“Ah, akhirnya kau akan kembali berkumpul dengan teman-temanmu, Nak. Kau senang, kan?” tanya Hani kepada Nisa, anaknya.
Nisa yang telah selesai mengikat tali sepatunya, kemudian tersenyum lebar. “Tentu saja, Bu. Aku akan bermain-main lagi dengan mereka.”
Hani sontak merasa senang menyaksikan kegembiraan sang anak. “Tetapi kau jangan main-main saja. Ingatlah juga untuk belajar baik-baik, agar kau menjadi anak yang pintar, ya?”
Nisa lantas mengangguk tegas. “Pasti, Bu. Aku pasti akan jadi peringkat pertama di kelasku,” katanya, kemudian mengenakan maskernya. Perasaan Hani pun menjadi tenteram menyaksikan kepatuhan sang anak.
Sungguh, Nisa begitu bersemangat untuk kembali ke sekolah. Selain untuk mendapatkan pelajaran dari guru-gurunya secara langsung, juga untuk kembali bermain ria dengan teman-temannya.
Karena itulah, ia telah membekali dirinya dengan bola dan biji-biji bekel. Ia akan memainkan permainan tradisional itu dengan teman-temannya, seperti yang mereka lakoni dahulu.
Sampai akhirnya, Hani mengantarkan Nisa ke sekolah dengan sepeda motor. Meski jaraknya tidaklah jauh, tetapi untuk kali ini, ia ingin mendampingi sang anak.
Ia ingin menguatkan hatinya agar tidak canggung untuk kembali membaur setelah jeda pembelajaran sekolah yang panjang akibat pembatasan sosial di tengah pendemi virus corona.
Akibat pandemi, tanpa terasa, Nisa telah duduk di bangku kelas III SD. Tingkatan itu ia capai hanya dengan setengah tahun belajar di sekolah. Itu karena saat ia masih duduk di bangku kelas I, virus corona tiba-tiba datang menyerang.
Sekolah kemudian ditutup, dan ia terpaksa mengikuti pembelajaran dari rumah. Atas kondisi itu, Nisa pun berkutat dengan proses pembelajaran daring. Setiap hari sekolah, ia akan berurusan dengan layar laptop atau ponsel untuk menerima pelajaran atau mengumpulkan tugas.
Begitu terus, selama dua tahun lebih, di antara masa percobaan demi percobaan pembelajaran tetap muka, hingga akhirnya ia mengalami dua kali kenaikan kelas.
Selama Nisa belajar daring, Hani akhirnya jadi kerepotan. Ia terpaksa merangkap sebagai asisten untuk sang anak. Setiap waktu, ia harus menyiapkan perangkat pembelajaran.
Ia mesti membeli kuota data internet dan menyetel aplikasi pembelajaran di laptop atau ponsel. Bahkan ia mesti turut mendampingi dan membantu sang anak dalam menyelesaikan tugas.
Akan tetapi, atas pendampingan maksimal itu ia tetap saja mengkhawatirkan pekembangan belajar sang anak. Bagaimanapun, ia merasa kalau efektivitas pembelajaran daring tidak sebaik dengan pembelajaran tatap muka.
Oleh karena itu, ia terus berharap pandemi benar-benar mereda, sehingga pembelajaran di sekolah kembali digelar dan tidak kembali dibatalkan.
Belum lagi, kebosanan mengurung diri di rumah, telah membuat sang anak cenderung melakoni aktivitas yang tidak baik.
Setiap saat, sang anak selalu tertarik untuk menghabiskan waktu dengan bermain ponsel. Padahal, Hani sendiri beranggapan bahwa bermain media sosial atau gim di ponsel dalam waktu yang lama, tidak baik untuk perkembangan sang anak.
Karena kekhawatiran itu, ia mesti keras-kerasan bernegosiasi dengan sang anak dalam soal permainan ponsel. Ia lantas memberikan pembatasan bahwa sang anak hanya boleh meminjam ponselnya untuk bermain-main dalam waktu tidak lebih dari dua jam per hari.
Dan beruntung, sebab sang anak bisa mengerti dan menerima pembatasan yang ia berlakukan. Akhirnya, atas perkara-perkara itu, kini, Hani merasa bersyukur sebab pembelajaran tatap muka kembali dilangsungkan dengan protokol kesehatan yang telah sesuaikan dengan keadaan pandemi terkini.
Dengan begitu, ia merasa anaknya akan kembali mendapatkan pendidikan sekolah secara baik untuk perkembangan inteligensinya. Pun, sang anak juga akan kembali bergaul dengan teman-temannya secara baik untuk perkembangan emosinya.
Beberapa lama berselang, dengan harapan yang cerah atas perkembangan sang anak, Hani pun sampai dan menghentikan sepeda motornya di depan sekolah.
Nisa lantas turun dan mengucapkan salam sebelum akhirnya beranjak masuk ke dalam bangunan sekolah dengan langkah riang. Setelah itu, Hani pulang tanpa menghawatirkan apa-apa.
