Film In Bruges (2008) dibuka dengan pengakuan seorang tokoh yang telah menembak seorang pendeta dan membuang pistolnya ke sungai. Setelah sekian lama menunggu, dia akhirnya mendapat sebuah instruksi dari bosnya: “Keluar kau dari London, dungu! Pergilah ke Brussels!” Demikian selanjutnya kita berjumpa dengan dua tokoh utama film di Brussels, Belgia.
Tokoh pertama adalah Ray, seorang pembunuh bayaran yang dihantui perasaan bersalah setelah tidak sengaja menembak seorang anak kecil yang berdiri tepat di belakang targetnya.
Tokoh kedua adalah Ken, pembunuh bayaran yang diminta oleh Harry Waters, bos kedua lelaki itu, untuk menemani Ray kabur dari London menuju Brussels, kota tua paling terawat di Belgia.
Brussels adalah salah satu kota penting yang menjadi pusat politik internasional dan menjadi tempat bertemunya para politisi, diplomat, dan organisasi-organisasi internasional, khususnya setelah perang dunia kedua berakhir.
Selain itu, Brussels juga terkenal dengan bangunan-bangunan bersejarah, di antaranya Mini-Europe, Jubelpark, dan Brussel Town Hall, bangunan gotik peninggalan abad ke-15 dengan menara lonceng yang menjulang–tempat Ken melompat dan membuat tubuhnya pecah dan remuk serupa telur yang dilempar dari ketinggian 96 meter.
Brussels indah dengan pesona kuno romantik–bayangkan sebuah jembatan pada malam hari dan kamu berdiri di sana. Di bawahnya ada sungai yang membelah kota, dan dalam gelap itu, cahaya keluar dari lampu-lampu bangunan gotik tua yang menjulang di sampingnya.
Di situ kamu bisa melihat angsa, juga bayangan angsa, dan sebuah perahu yang meluncur pelan di atasnya. “Ketika kami menyusuri jalan, ada kabut yang menyelimuti semuanya,” kata Ken, “Brussels itu kota dongeng,” lanjutnya.
Akan tetapi, meski Ken dan Herry menyebut Brussels kota dongeng, Ray menyebutnya neraka. Kata ini muncul dalam dialog-dialog Ray dan sangat cukup untuk menggambarkan ketidaknyamanannya di sana. Pada adegan akhir film, Ray berkata: “Mungkin inilah neraka,” katanya. “Selamanya aku akan berada di Brussels.”
Film garapan Martin McDonagh ini menyenangkan karena banyak humor. Kita menemukannya hampir di sebagian besar dialog para tokoh. Misalnya, pada adegan tiga orang gendut bertanya mengapa Ray menyarankan mereka tidak naik menara, Ray menjawab, “Anginnya kencang di atas, aku tidak bercanda,” katanya.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya si gendut.
“Apa yang ingin kukatakan? Kalian itu sekumpulan gajah!” jawab Ray ketus.
Humor lain adalah saat Ken mengambil pistol ke rumah Yuri, kenalan Harry di Brussels. Yuri berkata, di Brussels ada banyak ceruk yang pas digunakan sebagai tempat untuk eksekusi tembak mati.
Adegan berjalan serius, selain karena mereka membicarakan soal pembunuhan, juga karakter Yuri yang berbicara pelan dengan suara berat.
Di tengah obrolan, Yuri semakin serius, bukan untuk membicarakan pembunuhan, tapi untuk menanyakan apakah kata ceruk pas untuk digunakan.
“Apa kau yakin itu kata yang tepat? Ceruk?” kata Yuri mengoreksi istilah yang ia gunakan sendiri. “Ya,” kata Ken. “Itu seperti sudut dan pojokan,” jawabnya.
Ceruk sebenarnya bukan sesuatu yang penting-penting amat untuk dibicarakan. Sehingga kita tahu, sisipan dialog tersebut tak lain adalah humor yang menambah kenikmatan saat menonton film.
Hal menarik lain dalam film ini adalah prinsip hidup yang dipegang teguh setiap tokoh. Prinsip tersebut bukan hanya menjadi salah satu bagian yang melengkapi karakter, tetapi justru menjadi penggerak utama cerita.
Prinsip yang sangat kuat dipegang dalam film ini adalah pembunuh bayaran tidak boleh membunuh anak kecil.
Ray mendapat tugas dari Harry untuk menembak mati seorang pendeta, tetapi secara tidak sengaja pelurunya menembus dan membunuh seorang anak kecil. Pembunuhan anak kecil tersebut membuat Ray dihantui rasa bersalah yang begitu besar hingga membuatnya kehilangan tujuan hidup.
Kehadiran Ken di Brussels ternyata bukan untuk menemani Ray bersembunyi atau kabur dari kejahatan, tetapi untuk membunuhnya karena melanggar prinsip hidup pembunuh bayaran. Harry Waters menganggap Ray pembunuh tak bertanggung jawab karena menembak anak kecil.
Film ditutup dengan adegan bunuh diri Harry Waters. Motifnya lagi-lagi keteguhan tokoh pada prinsip hidupnya.
Saat menembak Ray, Harry tidak sengaja menembak kepala orang cebol yang berada di belakang Ray. Harry teguh memegang prinsip bahwa seseorang yang membunuh anak kecil yang tidak bersalah harus bertanggung jawab.
Adegan ini menjadi humor gelap. Harry sebetulnya tidak membunuh anak kecil. Harry membunuh seorang pria dewasa yang cebol, tetapi dia tidak mengetahuinya. Harry merasa perlu bertanggungjawab dan memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan menembak kepalanya sendiri.
Melalui adegan tersebut, kita dipertontonkan ambiguitas prinsip hidup manusia. Di satu sisi, prinsip hidup mungkin membantu seseorang menjalani hidup dengan lebih berarti dan terhormat, tapi pada titik tertentu bisa membuat hidup semakin rumit, bahkan membuat orang yang memperjuangkannya mati konyol.