karakteristik periode sastra Indonesia

Sebelum kita mengenal apa saja karakteristik periode sastra Indonesia, wajib diketahui apa itu periodisasi sastra. Periodisasi sastra adalah pembabakan berdasarkan kurun waktu secara diakronis dengan mempertimbangkan ciri-ciri khusus setiap periode baik intrinsik maupun ekstrinsiknya. Menurut Erowati & Bachtiar (2011) tujuan periodisasi sastra adalah untuk memudahkan pengembangan sejarah sastra. Dengan adanya periodisasi sastra ini, para sastrawan akan lebih mudah menciptakan karya-karya baru yang lebih fresh dari periode sebelumnya. Setiap periode masing-masing memiliki ciri tulisan, gaya bahasa, serta persoalan yang diangkat. Hal-hal itulah yang menentukan karakteristik periode sastra Indonesia.

Menurut beberapa ahli, periode sastra Indonesia dibentuk menjadi 7 periode sejak sastra Indonesia mulai terbentuk. Yuk simak apa saja karakteristik periode sastra Indonesia dari awal hingga sekarang!

1. Periode 1850 – 1933

Periode ini ditandai dengan banyaknya tulisan roman beralur lurus. Gaya bahasa yang digunakan merupakan perumpamaan klise dan peribahasa-peribahasa yang ditulis menggunakan bahasa sehari-hari, banyak digresi, bercorak romantis, dan didaktis. Persoalan yang umumnya terdapat dalam cerita roman pada periode ini adalah persoalan adat istiadat. Persoalan adat yang diangkat antara lain masalah kawin paksa, permaduan, pertentangan kaum tua yang mempertahankan adat dengan kaum muda yang menginginkan kemajuan sesuai paham kehidupan modern, dan kehidupan yang masih berlatar kedaearahan. Sastrawan-sastrawan yang termasuk dalam periode ini antara lain Marah Rusli, Abas St Pamuncak, Nur Sutan Iskandar, Abdoel Moeis, Buya Hamka, Panji Tisna, dan Selasih.

2. Periode 1933 – 1942

Periode ini ditandai dengan banyaknya tulisan karya sastra berupa puisi. Selain puisi jenis baru dan soneta, karya tulisan prosa pada periode ini adalah cerpen, dan roman yang beraliran romantik. Puisi-puisi yang ditulis pada periode ini menggunakan kata-kata yang indah, bahasa perbandingan, gaya sajak yang mudah dipahami dan polos, dan kepuitisan puisi dibentuk dengan menggunakan sarana rima. Sedangkan, karakteristik karya prosa yang ditulis pada periode ini menggunakan watak bulat, teknik perwatakan tidak analisis langsung, dan alurnya erat karena tak ada digresi. Persoalan yang diangkat pada karya prosa periode pun beragam, yakni persoalan emansipasi, pemilihan pekerjaan yang diwarnai idealisme, cita-cita kebangsaan dan bersifat didaktis. Sastrawan-sastrawan yang termasuk periode ini adalah Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, J.E. Tatenteng, Armyn Pane, Sanusi Pane, dan Mohammad Yamin.

3. Periode 1942 – 1945

Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik Jepang. Karya-karya propaganda itu diterbitkan pemerintah melalui Balai Pustaka untuk memengaruhi rakyat Indonesia guna membantu Jepang dalam perang Asia Raya. Karya-karya yang diterbitkan pada periode ini baik novel, puisi, dan cerpen disisipi dengan kebaikan dan keunggulan Jepang. Selain menggunakan media karya tulis untuk menyebarkan propaganda, Jepang juga menggunakan sandiwara sebagai media proganda.

Untuk melengkapi karya-karya proganda, Jepang mengadakan sayembara penulisan cerita, baik cerpen maupun naskah sandiwara. Salah satu pemenang cerpen adalah Rosihan Anwar (“Radio Masyarakat”) sedangkan pemenang sayembara, seperti F.A.Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J.Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), dan A.M.Soekma Rahayoe (Banteng Bererong). Pengarang yang menerbitkan novel proganda lainnya adalah Nur Sutan Iskandar berjudul Cinta Tanah Air (1944) dan cerita pendek “Putri Pahlawan Indonesia” dan Karim Halim yang menerbitkan novel berjudul Palawija dan cerpen berjudul “Aroes Mengalir”.

4. Periode 1945 – 1961

Periode ini ditandai dengan pesatnya perkembangan puisi, cerpen, novel, dan drama yang mengetengahkan masalah kemanusiaan umum atau humanisme universal, hak-hak asasi manusia. Karya sastra puisi yang berkembang adalah puisi bebas dengan gaya ekpresionisme, simbolik, dan realis. Gaya sajaknya menggunakan kata-kata yang ambigu dan simbolik dengan bahasa kiasan seperti metafora, ironi dan sinisme. Sastrawan-sastrawan yang termasuk dalam periode ini adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Achdiat K. Miharja, Sitor Situmorang, Pramudya Ananta Toer, dan Moctar Lubis.

5. Periode 1961 – 1971

Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutama struktur estetisnya. Persoalan yang diangkat adalah masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan dengan berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebudyaan Indonesia sendiri. Oleh karena itu corak sastranya bermacam-macam, ada ide keislaman (Lesbumi,), ide kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan. Pada periode ini juga banyak ditulis cerpen yang muncul di berbagai media massa. Sastrawan-sastrawan yang termasuk pada periode ini adalah W.S. Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Nugroho Noto Susanto, Ramadhan K.H., Trisnoyuwono, Toha Mochtar, B. Sularto, dan Subagyo Sastrowardoyo.

6. Periode 1971 – 1998

Periode ini ditandai dengan maraknya karya-karya populer dan juga banyaknya bentuk eksperimentasi sastra. Hal itu menghasilkan 4 jenis gaya puisi baru yaitu mantera, puisi imajisme, puisi lugu, dan puisi lirik. Permasalahan yang diangkat dalam puisi periode ini mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, dan pengangguran. Sedangkan, permasalahan yang diangkat dalam prosa periode ini umumnya menggambarkan kehidupan sehari-hari yang kental dengan warna daerah dan pedesaan. Sastrawan-sastrawan periode ini adalah Umar Kayam, Gunawan Mohamamd, Taufiq Ismail, Bur Rasuanto, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Iwan Simatupang, J.B. Mangun Wijaya, Budi Darma, dan N.H. Dini.

7. Periode 1998 – Sekarang

Periode ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya pada saat itu. Setelah era reformasi, tema yang diangkat pada tahun 2000 an hingga sekarang lebih bervariatif dan bersifat kontemporer. Sastrawan-sastrawan pada periode ini antara lain, Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, Raudal Tanjung Banua, Habiburahman El Shirazy, Andrea Hirata, dan masih banyak lagi.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

  1. Terima kasih kaka untuk blog artikelnya, saya maba ut 2024 baru belajar mengenai apa itu sastra indonesia. Semoga artikel ini bisa menjadi bahan pembelajaran. Sy baru tau ternyata satra terbagi menjadi bbrapa periode

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here