“Kartini adalah pendekar. Ia bukan pendekar busana, melainkan pendekar sastra. Perjuangnya bukanlah agar kaum perempuan suka berpakain kebaya melakinkan suka membaca”
“Andar Ismail”
Itulah ungkapan Andar mengenai, pendekar sastra . Namanya, sudah tidak diragukan lagi kemasyhurannya. Ia yang selalu dirayakakan kelahirannya pada tangagl 21 April 2022. Bahkan pada tanggal 2 Mei 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dalam putusan surat Nomor 108 tahun 1964. Tidak hanya itu, namanya pun diabadikan lewat lagu yang telah diciptakan oleh Wr. Supratman, kandungan dari lagunya pun menceritakan bahwa sosok perempuan bangsawan yang merelakan hidupanya sebagai abdi rakyat, jasanya pun tak akan pernah mati terkubur liang lahat.
Barangkali, perayaannya pun disambut suka cita, utamanya bagi seluruh perempuan di Tanah Air ini. Tak heran jika pamflet bertebaran dimana-mana tuk hanya sekedar mengucapkan “Selamat Hari Kartini”. Dan tak jarang semua menjadi bijak, secepat kilat menyambar pada momentum hari ini. Iya, mungkin karena atmosfer mendukung hal itu. Seandainya, hari kartini setiap hari, apa yang mungkin terjadi???
Khazanah intelektual berjalan,ketangguhan menulis status secara singkat dan padat dengan apiknya menjadi nuansa memenuhi beranda status berbagai platform media sosial, berlaku dibijak bahwa perempuan harus berada di garda terdepan dalam melakukan perubahan itu, dan semua hal-hal yang baik bersemai di hari itu. Sungguh lezat, bukan?
Tulisan ini, sudah ku awali dengan pembukaan mengenang pahlawan perempuan yang memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Ia berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan. Ayah Kartini adalah seoarang Bupati Jepara benama R.M. Sosroningrat dan Ibunya bernama Ngasirah, perempun dari kalangam rakyat biasa.
Bolehkah aku kembali menceritakan Kartini dan Sastra! Walaupun, aku tau tema itu tak habis-habisnya ditulis, didiskusikan, dan “syukur alhamdulillah kadang kala” dipraktikkan. Namun, aku sangat mengharapkan tulisan ini berbeda dengan tulisan lainnya. Soal kegigihan Kartini yang tak punya kuasa, dan memilih sastra sebagai perlawannya.
Sastra bagi Kartini, adalah pelipur lara dalam melawan tembok benton yang menjulang tinggi akan sistem yang makin hari makin membatasi semua mimpinya. Tapi, pengharapan soal mimpi membuatnya, selalu hidup akan kehidupan yang tak sama sekali memihak pada kartini. Seperti, penjelasan eyang Prams yang mengatakan “Kartini itu tak punya massa apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang dipunya Kartini adalah kepekaan dan keperhatian dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu.”
Sungguh, penjelasan eyang Prams membuatku terpukau dan ingin menyelesaikan tulisan ini. Bongkahan tiap kalimat yang ditulis oleh Kartini, menujukkan bagaimana keberpihakan akan penindasan yang terjadi oleh rakyatnya, menggugah semangatnya untuk menuliskan itu semua.
Ia hidup dalam batasan fisik, namun tidak batas jiwa! Jiwa mekar dan menyerbak baunya kemana-mana. Baunya itulah yang menyatukan antara Kartini dan rakyatnya. Tidak ada batas di antara mereka. Semua saling mengerti, saling merangkul, saling memberi, dan saling mendoakan. Doa itu lah yang menjadi ketenangan jiwa Kartini yang, ia torehkan dalam tulisan, yang membuat namanya melambung, dan suranya bisa terdengar sampai jauh bahkan sampai ke nergeri asal dan kehancuran negeri ia dilahirkan.
Aku teringat Malala, bagaimana yang ia terkenal dalam melawan Taliban dengan tulisan yang menohok dan membuatnya harus tertembak. Apakah ini yang disebut pedang keabadian? Yang lebih tajam dibandingkan pedang lainnya? Pedang yang menusuk keangkuhan, ketamakan, kemarahan, dan mengungkap kebenaran.
Semalam, ada status instan story dari seorang guru yang bertuliskan “Memang benar adanya bahwa tulisan adalah tentang bagaimana orang-orang yang membaca tulisan kita bisa tersentuh hatinya dan tergerak untuk berpikir.” Artinya, kekuatan sastra tidak hanya sekedar indah ketika membaca, namun lebih dari pada itu, ia mampu menjelma menjadi sebuah spirit untuk andil dalam perubahan itu.
Sama halnya dengan pendekar Kartini, yang memiliki pedang samurai yang bernama “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sastra klasik itu, berisikan sebuah keresahan, kegundahan, kekagalaun, kekhawatiran, kemarahan, atau bahkan kesenangan dalam setidap hidupanya. Seperti yang, ia tulisakan dalam buku itu “Dari pada mati akan tumbuh kehidupan baru itu tiada dapat ditahan-tahan, dan meskipun sekarang dapat juga ditahan-tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup, makin lama makin kuat dan makin tangguh”.
Kutipan itu mengingatkan tulisannya yang tak pernah mati, namun makin hari makin tangguh nan kuat. Ini terbukti dari banyak perempuan yang sadar akan tugas, peranan, dan pengaruhnya. Jika, tidak ada tulisan itu barang kali hari ini kami “perempuan”, masih belum sadar akan pentingnya Pendidikan.
Lewat karespodensi yang dilakukan Kartini dengan sahabatnya yakni “Stella”. Membuka tabir yang akan harapan dan kemauannya yang begitu besar akan hak-hak perempuan untuk bisa mengeyam pendidikan selayaknya laki-laki. Dikutip dalam suratnya pada tanggal 23 Agustus 1990 untuk Nona Zeehandelaar “Aku hendak, aku mesti menurut kebebasanku, aku hendak Stella, aku hendak terdengarkah olehmu Manakah aku akan menang, bila tidak berjuang, mankah aku mendapat, bila tiada aku cari? Tiada berjuang tiada menang, aku berjuang, Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku. Aku tidak akan gentar dan keberatan dan kesukaranku, rasaku cukup kuatnya aku kan mengalahkar sekalian itu.”
Dengan cara itulah ia dapat memperoleh kebebasan atas dirinya, mencintai orang lewat kepekaan yang begitu dalam. Walaupun hatinya bersedih, tetapi pikiran yang mulia terus tubuh bagaikan bunga endelwis. Karesponden seoalah-olah pelipur jiwa Kartini. Ia memang tak merasakan buahnya, namun sastranya selalu abadi dan mendatangkan kebahagian. Ia menjadi simbol bahwa pendidikan mesti diberi bagi perempuan tanpa pandang bulu.
Darinya, kita belajar bahwa Tuhan tidak akan pernah tuli, mendengar sekian banyak hati yang di dalamnya berdoa atas kebenaran dan keadilan. Kegandrungan Kartini akan keadilan yang, ia buktikan dengan sastra mampu menembus kesadaran yang melampaui zamannya. Dan semua zaman tetap mengaguminya, tetap menyebut namanya, tetap senang menyambut kelahirannya, namun sedih jika mengingat sampai hari ini diskiriminasi pendidikan terhadap perempuan tetap ada. Kekerasan seksual dalam dunia pendidikan pun andil menghantui kebebasan perempuan itu.