Feedback: Kunci Emas untuk Pertumbuhan Bisnis Anda
Feedback: Kunci Emas untuk Pertumbuhan Bisnis Anda

Momen terjadi saat meeting dengan Team Warung Kasemo, sebuah tempat makan yang estetik sekaligus otentik di Malang. Saya menyampaikan sebuah pertanyaan :

“Konsumen yang menyampaikan komplain, itu konsumen yang baik apa jahat?”

Sebuah pertanyaan yang kalau dijawab dangkal tanpa mikir pun, juga dilematis. Dibilang jahat kok kasar amat, faktanya mereka adalah konsumen yang beli dan belanja, kasih uangnya sama Kita. Mau dibilang baik, agak susah menemukan, baiknya sebelah mana, karena orang komplain, pastinya dengan mode marah-marah, meledak, dan nadanya tinggi. Orang komplain kalau diumpamakan genre lagu, ya kira-kira lagu rock, gak mungkin lagu sendu mendayu-dayu.

“Konsumen yang komplain adalah konsumen yang yang baik.”

Penjelasannya begini, ibaratnya sepasang kekasih yang menjalin hubungan, konsumen yang komplain itu seperti salah satu pihak yang bilang :

“Aku masih sayang sama Kamu, masih mau jalan sama Kamu, tapi please, jangan kamu mengulangi perbuatan salahmu yang kemaren.”

Konsumen yang komplain itu seperti pasangan yang kecewa, marah, kesal, tapi mau menyampaikan kekesalannya, dan memberikan kesempatan kedua. Cara berpikir ini akan memberikan Kita cara pandang yang sepenuhnya berbeda saat menerima dan menghadapi komplain.

Dulu, Kita tertekan, terpancing, kecewa, terpojok, terintimidasi saat mendapat komplain, karena erat kaitannya dengan cela dan kesalahan.

Ke depan, Kita akan sangat antusias, dan bersyukur saat komplain menghampiri, karena disitu ada peduli, ada kesediaan menyampaikan, dan tentu saja yang tadi Saya garisbawahi, ada konteks : Kita diberikan kesempatan untuk menyadari kesalahan, sekaligus kesempatan kedua untuk membuktikan keseriusan perbaikan.

Memangnya apa yang spesial dari orang yang melakukan komplain? Jangan salah, melakukan komplain itu capek lho, perlu energi yang luar biasa. Kalau nggak keterlaluan banget, jarang orang mau repot-repot melakukan komplain.

Orang yang komplain itu adalah orang yang mengambil risiko, untuk dianggap rewel, bawel, ribet, dan penggerutu. Padahal orang komplain itu pada dasarnya adalah orang yang menyayangi, dan masih punya harapan.

Kenapa begitu? Karena sebenarnya orang yang merasa ada kekurangan dalam produk barang atau jasa Kita, punya pilihan yang lebih ringkas, praktis, mudah, dan sederhana, yakni : pergi.

Ibarat posisi sebagai konsumen, punya kebutuhan, punya daya beli, pegang uang, kalau kemudian uangnya dipakai beli ke Kita dan kecewa, dalam pikirannya akan mudah saja mencerna, ya sudah sekali aja, buat pengalaman dan pengingat ke depan agar tidak terulang terjadi kembali. Duitnya dia tetap berlaku, uang yang dipunya tetap ada nilainya, dan ke depan jika dipakai buat belanja ke tempat lain, akan diterima dengan sukacita.

Maka yang berbahaya bagi keberlanjutan masa depan bisnis Kita bukanlah konsumen yang kecewa dan speak up ngomel-ngomel ke Kita. Yang bahaya justru konsumen yang kecewa, diam, dan pergi berlalu begitu saja. Karena untuk berpindah ke penjual baru, konsumen tidak perlu minta izin ke penjual lama.

Jadi hukuman paling kejam, bukan komplainan, tapi pengabaian, ada tapi nggak dianggap, makanya ke depan tidak masuk pilihan dan tidak dijadikan pertimbangan.

Feedback konsumen menjadi penting, dan feedback yang dimaksud bukan testimoni, karena kalau testimoni, istilahnya bicara baik-baiknya doang, cuman jadi penghibur dan justru pemicu kelengahan. Feedback yang membangun justru komplain yang diakui, didengar, dicatat, dibahas secara serius, dan ditindaklanjuti sampai tuntas.

Feedback beragam bikin pusing memahami dan menyikapi dong? Tenang, ada caranya.

Kita bahas di tulisan berikutnya.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here