Apa yang lebih abadi, selain peperangan? Perdamaian, perjuangan atas perdamaian, kata beberapa orang. Kau tahu, jawaban ini lebih menyebalkan daripada janji tentang masa depan. Jauh lebih baik kau bertanya kepada bayi berusia 3-5 tahun. Mari cari satu opsi jawaban lain, selain perjuangan atas perdamaian. Saya menawarkan satu, yang abadi selain peperangan adalah menyanyi, dan sila tambahi berdansa atau joget bila perlu. 1967 perang Arab-Israel ketiga, menewaskan hampir sejumlah 20.000 serdadu Mesir. Menurut catatan “Perang Enam Hari”, dalam rangkuman Wikipedia, jumlah korban perang, dari 20.000 serdadu Mesir ini, sebagian besar berasal dari aliansi Yordania, Suriah, Irak dan Lebanon.
Masa-masa perang, masa-masa genting. Harapan digantungkan di ujung lencana senapan serdadu. Bukan hanya Mesir, tentu sebagian kecil,, “Perang Enam Hari” itu berdampak pada pengaruh lanskap Dunia “Arab” di Kawasan Timur Tengah. Tetapi irama dunia, bukan notasi seragam. Dalam masa yang sama, penyanyi legendaris Mesir, Umm Kultsum, merilis “El-Ithlal”. Di Amerika, saat tradisi perang berlangsung, lahir sebuah notasi irama hentakan kaki, sebagai nyanyian yang biasa digunakan dalam parade militer. Milisi pejuang kemerdekaan Afrika, melahirkan Blues, sebagian diasporanya melahirkan Reggae. Ketiga-tiganya lahir dalam situasi “perang”, dengan kelahiran genre yang berbeda.
Apa yang lebih abadi, selain peperangan, adalah menyanyi dan berdansa. Sebagian besar nyanyian, lahir dari komposer jenius, dari budaya dan rentang waktunya masing-masing. Tentu saja, catatan penyanyi Timur Tengah sejak Kolonialisme Prancis (1978) berlangsung hingga Arab Spring (2013), boleh ditambahkan, selain Umm Kultsum. Di antara komposer, di antara para vokalis, terselip seorang penyair. Adonis. 1 Januari, 1930, Ali Ahmad Said, a.k.a Adonis lahir di Suriah. Adonis lahir di masa-masa, dunia Arab sedang mengalami krisis identitas, – x, catatan ini terlalu berlebihan, sebab sejak masa Islam mulai berkembang, dengan Bahasa Arab yang dibawa ala Quraisy, sungguh melacak otentisitas Dunia Arab sendiri bagi saya rumit, terlebih, setelah Al-Qur’an hadir.
Adonis lahir untuk menyanyi dan berdansa, bukan dalam musik, tetapi dalam puisi. Puisi-puisinya menari, melukis lanskap kebudayaan Bangsa Arab. Puisinya kadang menyayat kemunafikan bangsa Arab, kadang juga menggambarkan bagaimana bangsa Arab seharusnya. Ia berdansa di atas kebudayaan Bangsa Arab itu sendiri, sebelum, akhirnya men-deportasi-kan diri ke Prancis sebagai Eksil dan mengajar.
Nyanyian Mihyar Dari Dimasq
Dalam situasi perang, Adonis menulis puisi. Baginya perang di Timur Tengah, bukan hanya karena perang perebutan teritorial, mempertahankan kedaulatan, atau demi nusa-bangsa itu sendiri. Adalah ketidakmampuan menelusuri simpul kusut kebudayaan Bangsa Arab yang menyebabkan perang. Perang terhadap Imperial, kehilangan pijakan, akhirnya perang sipil. Bahkan perang sipil, adalah hal lazim yang terjadi di Kawasan Timur Tengah. Persoalan kebudayaan bukan hal sepele, bukan? Karena di dalam kebudayaan Timur Tengah, bagi Adonis ada perang – gesekan – besar kebudayaan, yang bisa ditarik muaranya, sebagian besar dari ajaran Agama Islam.
Nilai-nilai agama Islam yang dimaksud Adonis, bukanlah nilai pada dirinya sendiri, (for-it-self), melainkan Nilai yang dipatenkan otoritas. Otoritas adalah sumber, dimana nilai mampu diterjemahkan sebagai hal yang baik dan buruk, diproduksi lantas dikonsumsi oleh publik, lalu diserap sebagai nilai dari kebudayaan. Persoalannya adalah, siapa mampu menetapkan otoritas nilai agama, yang itu Haq dan ini Bathil?. Ada dua golongan yang disoroti oleh Adonis, golongan pertama, ia adalah golongan yang “mapan” (At-Tsabit), yang menganggap bahwa teks merupakan nilai yang final. Tugas manusia adalah menurutinya. Golongan ini, barangkali macam sekte ortodoks. Golongan lainnya adalah yang berwatak “dinamis” (Al-Mutahawwil), rindu akan perubahan, meskipun hanya sedikit yang berpijak pada golongan kedua ini.
