Dari Bukit Duri ke Fukuoka: Individualitas dan Divinitas Proses Kreatif Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Perburuan (1950) (sumber: revolusioner.org)
Dari Bukit Duri ke Fukuoka: Individualitas dan Divinitas Proses Kreatif Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Perburuan (1950) (sumber: revolusioner.org)

“Sudah terumuskan atau belum pengalaman itu, proses kreatif tetap pengalaman pribadi yang sangat pribadi sifatnya,” begitu tulis Pram mengenai proses kreatifnya dalam menulis Perburuan (1950), sebagaimana dikutip dari buku Proses Kreatif Jilid I: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jakarta: KPG, 2009). Bagi Pram, proses kreatif adalah perjalanan yang betul-betul pribadi dan “tidak butuh pembenaran orang lain”. Namun, tidak seperti Chairil Anwar, misalnya, yang membentuk id dalam reiterasi ke-“aku”-an dalam setiap karyanya sedemikian hingga dicap terlalu menyombongkan diri sendiri (walau belum tentu Chairil begitu), Pram justru menghasilkan suatu otentisitas yang agaknya tidak dijumpai di karya sastrawan lain. Ada sentimentalitas dan rasionalitas yang bergumul jadi satu prosa sederhana: berakar dari pengalaman riil, tetapi tetap mengandung estetika yang nisbi. Pengalaman bersifat objektif, tetapi penafsirannya subjektif. Memang, nama Pram sudah terlampau sering dilontarkan, tetapi untuk betul-betul menghayati alam pikirannya, diperlukan suatu interpretivisme holistik mengenai konteks sosio historis serta psikologisnya. 

Ada anekdot bahwa rata-rata penulis, penyair khususnya, bergantung pada kesedihan untuk menghasilkan karya. Alhasil, bagi para sastrawan, kebahagiaan menjadi musuh terbesar. Namun, Pram meramu kebahagiaan itu sendiri dari kepiluannya: tanpa muse, dan justru berbekal rasa benci terhadap sepak terjang militerisme Jepang yang diserapnya ke dalam pori-pori jiwa. Kalaupun Pram mengarang Perburuan demi kepentingannya sendiri – memuaskan hasrat ingin melampiaskan amarah guna menenangkan kemelut yang diakibatkan trauma akibat pendudukan Jepang di Jawa (1942—1945) – pada akhirnya ego itu membawa “syafaat”: Perburuan diakui sebagai salah satu karya sastra monumental dalam sejarah seni Indonesia. Terlebih lagi, novel ini juga digadang sebagai teladan spirit perlawanan terhadap imperialisme dan fasisme Jepang di Asia Tenggara, merangkap objek tinjauan pascakolonialisme dalam kesusastraan.

Pram bercerita, alkisah, kampungnya, Blora langsung terdampak penjajahan Jepang tak lama setelah Tentara Kekaisaran Dai Nippon mendarat di Banten, Kragen, dan Eretan Wetan pada awal 1942. “Tak lebih dari tiga hari di bawah kekuasaan Jepang,” begitu ia mulai berkisah pada buku suntingan Pamusuk Eneste tersebut, “aku berpapasan dengan dua serdadu Jepang yang sedang berpatroli mengendarai sepeda kayu. Mereka hentikan aku, dan aku turun dari sepeda baruku. Langsung milik kebanggaan itu dirampas,”

Tidak hanya sepeda, jam tangan dan sepeda ayahnya—yang belum dilunasi cicilannya—dirampas pula. Pram merasa harga dirinya terloloskan.

Para perempuan dijadikan jugun ianfu (budak seks), dan ibu sekaligus adik bungsunya meninggal karena tuberkulosis, menambah-nambah kegetiran di hati Pram. Agaknya, selain peristiwa traumatik yang ia alami secara langsung, Pram turut mendapat trauma sekunder (vicarious trauma) karena menyaksikan tindakan kekerasan Jepang terhadap bangsa yang pada awalnya dikononkan sebagai saudara tua. Pram, yang waktu itu masih berusia 17 tahun, pergi ke Batavia untuk bekerja di kantor berita Jepang, Domei, sambil menempuh pendidikan di Taman Siswa, Sekolah Stenografi, dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Mendekam di ruang baca Perpustakaan Gedung Gajah, waktu membaca Pram juga senantiasa diusik oleh ruangan minta ampun dari tawanan yang sedang disiksa Kempei Tai (Polisi Militer Jepang) di ruangan sebelahnya.

