
Baru-baru ini bermunculan kabar Christine Hakim ikut terlibat dalam serial HBO The Last of Us yang diproduksi Sony Computer Entertainment. Diduga, terlihat jelas pada trailer terbaru dari serial The Last of Us, Christine Hakim berperan sebagai seorang ilmuwan yang meneliti virus jamur—yang kelak menjadi premis utama dalam kisah serial tersebut. Mengenakan pakaian laboratorium dan menjalin koneksi di salah satu media sosial dengan salah satu kreator serial The Last of Us semakin mempertegas keikutsertaannya dalam serial tersebut.
Informasi dari keterlibatan Christine Hakim pertama kali terdengar di media sosial Twitter. Terdapat akun yang membagikan cuplikan serial adaptasi game tersebut. Dan terpampang jelas bentuk wajah Christine Hakim. Seketika namanya mencuat dan diperhatikan lagi.
Christine Hakim merupakan aktris film senior di Indoensia. Ia telah malang melintang di jagat sinema Indonesia sejak awal 1970-an. Pada rentang tahun itu, ia banyak memerani film-film yang disutradarai oleh Teguh Karya dan Eros Djarot. Christine Hakim juga banyak berkolaborasi dengan Slamet Rahardjo dalam peran film-film roman. Keduanya sempat dijuluki pasangan peran yang paling fenomenal pada masa itu.
Sementara The Last of Us adalah serial yang diadaptasi dari vidio game. Serial ini dikembangkan oleh Craig Mazin dan Neil Druckmann. The Last of Us film drama pasca-apokaliptik yang menyoroti sebuah peristiwa di mana dunia diserang oleh suatu virus jahat—virus tersebut bermutasi dan membikin para pengidapnya menjadi agresif seperti hewan. The Last of Us nantinya akan ditayangkan perdana di HBO pada 15 Januari tahun mendatang.
Tentu sebagai orang Indonesia kita perlu bangga dengan keterlibatan salah satu aktris senior dalam serial sekaliber The Last of Us. Keterlibatan itu, membuka lebar kemungkinan-kemungkinan untuk Indonesia semakin terdengar dan bersinar di kancah sinema dunia. Namun yang perlu dijadikan pertanyaan di samping rasa bangga kita—ialah apakah keterlibatan Christine Hakim dalam The Last of Us kelak menyulut bara film-film dalam negeri menuju mutu tontonan yang lebih baik? Mungkin iya, mungkin juga tidak.
‘Mutu tontonan’, yang dimaksudkan adalah bagaimana unsur naratif dan sinematik dalam film kita bekerja dengan baik. Bila kita tarik ke belakang lebih jauh, bukankah ‘film-film Indonesia’ telah banyak berupaya menunjukkan diri ke kancah sinema yang lebih luas? Tidak hanya di kandang sendiri.
Garapan Eros Djarot, Tjoet Nja’ Dhien, sempat menunjukkan taringnya ke Cannes—memperdengungkan Indonesia dengan suara lantang. Tapi Cannes, dalam persoalan mutu, memiliki standar yang tinggi. Film tak cuman baik secara substansi—tapi juga pengemasannya. Meski begitu, Tjoet Nja’ Dhien tetap menarik perhatian di sana, kendati film-film Indonesia setelahnya—sampai masuk dekade 90-an tak memperlihatkan tanda-tanda yang lebih matang.
Masuk ke dekade 2010-an, nama-nama seperti Joe Tashlim, Yayan Ruhiyan, Cecep Arif Rahman, sampai dengan pionir laga kita, Iko Uwais—mendadak menyeret perhatian ketika mereka ikut terlibat dalam film-film asing, yang notabene memiliki koneksi dengan Hollywood. Joe Tashlim berjaya dengan Fast & Furious 6, The Swordsman, dan Mortal Kombat. Begitu pula Iko Uwais ketika diberi peran yang menonjol dalam film Mile 22. Sampai Yayan Ruhiyan dan Cecep Arif Rahman yang berkesempatan menyepak pipi Keanu Reeves. Mereka dibanggakan (di mana itu keharusan kita menghargai perjalanan mereka), ditandai, dielu-elukan. Namun mutu perfilman Indonesia belum juga mapan.
Bertaburnya bintang-bintang kita dalam film berskala besar—telah membuka peluang Indonesia lebih dikenal luas di kancah perfilman Internasional, sebetulnya. Peran-peran mereka yang esensial, tentunya bakal bersifat memanggil. Dengan itu, otomatis ada kepekaan untuk meningkatkan kualitas film secara sinematik, tak cuman naratif. Christine Hakim, perlu bekerja dua kali pada situasi yang demikian. Ia tak berhenti sekadar mengenalkan potensinya—tapi ada ghirah untuk menilai serta mengevaluasi mutu film di negerinya sendiri.