Bagi Adonis, keduanya adalah soal. Keduanya merupakan ihwal yang sama-sama perlu diterjemahkan. Keduanya merupakan nilai yang patut dipertanyakan. Mampukah seorang manusia, menerjemahkan, apa yang ada di dunia ini secara objektif? – Kira-kira begitu yang saya tangkap – selain menuangkannya dalam puisi. Dengan tegas, dalam “Nyanyian Mihyar Dari Dimasq” ia menulis:
Kau gelisah, kau pun menulis puisi.
Tentang Tuhan yang resah. Tentang pagi yang membunuh bintang-bintang.
Tentang rahim jaman yang melahirkan laba-laba.
Tentang nabi yang tak tahu mana wahyu mana sajak.
(Nyanyian Mihyar Dari Dimasq)
“Nabi yang tak tahu, mana wahyu mana sajak” adalah personifikasi kepada “Liyan” yang mendaku dirinya mampu menghakimi sebuah sajak, Mungkinkah yang dimaksud Sajak di sini, juga termasuk antara lain Al-Qur’an? Secara implisit? Entah. Hanya saja, Adonis, dengan penuh ketegasan, mencoba “menyanyi” dengan nada Kromatis. Siapa pula peduli, seorang Nabi yang tidak bisa membedakan mana Wahyu Mana Sajak?, yang sungguh akan menimbulkan persoalan otoritas dan pemaksaan dogma suatu nilai, terhadap mereka yang dianggap “tidak paham”, demikian kira-kira.
Tentu Adonis tidak cukup bernyanyi, hanya sekedar melihat bagaimana simpul agama-kebudayaan yang bias. Adalah pencarian terhadap, “Liyan Yang Besar”, sesuatu-yang-ada-di-luar-subjektivitas-manusia. Sebab jatuhnya kebenaran ke tangan manusia, hanya akan menutup tirai kepada kebenaran itu sendiri, yang seharusnya mampu tersingkap. “Kasyf” atau ketersingkapan, adalah kata yang cukup sering dimunculkan pula oleh Adonis. Menurut beberapa catatan, Adonis memiliki obsesi sendiri terhadap Ibn Arabi’, dalam menyikapi nilai universal.
Sungguh aku seorang peragu sekaligus Nabi
Lantas melebur dalam kehilangan sejati
(Mazmur – Adonis)
Adonis sebagai seorang “Nabi” yang mencari “kesejatian” dan upayanya:
Hari ini telah kubakar
Fatamorgana Sabtu dan fatamorgana Jum’at
Hari ini telah kulempar topeng rumah itu
dan telah aku ganti Tuhan batu buta
dan Tuhan hari-hari tujuh
dengan seorang Tuhan yang sudah mati
(Tuhan Yang Sudah Mati – Adonis)
Menyanyilah, sekali lagi!
Dimana saat ini Adonis berada, mungkin Paris, mungkin rumahnya, atau di pelukan “Tuhan yang sudah ia bunuh”. Entah, tetapi dimanapun Adonis berada, saya kira ia sedang menyanyi dan berlari, seperti burung Unta yang berlarian di atas gurun. Gurun kehidupan yang penuh kabut dan badai pasir. Masa-masa perang, gejolak, dan kecemasan tentang masa depan, bukanlah sebab kehendak manusia, melainkan kemampuan kita untuk bercakap antar kebudayaan, menjahit simpul kebudayaan yang kusut akibat Kolonialisme.
Kita adalah Adonis, kita adalah Musafir, kita adalah penyanyi yang terus berlanggam, hingga akhirnya kita menemukan lagu kita sendiri. Ritme kehidupan kita sendiri. Kita adalah Ummu Kultsum, kita adalah Frau, kita adalah Sisir Tanah, kita adalah Kunto Aji, kita adalah Bach, kita adalah Beethoven, kita adalah Jack Lesmana. Kita adalah penyanyi sepanjang hayat, menyanyilah, sekali Lagi! Karena Adonis adalah Kita, Kita adalah Adonis, meski ujung senapan ada di depan mata.