Namun, terdapat satu kejadian yang betul-betul menjadi sumber trauma berkepanjangan, yang, dalam ungkapan Pram, “dari masa Jepang ini sampai jauh kemudian terasai sakit hati karena suatu peristiwa yang sepele saja.” Peristiwa itu terjadi pada suatu siang dengan panas memanggang di Jakarta, tatkala ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda), lalu di belakangnya seorang serdadu Jepang melompat turun dari truk militer dan memaki, “Bodoh kau! Dasar pribumi!”

Setelah terlambat mendapat kabar Proklamasi – Pram sebelumnya telah mengungsi ke rumah seorang paman di Kediri karena tidak tahan lagi dengan kondisi pekerjaannya di Domei – ia menyempatkan diri menonton sandiwara Indonesia Merdeka. Hanya setelah menyaksikan lima belas menit pertunjukan, Pram tergugah menghasilkan kisah yang lebih anti-Jepang. Keberanian yang baru menetas ini terpaksa terkungkung oleh bui ketika umurnya menginjak 23 tahun. Pram ditahan Belanda di Penjara Bukit Duri pada 1948–9 dengan tuntutan kerja paksa dengan upah hanya 7,5 sen sehari. Di dalam bui, krisis kejiwaan yang terlampau parah memunculkan hasrat kodrati akan pembebasan. Berjongkok di atas kaleng margarin, menulis secara diam-diam supaya tidak ketahuan serdadu Belanda, naskah Perburuan akhirnya rampung dalam waktu satu minggu. Pram menyerahkannya ke H.B. Jassin dengan G.J. Resink sebagai perantara.

Perburuan mengisahkan Hardo, seorang shodancho (komandan peleton) yang hidup dalam pelarian setelah tertangkap Jepang karena terlibat dalam pemberontakan. Konon, kisah Hardo terilhami dari peristiwa serupa, yakni pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945, yang mengakibatkan Shodancho Supriyadi hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Namun, dorongan eksternal tidak cukup jika tidak dibarengi pecutan dari dalam diri. Analogi filosofis yang digunakan Pram untuk melukiskan “mistikum” yang dialaminya ketika menulis Perburuan disampaikan melalui tiga unsur: kuil Yunani, gunung, dan matahari. Kuil dan gunung ibarat id inheren yang menuntut dipuaskan, sedang matahari ialah sinar pembimbing. Dalam langgam kontemporer teknik kepenulisan, hal ini agaknya menyoroti bhwa satu pengalaman dapat dikupas dan ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, lantas menghasilkan kisah yang majemuk pula. Perburuan tidak mungkin dilahirkan tanpa “semangat anti-Jepang dan semangat patriotik pada sisinya yang lain”, yang muncul dari dalam diri Pram sebagai komplemen iklim nasionalis pada zamannya. Percampuran internal dan eksternal ini mendorong Pram untuk akhirnya memutuskan bertindak, menuangkan gagasannya di atas kertas.

Pengalaman menjadi wawasan, lalu kesadaran. Dalam tahap paling manjurnya, kesadaran meliputi kemampuan kognitif untuk membentuk kaitan antarperistiwa, kemudian memfilter dan memaknainya sesuai konflik batin yang bergejolak di dalam diri sendiri. Pram menginternalisasi kebencian dan amarah melalui pengalamannya hidup di bawah kekuasaan Jepang, lalu menggubahnya menjadi Perburuan

Yang mungkin ditanyakan ialah, kalau memang begitu, lantas apa yang membedakan Pram dari sastrawan lain, toh biasanya semua orang menulis dari pengalaman dan perasaan pribadi. Proses kreatif Pram, yang ia juluki “mistikum”, bersifat atavis – memunculkan kembali ciri-ciri yang telah lama tidak terlihat – sebab mengembalikan Pram ke kejawaannya, yang ia kira sudah terbuang jauh ketika ia mengubah namanya dari Mastoer menjadi Toer saja. Dan di saat itulah ia menyadari bahwa “seperti matahari itu sendiri”, ia harus produktif demi masyarakat waktu itu, yang kemungkinan besar belum punya corong untuk mengungkapkan kerisauannya. 