Dan kini, di dalam ruang kelasnya, Nisa kembali mengikuti pembelajaran. Ia memerhatikan penjelasan guru di depannya. Tetapi diam-diam, ia terusik juga dengan ketidaksabarannya untuk segera bermain bekel dengan teman-temannya.
Apalagi, ia sangat ingin menunjukkan kehebatannya setelah sekian lama ia bermain bekel dengan ibu dan sepupunya di rumah. Sampai akhirnya, jam istirahat tiba.
Dengan penuh semangat, ia lalu beranjak ke sudut ruang kelasnya untuk berkumpul dengan empat orang anak perempuan yang merupakan teman segengnya sejak dahulu.
“Hai, ayo main bekel. Ini, aku bawa bola dan biji bekelnya,” ajak Nisa kemudian, dengan sikap antusias, sembari menunjukkan alat permainannya.
Namun, teman-temannya malah menunjukkan raut malas.
“Tidak, ah. Aku tidak berminat,” kata seorang temannya kemudian, lantas merogoh ponsel pintar dari dalam saku bajunya.
Nisa lantas menoleh pada seorang tamannya yang lain, yang sedang menyantap makanan ringan. “Main bekel, yuk?”
Namun sayang, temannya itu malah menggeleng. “Tidak, ah. Aku mau main gim.” Dengan perasaan kecewa, Nisa lantas menoleh pada dua temannya yang lain. Akan tetapi, seketika ia menolak ajakannya.
Sebab, keduanya tampak menunduk saja sambil sesekali tertawa menatap layar ponsel mereka masing-masing. Akhirnya, Nisa jadi begitu kalut. Ia merasa terasing di tengah teman-temannya yang tampak asyik bermain ponsel.
Ia sungguh tak menyangka bahwa mereka tidak akan tertarik lagi untuk bermain bekel bersama-sama. Oleh karena itu, ia pun menarik dirinya ke sisi dinding. Ia kemudian bersandar meratapi keadaannya, sembari menimang-nimang bola bekelnya.
Sesaat kemudian, seorang temannya balik melontarkan tawaran, “Hai, ayo kita main gim?” Ketiga temannya yang lain pun mengangguk dan menjawab setuju. Mereka lantas bersiap dengan ponsel mereka masing-masing.
“Ayo, Nisa, kita main gim,” ajak temannya tersebut.
Nisa menggeleng lesu. “Aku tak punya ponsel.”
Temannya itu pun mendengkus kecewa. “Kenapa kau tak membawa ponselmu?”
“Aku memang tak punya,” keluh Nisa.
“Terus, yang kau pakai belajar daring selama ini mana?” selidik sang teman.
“Itu punya ibuku,” terang Nisa.
Seketika, temannya itu tampak kasihan. “Kalau begitu, nanti setelah pulang, kau mintalah ke orang tuamu agar mereka membelikanmu ponsel. Zaman sekarang, kita memang harus punya ponsel sendiri.” Nisa mengangguk saja dengan raut muram.
Akhirnya, sepanjang jam istirahat tersebut, Nisa hanya menepi sendiri, sembari menatap iri pada teman-temannya yang asyik bermain gim.
Ia pun jadi tak sabar menunggu jam sekolah berakhir, agar ia bisa kembali ke rumahnya dan meninggalkan suasana yang membuatnya begitu malu dan berkecil hati.
Sesaat kemudian, jam pelajaran kembali dimulai. Waktu pun terasa melambat bagi Nisa yang terus-menerus merisaukan kemalangannya.
Hingga akhirnya, jam sekolah berakhir. Nisa lantas pulang dengan langkah cepat.
Setelah sampai, ia pun segera menemui ibunya dengan emosi yang berkecamuk. “Bu, aku mau ponsel. Ibu harus beli untukku,” pintanya, dengan wajah merengut.
Sontak, Hani yang tengah memotong-motong sayuran jadi terheran. “Kamu kenapa, Nak? Datang-datang, kok murung begitu dan meminta ponsel?”
Nisa akhirnya menangis. “Pokoknya, aku mau ponsel!”
Hani kemudian berdiri dan memeluk sang anak. “Memangnya kenapa kau meminta ponsel, Nak. Aku kan sudah bilang kalau di umur sepertimu belum tepat untuk punya ponsel sendiri. Bukankah kau sudah paham bahayanya bermain ponsel untuk anak-anak seumuranmu?”
“Tetapi semua temanku sudah punya ponsel, Bu. Aku malu, sebab aku saja yang tidak punya, Bu,” sergahnya, dengan tangis yang makin menjadi-jadi. Ia lantas melepaskan diri dari pelukan ibunya.
“Tadi, mereka semua asyik bermain ponsel, sampai-sampai mereka tak mau lagi bermain bekel denganku.” Seketika, Hani mendengkus prihatin dan mulai memahami kekalutan anaknya.
“Pokoknya, kalau Ibu tidak mau membelikan aku ponsel, aku tidak akan mau lagi pergi ke sekolah,” ancam Nisa, lantas berbalik dan beranjak menuju ke dalam kamarnya.
Hani pun jadi kelimpungan.