mengairi belantara gedung Karntnertor, semua orang mengerti bahwa berdirinya Beethoven yang memunggungi mereka—dengan menggenggam baton dan wajah yang tertunduk di atas bentangan partitur—cumalah formalitas belaka. Sang maestro tak benar-benar menahkodai irama. Pun orkestra tak benar-benar mengarah pada intruksinya, melainkan seorang kappelmeister Karntnertor bernama Michael Umlauf. Seketika itu Beethoven memungkaskan karir pengabanya sebagai orang yang meraba-raba bunyi melalui telinga yang jatuh tuli.
Masa-Masa yang Muram
Otosklerosis, penyakit yang mengembangbiakkan tulang abnormal pada bagian telinga tengah, menyebabkan pendengaran Beethoven terbata-bata dalam mengeja bunyi dan suara. Periode muram tersebut menjadikan kinerja kreatifnya terasa berkurang. Dan ia menarik diri dari masyarakat, merasa malu, merasa dirinya tak berdaya. Ia sangat bersedih ketika mengetahui pendengarannya tak dapat lagi bekerja dengan maksimal. Ditambah pada tahun 1801 itu, Beethoven sedang berada di pucuk karirnya sebagai seorang pianis virtuoso sekaligus komponis.
Sebelum menjumpai permasalahan dalam pendengarannya, Beethoven pada tahun 1787, di mana ia berangkat dan meniti karir profesionalnya di Wina, bertemu dengan sosok yang dikaguminya. Mozart lebih tua darinya, dan lebih unggul dari segi apapun. Pertemuannya dengan Mozart menjadi momen yang barangkali sulit dilupakan. Dalam pertemuan itulah Beethoven unjuk diri. Di tubuh piano, jari-jarinya gemulai memukul pelan barisan putih hitam—dan Mozart kagum; kau memiliki potensi menjadi musikus besar, katanya. Dan benar, Ludwig van Beethoven selalu diingat—dan selalu bersandingan dengan Mozart. Selepas dari pertemuan itu, Beethoven diminta pulang ke Boon, kampungnya. Rupanya ibunya mengidap sakit parah. Tak berselang lama dari kepulangannya, ibunya menutup usia pada Juli 1787.
Kematian sang ibu membawa Beethoven ke masa-masa yang begitu suram. Ia harus mengurus adik-adiknya, di samping tekun belajar musik. Ayahnya, bukanlah orang yang dapat dikatakan bertanggungjawab dalam keluarga. Ayahnya seorang alkoholik yang tak mempunyai banyak masa depan bagi kecerahan kehidupan keluarganya. Melihat betapa tidak bergunanya sang ayah—yang saban hari menghamburkan uang hanya untuk sebotol martini—Beethoven meminta setiap gaji ayahnya diberikan kepadanya saja untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ia juga mendapatkan penghasilan lewat keluarga bangsawan yang belajar piano dengannya.
Simfoni No. 9 dan Lainnya
Masa-masa yang suram dan melelahkan itu tentu berat dilewati oleh Beethoven. Ia tak membohongi dirinya bahwa memikul beban yang demikian membuatnya bersedih dan frustrasi. Di lain hal, ia tak kunjung menemukan seseorang untuk berbagi di kehidupan yang menakutkan ini. Beberapa cintanya selalu berakhir oleh penolakan. Lambat laun pendengarannya yang semula terbatas menjadi benar-benar tuntas. Kesunyian ternyata tak hanya teriris dalam komposisi Adagio Sostesuno-nya, tapi juga kehidupannya.
Cinta yang gagal dan kehidupan yang kedap membuat Beethoven menarik diri dari keasingannya. Ia melepaskan belenggu keterpurukan masa lalunya. Justru pada masa-masa ketuliannya, Beethoven sangat produktif dalam mengaransemen musik. Tercatat opus-opus besarnya—yang disebut sebagai mahakarya dalam pergulatan musik klasik, terlahir pada tahun-tahun di mana Beethoven tak bisa lagi mendengar.
Fur Elise yang berjudul asli Bagatelle in A minor adalah karyanya yang fenomenal sekaligus paling diingat dan jamak didengarkan. Judul yang digubah Beethoven tersebut menyimpan misteri yang dalam tentang siapa sosok “Elise” dalam hidupnya. Para musikolog beramai-ramai menerjemahkan dan menginterpretasikan jalinan melodi pada pianonya yang selalu bermula dan berakhir di nada E—dan mencari-cari latar belakang tersembunyi dari lahirnya Fur Elise.
Namun tak ada tanda kemunculan informasi siapa itu “Elise”. Pencarian itu cuma memunculkan banyak teori—hipotesa, yang kunjung gelap ketika autograph Fur Elise menghilang. Syahdan, “Elise” selalu menjadi hantu untuk kita.
Namun, titik kulminasi dari pengembaraan Beethoven di kancah musik berhenti pada Simfoni No. 9—yang selesai digubah tahun 1824. Penggarapan judul tersebut terjadi ketika Beethoven benar-benar tuli sepenuhnya. Masuk ke dalam relung sunyi yang sesungguhnya.
Simfoni No. 9 memiliki rentang durasi sepanjang 75 menit dan intensitas yang kolosal. Beethoven mengerahkan seluruh tenaganya untuk judul tersebut seakan-akan itu adalah waktu terakhirnya untuk hidup. Dibagi menjadi 4 babak, segala bunyi yang lahir dan mengalir menunjukkan betapa Beethoven orang yang jenius—sosok yang visioner.
Oleh keberhasilannya yang bekerja maksimal lebih dari 6 tahun untuk Simfoni No. 9, sehingga menghasilkan komposisi yang luar biasa—Simfoni No. 9 gubahannya disebut sebagai karya klasik paling terkenal dan merupakan salah satu mahakaryanya yang terhebat. Sebuah opus yang menjadi pengaruh besar dan penanda atas transisi klasik-romantik.
Simfoni No. 9 juga menjadi pamungkasnya dalam berkarir. Tepat 3 tahun setelah rampunya Simfoni No. 9, Beethoven, menjemput kematiannya. Pada hari kematian Beethoven, semua sekolah yang ada di Wina ditutup sebagai tanda berduka. Lebih dari 30 ribu orang menghantarkannya ke tempat peristirahatan yang terakhir. Dan ketika peti matinya tergulung tanah makam, semuanya menangis.