Pram mewakili suara jutaan orang yang terperangkap di barak jugun ianfu, romusha, PETA, dan barisan militer lainnya, menyampaikan pesan bahwa mereka tidak akan pecah seperti ratna di tanjung timur seperti kerap digaungkan lagu-lagu propaganda Jepang, melainkan sekadar jadi kurban fasisme. Rintihan putus asa ini diwujudkan melalui perkawinan rasionalitas, kritik sosial, dan sentimentalitas Perburuan, sebuah lakon sederhana tentang pemuda yang kabur dari Jepang dan kembali ke pelukan kekasihnya, hanya untuk menemukannya tersungkur ditembus peluru Jepang di Blora. Soal latar cerita Pram juga menambahkan sentimentalitasnya sendiri sebab Blora adalah kota kelahirannya.

Atavisme yang dimaksudkan sama dengan keilahian dalam karya-karya Pram. Buat Pram, menulis adalah ibadah. Melalui mistikum dan perenungan mendalam, tercipta “suatu kondisi di mana yang ada hanya sang pribadi dalam hubungan antara kawula dengan Gusti dengan bukti kegustiannya, tertampillah sang kreator dengan Kreator melalui pernyataan-pernyataannya”. Menulis menjadi punden dalam prosesi berundak berupa penerimaan diri yang pada akhirnya senantiasa berorientasi pada penyerahan insani terhadap Tuhan seutuhnya, mengejawantahkan manunggaling kawula Gusti. Adanya tafsiran keilahian terhadap kegiatan kepenulisan dalam alam pikiran Pram ini lantas memunculkan bayangan Santo Thomas Aquinas, yang menyerukan bahwa hasil karsa manusia adalah manifestasi kebenaran Tuhan, dan dengan demikian berpotensi mencapai tingkat rasionalitasnya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah rasionalitas yang humanis, tunduk kepada aturan Gusti sebagai pencipta mutlak. Segala karya sastra tunduk secara sistematis, seperti mesin jam, ke arah Kreator absolut.

Ibadah ini, walau dilukiskan oleh Pram dengan analogi tiga benda mati, mendapat embusan nyawa melalui dorongan dari dalam diri. Lalu, terbitlah pekerjaan teknis: memangkas semua kata yang membuat kalimat jadi sumbang, lanjut menulis, lanjut merenung. Begitulah naskah Perburuan rampung dalam waktu satu minggu.

Agaknya atavisme Pram, yang membawanya kembali ke identitas kejawaannya sebagai manusia yang bertujuan manunggaling kawula Gusti, turut menonjolkan kodratnya sebagai pengarang. Pram menulis dengan kesadaran itu: kesadaran bahwa segala hal yang ditulisnya hendaknya didedikasikan bagi dirinya sendiri, lalu pada tahap yang lebih lanjut, pada Gusti. Kedua punden ini tidak dapat dipisahkan. Mengaktualisasi diri melalui tulisan akan bermuara pada pengabdian terhadap Pencipta. Walakin, Pram menulis bahwa kelak akan tercapai titik di mana “dapat dipisahkan si kreator, si individu, si daif itu, sebagai matahari yang memungkinkan bekerjanya mekanisme kreatif”. 

Hal ini agaknya patut ditafsirkan bukan sebagai isolasi antara individu dan Sang Pencipta, melainkan sebagai perpisahan antara si penulis dan kebodohan jahiliyahnya begitu menerima pelita berupa aktualisasi diri tahap tertinggi, yakni kesadaran akan divinitas. Mistikum itu membebaskan individu dengan dunia di luarnya. Mistikum menjadi tirakat, yang menempatkan si pengarang dalam kehampaan, agar ia bisa mengeluarkan kata-kata dari dalam dirinya di tengah kekosongan. Kekhasan perjalanan spiritual itu justru menambah kekayaan personalitas dalam sebuah karya, menjadikan tulisan itu selamanya milik Pram, tetapi pada saat yang bersamaan juga bukan milik siapa-siapa. Milik Gusti dan milik masyarakat bersama, dan sifatnya abadi. Pram menulis, “bagiku sendiri: menulis merupakan terjemahan dari keadaan bahwa kehadiranku masih ada gunanya bagi kehidupan”. 

