pinterest.com

Sebulan menjelang kelulusan SMA-ku, teman-teman di sekolah sibuk membicarakan kampus mana yang hendak dituju. Berbondong-bondong membuka laman web kampus mulai dari kategori negeri hingga swasta.

Itu sudah menjadi sebuah kebiasaan ketika menjelang kelulusan, kata para senior. Maklumlah untuk melanjutkan studi yang berkualitas tentu harus mengetahui background kampusnya.

Mereka menyambut dengan penuh sukacita walaupun perasaan bercampur dengan rasa takut. Takut jika tak diterima oleh kampus yang menjadi cita-cita mereka. Namun, berbeda dengan Anggi Dwi Safitri, siswa yang paling dianggap santuy oleh teman sebanyanya.

Kadang kala hanya memperhatikan teman-temannya ketika menyoal kampus. Tak ada taggapan secuil pun darinya. Bahkan, temannya tak pernah tau kampus mana yang akan dituju oleh Anggi.

“Anggi, sudah hampir kelulusan kamu tak ingin mendaftar ke kampus yang kamu tuju,” Imbuhku. Namun, Anggi hanya tersenyum mendengar nasehatku.

Dia hanya melanjutkan bacaan yang telah ia baca sebelum aku datang menghampirinya. Padalah, aku menunggu hampir satu jam, jawaban tersebut. Anggi  bukan hanya terkenal santuy tapi juga cuek dengan sesuatu yang ia rasa tak berguna untuknya.

Lebih dari dua jam ia menyalurkan tangannya serta bersalaman erat, lalu berkata “Jangan percaya dengan matamu, jangan dengar apa yang dikatakan mereka, sebab itu adalah kebohongan,”

“Maksudmu?” tanyaku.

Heranku tak berujung dengan sikap Anggi bahkan perkataannya. Dia amat sangat misterius.

Niatku hanya untuk mengajaknya mendaftar selayaknya teman-teman kita. Pada pertemuan itu, aku hanya memiliki kesimpulan lain tentangnya. Ada satu sikap yang dirahasiakan Anggi pada kita semua.

Anggi dan Kepribadiannya

Di balik sifat yang dingin, Anggi menyimpan begitu banyak keinginan terutama untuk membuat senyum keluarganya. Walaupun kebahagian itu tak mungkin sampai ‘tuk melihat itu.

Sebab, dua tahun yang lalu ibu Anggi sudah terlebih dahulu meninggalkannya. Pesannya teringang dalam benak Anggi, “Jadilah bunga edelweiss yang selalu abadi. Merekah dan mekarlah, Nak”.

Anggi tau menjadi edelweiss yang abadi tak mudah. Butuh kapal untuk menjadi tumpangan berlayar, begitulah motto Anggi. Ia berusaha menciptakan keabadian dengan cara mempertahankan kualitas karakteristik dirinya.

Sebab, dalam masa ini yang dibutuhkan adalah bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri, namun tetap bersatu dengan orang lain. Motto yang ia usung tidak hanya sekadar kata.

Ia menggunakan kalimatnya dengan suatu gerakan. Tiap malam digunakan untuk belajar mengasah diri.

Memperdalam materi agar siap menghadapi ujian akhir. Walupun setiap langkah kasih dari ibu sudahlah musnah, hanya kenangan yang tersisa.

Ayah hanya sekadar penjual cilok yang setiap harinya berpenghasilan Rp 100.000–200.000 per hari. Penghasilan itupun Anggi sadari tak bisa digunakan untuk melaksanakan amanah ibunya.

Jawabannya adalah menggunakan beasiswa dari sekolahnya. Itu saja harapan satu-satunya.

Anggi pun tak pernah menceritakan situasi kedaaan ekonomi keluarganya kepada teman-temannya. Ia hanya menampilkan rasa cueknya. Baginya sedih tak pantas dipublikasi karena itu hal yang privat.

Sebab, semua hanya bisa merasa kasihan tanpa melakukan apapun. Sebagaiman kata Pram bahwa kasihan adalah kebaikan yang tak kunjung dilaksanakan.

Kelulusan telah tiba

            Penggumuman kelulusan SMA telah tiba bersamaan dengan diterimanya siswa-siswi di kampus yang dituju. Lantunan doa dan syukur menjadi rangkaian dalam acara kelulusan tersebut.

Kegembiraan terpancar di setiap bibir orang–orang yang hadir dalam acara tersebut. Tibalah detik pengumuman siswa yang berprestasi.

Tepuk tangan tak henti menyertai mereka yang berprestasi. Namun, berbeda saat diumumkannya peringkat pertama atas nama Anggi Dwi Safitri serta diterimanya ia di  Institut Pertanian Bogor. Semua orang yang hadir terbengong dengan sebutan nama tesebut.

Suara ketidakmungkinan terdengar. Apa mungkin jawaban atas keherananku kala itu adalah ini. Seperti mimpi namun nyata. Perempuan yang tak banyak mengumbar keinginanya di publik malah menjadi pemenangnya.

“Silahkan untuk anggi Dwi Safitri menyampaikan pidatonya sebagai salah satu perwakilan siswa yang berprestasi,” Kata MC.

“Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Perkenalkan saya Anggi Dwi Safitri, siswa XII IPA 4. Mungkin pertama kali ini saya berdiri di panggung ini sebagai siswi yang berprestasi.

Bahkan, saya rasa keheran mesti dipertanyakan oleh teman-teman saya. Tidak menjadi masalah. Setiap perbuatan tak harus ditonjolkan di ranah publik.

Cukup doa orang tua serta semesta yang mendukung, maka semua akan tercapai. Bukankah kapal yang hebat selalu menerpa ombak dan angin unuk berlayar? Kita ini hanya nahkoda yang memiliki kewajiban untuk menuntun kapal kita terus berlayar.

Seperti itulah kapal yang mengajarkan bahwa setiap pelayaran yang dilakukan harus menyiapakan segala hal agar kapal itu tak karam kemudian hari. Selayaknya kita, sebagai siswa. Apa yang harus kita siapkan untuk berlayar kembali? Sekian, terimakasih”.

Tepuk tangan serta kebanggaan kepada Anggi hadir dalam ruangan itu. Tentu apa yang dikatakan Anggi benar. Kapal akan selalu berlayar ketika nahkoda sudah menyiapkan kebutuhan kapal itu.

Bahkan, nahkoda yang ulung selalu memperkirakan sampai batas kapan pelayaran yang akan dilakukan. Namun, kapal yang hanya diam di dermaga adalah kapal yang tak bersedia berteman dengan angin dan ombak yang menerpanya.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here