Sekitar dua pekan ini, Ikun selalu berangkat lebih pagi ke ladang. Cuaca yang tidak menentu membuat hama tanaman lebih gampang menjangkiti  padinya, sehingga membutuhkan perawatan khusus.

Meskipun tidak seperti dulu, hasil panen setiap tahun selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan makan  sehari-hari.  Lebih-lebih sebagai masyarakat yang masih kental akan adat, Ikun percaya jika diperlakukan dengan baik, alam akan selalu menjamin kehidupan makhluk yang hidup di atasnya.

Keyakinan akan kenikmatan hidup bersama alam nampaknya mendapat ancaman dari pemerintah sendiri. Pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat, tak terkecuali Ikun, direncanakan akan menjadi objek eksplorasi tambang emas oleh investor PT. Merukh Lembata Kopper.

Wilayah Kabupaten Lembata, tempat tinggal Ikun memang memiliki potensi sumber daya alam seperti besi/logam, pasir besi, gas alam, batubara, serta emas. Hal itu sudah disadari sejak nenek moyang terdahulu.

Menurut kepercayaan orang terdahulu, setiap matahari terbit selalu muncul pantulan warna kuning dari dalam tanah, namun mereka belum tahu persis itu emas atau bukan. Yang membedakan, nenek moyang terdahulu menganggap itu sebagai tanah sakral yang perlu dijaga, bukan dieksploitasi.

Tanah dalam pandangan lokal dimaknai sebagai auq were  uru tanga atau tanah sebagai seorang ibu. Pemaknaan ini sama sebagaimana tanah bagi orang Amungme Papua yang diyakini seorang makhluk, bukan benda fisik semata.

Tanah berhubungan erat dengan nilai religius. Pada tanah tersebut leluhur mereka lahir dan dimakamkan. Dengan kata lain tanah merupakan roh dari kampung yang memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Masyarakat Adat Bergerak Rencana eksplorasi tambang emas membuat aktivitas Ikun bertambah. Selain bertani, ia juga aktif terlibat dalam organisasi masyarakat yang aktif menolak tambang emas.

Masyarakat membangun organisasi gerakan dengan kepemimpinan kolektif kolegial yang tersebar di desa-desa. Organisasi tersebut terkonsolidasi dalam bentuk Forum Komunikasi Tolak Tambang Lembata (FKT2L).

Adanya organisasi tersebut ada untungnya juga, Ikun bisa lebih tahu caranya berorganisasi, mengapa kita perlu berani menyuarakan pendapat.

Belajar dari daerah lain, seperti investasi batu bara di Sawahlunto dan Freeport di Papua. Meskipun tidak semua, mayoritas masyarakat adat di Kabupaten Lembata memantapkan hati untuk  menolak  rencana eksplorasi tambang.

Tambang bukan hanya merusak ekosistem dan degradasi lingkungan secara luas, bahkan permanen, serta merusak tatanan budaya masyarakat. Sudah banyak fakta menyebutkan pertambangan tidak memberikan nilai tambah untuk kualitas hidup masyarakat namun justru mendorong adanya korupsi (Harman,  2012).

Pembedanya, kepercayaan itu ditumbuhkan oleh masyarakat  Lembata melalui ritual adat, bukan karena dorongan kaum elit. Masyarakat percaya bahwa emas memiliki nilai sebagai media ritual untuk menjaga kesatuan suku, kesatuan adat, dan kelangsungan keturunan.

Upacara simbolik yang digunakan oleh masyarakat Lembata yakni ritual sumpah adat (kutukan) untuk memohon kepada lerawulan tanah ekan (leluhur kampung dan alam ghaib) untuk mengutuk siapapun yang berniat ingin melakukan pertambangan emas. Siapapun, baik pihak pemerintah, masyarakat atau korporasi, yang mendukung tambang emas akan mendapatkan musibah atau bencana.  

Gerakan sosial dalam mempertahankan nilai budaya secara nyata berdampak pada pembangunan di Kabupaten Lembata. Rencana ekspansi tambang emas yang menjadi inisiatif pemerintah dan investor mengundang ketegangan di masyarakat.

Menurut kepercayaan adat, mengeksploitasi emas sama dengan menghilangkan eksistensi suku, yang dapat mendatangkan musibah kemanusian, sosial, ekonomi, dan lingkungan. 

Kepercayaan umum menjadi kontribusi nyata bagi munculnya koalisi antar elemen gerakan sehingga terjadi gerakan bersama. Mereka digerakan oleh nilai-nilai leluhur untuk secara satu suara menolak kedatangan tambang emas.

Gerakan Sosial

Gerakan Sosial merupakan gejala sosial yang bisa muncul  dimana saja dan kapan saja. Menurut Giddens (1993) gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkungan lembaga-lembaga yang mapan. Upaya kolektif tersebut membutuhkan solidaritas, interaksi yang jelas dalam merumuskan strategi gerakan, serta tujuan yang jelas dan terukur.

Dalam kasus di Kabupaten Lembata, gerakan sosial terjadi melibatkan berbagai unsur masyarakat, seperti masyarakat adat, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain. Mereka berusaha menggugat kehadiran negara yang secara semena-mena memfasilitasi rencana tambang emas.

Negara dengan wewenang yang dimilikinya dapat memonopoli dengan paksaan dan penindasan oleh pihak yang berkuasa (Marx,1875). Dalam konteks saat ini, secara administratif negara dapat menerbitkan izin pertambangan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat luas. Tak jarang, negara juga dapat memakai aparat represif untuk memaksakan kebijakan.

Sedangkan pasar memiliki hubungan dengan negara tetapi bukan organ bawahan dari negeri (Caparaso dan Levine, 2008). Seringkali korporasi, terutama korporasi global tidak dapat dikontrol oleh kekuasaan politik negara karena proses integrasi keuangan global.

Pemerintah mendapat tekanan dari korporasi untuk melakukan investasi dalam rangka membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara. Dengan kata  lain negara bisa saja tunduk oleh mekanisme pasar atas dalih investasi dan demi kesejahteraan rakyat. Dalam beberapa hal, termasuk masyarakat  Lembata, sebagai pihak yang terdampak  langsung seringkali dipinggirkan, tidak dianggap, dan dikucilkan.


Dapatkan promo khusus pembelian buku ini dengan klik di sini di sini.

Detail Produk

Penulis: Dr. Ahmad Atang

Tebal: xxii+248 hal

Tahun/penerbit: 2018/Intrans Publishing

ISBN: 978-602-6293-59-6

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here