Pengalaman memang sesuatu yang dapat ditafsirkan secara subjektif. Artinya, pengalaman bukan satu-satunya faktor yang mempercepat laju terjadinya mistikum. Perburuan kerap digadang sebagai karya akbar pertama Pram yang melandasi spirit kemanusiaan yang sama di karya-karya berikutnya. Semangat Pram kian bertahan: “kerja kreatif adalah mengagungkan sang Gusti yang menghidupi, melahirkan kenyataan baru, yang kemudian hidup di luar waktu… ia tetap dalam keadaannya sewaktu dilahirkan, tak peduli dua tiga atau empat generasi telah datang dan pergi… ia tak tergoyahkan oleh kritik, analisa, makalah, apalagi pemberangusan”. Dan karena Pram menulis dengan mengandalkan kemanusiaan ini, ia mampu menghasilkan tokoh-tokoh yang amat “hidup” walau ia sendiri tidak pernah mengalami pergolakan batin serupa.

Representasi Annelies Mellema, Midah, Larasati, hingga Gadis Pantai sebagai pilar sastra feminis Indonesia, misalnya, sudah jelas tidak lahir dari pengalaman pribadi Pram sebagai laki-laki. Namun, sebagai penulis yang menekuni proses kreatif dengan berorientasi pada divinitas, Pram memberi suara kepada manusia-manusia yang selama ini termarginalkan. Kisah-kisahnya menggaungkan kasih sesama dan persaudaraan. Tak mungkin Pram melakukan itu tanpa kepedulian terhadap sesamanya yang ditindas. Pram membuktikan bahwa hal terpenting dalam menulis bukan hanya pengalaman atau wawasan, melainkan juga empati…!

Justru, dengan menuangkan pengalaman, konteks eksternal, dan nilai pribadi ke dalam suatu tulisan, penulis mencapai tingkat pemahaman yang paling kompleks mengenai dirinya sendiri, sedemikian hingga ia memahami esensialitas keberadaannya di masyarakat. Ihwal ini menjadi langkah pertama individu dalam mengamalkan sesuatu yang lebih akbar, menghasilkan tulisan yang bermanfaat bagi pembaca, dan pada tahap finalnya, Tuhan. Kisah Hardo, yang lari dari perburuan Jepang, justru memutlakkan perjalanan Pram sendiri dalam memburu divinitas itu. Perburuan lahir dari perenungan agung, dan hal inilah yang membuat Pram berbeda dari sastrawan lain: keilahian dalam aksaranya. Semua muncul dari proses kreatif Pram: hasrat memburu kebebasan tertinggi dalam wujud persatuan individu dan ilahi.

Dengan begitu, substansi Perburuan menjadi representasi bagi proses kreatif Pram. Perburuan lahir dari proses kreatif, sekaligus menjadi bagian dari proses kreatif itu sendiri. Hal ini bukan antitesis, melainkan penegasan akan nilai-nilai divinitas yang dijunjung Pram. Ia hidup dalam keilahian dan menghasilkan karya dari keilahian pula, menghasilkan proses kreatif yang mencerminkan kekuatan natural law sebagaimana dicetuskan Santo Thomas Aquinas—menganonisasi Pram sebagai penerjemah spirit kemuliaan Gusti dalam kesusastraan Indonesia.

Pengalaman Pram di Bukit Duri lalu menjadi conditio sine qua non dalam mendorong proses kreatif Pram. Seperti Guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung (1952), agaknya Pram menjemput kebebasan hakiki dalam penjara itu. Apa lagi, kondisi hidupnya di sana cukup memperihatinkan:

“… dilakukan pada waktu tidak terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tempat tidur. Bila terdengar langkah sepatu bot serdadu KNIL yang sedang meronda, semua peralatan dibenahi… di malam hari hanya dapat menulis di bawah ambin beton sambil tengkurap dengan menggunakan pelita. Minyak tanah dibeli dari teman-teman yang bekerja di dapur. Kertas didapat dari kiriman sang pacar.”

Penghinaan yang dideritakan Pram merupakan “pengalaman intensif yang tidak akan berkurang sepanjang hidupnya selama sistem saraf dan otaknya tidak rusak”. Romantisasi penderitaan? Bukan. Bagi Pram, penderitaan hanya katalis untuk merenung dan mengisolasi diri – ibarat tirakat – dari kebisingan dunia luar, lalu menggodok jiwa untuk menghasilkan karya yang pas proporsinya, antara rasionalitas, kritik sosial, dan sentimentalitas. Dalam kasus Pram, Bukit Duri memang bukan suatu mistikum yang direncanakan. Namun, di sana Pram menemukan koin emas berupa ilham untuk mengeluarkan pilu di dalam dirinya, lantas menorehkannya di atas kertas. Ia comot kata-kata yang sekiranya dapat mendukung renungan itu: langgam yang sederhana, tetapi memikat, untuk memicu kisah Hardo, Ningsih, Dipo, Karmin, dan pribadi-pribadi dalam Perburuan, masing-masing dengan kejiwaan yang khas.

