Manusia
Sumber foto: Kesadaran Manusia

Tolong kesadarannya!

Kalimat itu lumrah diucapkan untuk mengingatkan sesama tatkala menghadapi suatu kejadian yang dinilai tidak semestinya. Diharapkan dengan adanya kesadaran akan menciptakan ketertiban yang selaras dengan nilai dan norma di tengah masyarakat. Misalnya, kesadaran membuang sampah dan merokok pada tempatnya agar tidak mengganggu aktivitasnya dan kesehatan orang lain.

Kenyataannya, kesadaran adalah barang langka karena sering disepelekan yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan tanpa disadari. Ibarat kata merusak tanpa merasa berdosa. Pada titik itu timbul potensi konflik antaranggota masyarakat. Si pembuat masalah tidak merasa bersalah, sementara si korban yang dirugikan dari perbuatan itu jelas tidak bisa serta-merta menerima dan menuntut keadilan. Betapa pentingnya soal kesadaran ini.

Arti sadar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah insaf; merasa; tahu; dan mengerti. Sedangkan makna kesadaran dari sisi hukum menekankan pada kesadaran seseorang akan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia mengenai hukum yang ada; dan kesadaran seseorang akan pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur oleh hukum. Pengertian hukum yang dimaksud di sini dalam arti luas, yaitu hukum yang berlaku di tengah masyarakat (tidak tertulis). Biasanya sanksi bagi pelanggarnya tidak sampai diproses secara hukum formal, tetapi secara otomatis masyarakat akan memberi sanksi sosial.

Dalam psikologi kognitif, kesadaran didefinisikan sebagai kesiagaan, kesiapan individu dalam menyadari dan menanggapi hal abstrak dan kognitif seperti berpikir, merasakan sensasi berpikir, merasakan suatu afeksi, dan sebagainya. Dapat dikatakan, kesadaran adalah proses individu yang tidak ada habisnya. Berlangsung sedari bayi hingga seseorang uzur.

Lalu apa sih kesadaran itu? Merujuk KBBI, kesadaran berarti mawas diri, yaitu melihat (memeriksa dan mengoreksi) diri secara jujur. Melalui proses mawas diri, seseorang akan menyadari posisinya tentang apa yang patut dan sebaliknya. Sehingga atas dasar kesadaran individu akan mempunyai pertimbangan dalam melakukan sesuatu hal yang idealnya seiring dengan kepantasan.

Kesadaran pula yang mendasari sesorang untuk memilih. Terlebih sebagai manusia merdeka, kita mempunyai hak asasi untuk memilih. Namun demikian, acap kemerdekaan itu disalahtafsirkan; bebas melakukan apa saja secara “brutal”. Akibatnya, salah kaprah memaknai nilai merdeka itu dapat merenggut kemerdekaan orang lain. Sebab ‘ulah’ berbuat sesuka hati (dengan alasan kemerdekaan) barang tentu tidak mengandung nilai kemanusiaan. Hal itu bisa dilihat dari tindakan yang menimbulkan kerugian bagi sekitar. Lalu, apa yang keliru dari kesadaran itu?

Paulo Freire menyingkap fase kesadaran manusia. Ia membaginya menjadi tiga tingkatan. Pertamaa adalah kesadaran magis, kedua naif, dan ketiga kritis. Lanjut Freire, kesadaran magis dan naif menempatkan masalah sebagai sesuatu yang alami sehingga harus diterima apa adanya. Jadi kalau-kalau orang lain rugi karena tingkah kita, itu tidak jadi soal. Memang begitulah kehidupan yang ditakdirkan dijalani manusia. Sing penting aku seneng dhewe.

Berbeda hal dengan kesadaran kritis yang melihat suatu persoalan secara menyeluruh. Suatu masalah terjadi karena ada faktor yang memengaruhi. Ia percaya bahwa Sang Pencipta tidak menginginkan kehidupan manusia yang saling merugikan (menindas sesama), malahan sebaliknya ketertiban dan kebahagiaan harus diperjuangkan manusia. Kesadaran kritis selalu berorientasi pada nilai kemanusiaan. Kemerdekaan yang kita punya haruslah dipakai dengan arif-bijaksana untuk kedamaian bersama, bukan semata-mata memikirkan diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan Freire itu, maka kita bisa menilai mana kesadaran yang bermutu. Jelaslah kesadaran kritis (sejati). Dengan ‘peta’ itu pula kita bisa jelas mengamati mana yang masih menggunakan kesadaran magis dan naif atau kritis. Teranglah jika seseorang menilai dirinya mempunyai kesadaran tingkat tinggi tapi hanya memikirkan diri sendiri dan senang merugikan orang lain, kita bisa menarik kesimpulan bahwa kesadaran itu sebatas sampul tanpa substansi.

Kesadaran bukanlah kesadaran tanpa tindakan. Dan tindakan atas dasar kesadaran tidaklah benar bila tidak mendamaikan bagi orang lain. Kita bisa mengujinya.

Kiranya kesadaran berkemanusiaan bisa kita gapai agar kita utuh sebagai Tanah Air. