Maut duduk di belakang punggung / meditasi bom untuk Akhir dunia (Nuklir dan Puisi – Afrizal Malna) muncul di balik layar, berisi gambar wajah terbakar. Korban radiasi Bom Atom Hiroshima. Gambaran visual ini, seperti dalam cerita Grave Of The Fire Flies. Wajah yang utuh, terbakar, lalu kelupas pelan-pelan – matanya putih, matanya melotot ke arah penonton. Barangkali itu, Afrizal menerjemahkan tragedi ke dalam bentuk puisi, dengan semiotika popular yang belakangan hadir dalam cerita Projek Manhattan yang diceritakan oleh Christopher Nolan. Apa yang terlihat, dunia yang hancur, seperti ketika Oppenheimer tremor, ketika ledakan itu jatuh menimpa dua kota di Jepang, sementara Truman, mengejek Oppie sebagai ilmuwan cengeng.
Afrizal menerjemahkan ini dalam bentuk puisi, berikut visual bergerak yang saling mengganti, sesuai kode yang dimainkan olehnya. Dataran itu tandus, tempat “Perjalanan orang mati”/ diciptakan oleh rahasia badai dan petir/. Simbol yang dimasukkan oleh Afrizal adalah Los Alamos, dataran tandus tempat Projek Manhattan berjalan. Tipografi yang muncul dalam gambar, dibuat kabur olehnya, seolah ia layar yang terkena guncangan hebat, sehingga objek yang di depan mata menjadi bayang. Tetapi, tipografi ini, bukan tipografi yang sukar dibaca, melainkan sesuatu yang samar terbaca, karena teks yang tampil dalam layar, adalah teks berbayang.
Teknik seperti ini, dalam pembacaan puisi Afrizal, terus dimainkan sepanjang pertunjukkan berlangsung. Sementara itu, dalam cara membaca, Afrizal menggunakan suara yang sudah disulih, yang hasil sulihannya adalah riak basah seperti audio-komputer yang hampir rusak. Isi suaranya, noise, tetapi parau. Dengan cara ini, Afrizal berusaha meminimalisir seorang pembaca terlihat di depan panggung, sebagai “media” yang menyampaikan puisi. Afrizal, barangkali ingin lebih mendekatkan kepada fenomena baru hari ini. Tentang suara yang hadir dalam hari-hari, yaitu suara transofrmasi manusia ke suara robot, seperti hasil sulih suara yang berasal dari teks ke voice dalam fitur Google.
Padu padan teknik ini dilakukan Afrizal. Secara sederhana, Afrizal seolah membentuk robot ala film-film Terminator, dalam nuansa distopia, dunia dalam ancaman, nuansa kehancuran yang kental, lagi, robot sebagai pembawa pesan itu berada di ujung kematian, atau sekarat. Seperti dada Ultraman yang berbunyi tinut, saat sekarat dan hampir mati ditikam monster. Agaknya suara yang ditampilkan Afrizal, dibiarkan larut, seperti itu saja. Tanpa penekanan tone sehingga emosi pendengar, tidak terserap dalam penekanan tinggi-rendahnya nada sebagai representasi bahasa. Seperti dalam bait, seseorang bersujud/ menghadap Hiroshima yang meleleh// kulitnya retak/ matanya putih/ bibirnya menggit rasa sakit/. Dalam bait ini, seorang pembaca, bisa saja melakukan penekanan dari setiap metafora yang memiliki unsur rasa sakit, tapi Afrizal memilih membacanya secara luwes.
Apa yang dibawa oleh Afrizal adalah tawaran pendekatan, yang seolah jauh, yaitu teknologi, atau fitur aplikasi harian yang biasa kita gunakan. Puisi dan Teknologi, dalam konteks irisan, kadang selalu dianggap dua hal yang jauh, atau mungkin cenderung dianggap dekat. Puisi dianggap dekat, misalnya, dalam konteks yang banal. Seperti tebaran kutipan kata-kata gombal yang seliweran di beranda media sosial. Dalam konteks teks, kedekatan kutipan kata, seperti kata gombal yang seliweran di beranda media sosial, dengan tambahan audio-visualnya, dalam cara produksi, terbilang banyak dibandingkan produksi karya puisi, seperti halnya puisi dalam konvensi kesusastraan. Kurangnya reproduksi dan produksi dalam hal ini, mungkin pula, barangkali akibat kurangnya alih-wahana yang cakap untuk menerjemahkan puisi dalam konten visual. Afrizal berusaha membuat ini cukup diterima, setidaknya mudah dicerna.
Demikian Afrizal menampilkan puisi di BWCF (25/11)