Mistikum ini sederhana, sekaligus rumit: dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, tanpa ritual semadi muluk-muluk, tetapi membutuhkan kedisiplinan, empati, dan ketangguhan jiwa yang “tanpa kompromi”. Menulis menjadi sarana penguatan iman. Dari seorang kawan bernama Jamhur, Pram bercerita bahwa ia pernah jadi sasaran teguran, “tulisanmu bakal mengutuki kau sendiri, memburu kau seumur hidup—jangan tambahi beban diri”. Untung, bagi Pram, menulis bukan beban, melainkan sebaliknya. Melalui Perburuan, Pram mencapai titik divinitas, melampiaskan keresahan di dalam dirinya, demi maslahat masyarakat dan kalangan pembacanya secara umum.

Manusia memiliki tiga matra: pengalaman, jati diri, dan masa depan. Melalui Perburuan, Pram menyalurkan nilai-nilai pribadinya dengan kesadaran ala Multatuli – “ya, saya akan dibaca” – guna mendobrak inferioritas inlander di bawah penjajahan, memecahkan stereotipe yang dirancang oleh mantan penjajahnya bahwa ia pribumi yang bodoh dan tak berbudaya. Ia berhasil menciptakan ruang bersuara melalui Hardo, yang menolak mentah-mentah segala wujud fasisme, bersumpah bahwa ia tidak akan tunduk sampai Nippon kalah. Dalam Perburuan justru terlihat bahwa Pram sukses meramu pribadinya, betul-betul menceburkan dirinya dalam karya yang tengah ia geluti, menjelma surat cinta yang tidak pernah usai, seperti musisi yang menuangkan segenap jiwa ke biolanya di atas panggung.

Dalam konteks pascakolonial, Perburuan juga menandai tercapainya mimpi Pram, yang tercerminkan dalam Hardo dan tokoh-tokoh lain di karya-karyanya berikutnya, seperti Minke (Anak Semua Bangsa, 1980) – kesetaraan antara bangsanya dan bangsa bekas penjajah. Suatu paralelisme yang mengharukan dan tak lekang oleh waktu pun teramati: Pram menerima penghargaannya atas sumbangannya ke sastra dunia di negara mantan penjajahnya. Di Fukuoka, Pram menerima Hadiah Budaya Asia 2000, mencapai kulminasi proses kreatif yang pernah menorehkan trauma di hatinya, suatu siang di Jakarta lebih dari 50 tahun sebelumnya. Kini, kita semua mengenang spirit Pram yang evergreen: divinitas yang dipelopori remaja 17 tahun yang mengayuh sepeda rongsoknya dengan iringan makian pahit serdadu Jepang itu berbuah manis, menitipkan keindahan yang abadi.

Daftar Pustaka

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. “Pramoedya Ananta Toer (1925–2006).” Ensiklopedia Sastra Indonesia. Diakses pada 27 Desember 2024. https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pramoedya_Ananta_Toer.

Lubis, Mochtar. Jalan Tak Ada Ujung. Terbitan pertama Jakarta: Balai Pustaka, 1952. Terbitan ulang Jakarta: Pustaka Obor, 2010.

Setiawan, Andri. “Perburuan dalam Sepekan.” Historia. Diakses pada 27 Desember 2024. https://historia.id/kultur/articles/perburuan-dalam-sepekan-6m7Jr.

Toer, Pramoedya Ananta. Anak Semua Bangsa. Terbitan pertama Hasta Mitra, 1980. Terbitan ulang Lentera Dipantara, 2006.

—–. Larasati. Terbitan pertama 1960. Terbitan ulang Lentera Dipantara, 2003.

—–. Midah Simanis Bergigi Emas. Terbitan pertama 1954. Terbitan ulang Lentera Dipantara, 2010.

—–. Perburuan. Terbitan Pertama Jakarta: Balai Pustaka, 1950. Terbitan ulang Hasta Mitra, 1994.

—–. “Perburuan & Keluarga Gerilya.” Proses Kreatif, Jilid 1: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Disunting oleh Pamusuk Eneste. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. 1—26.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here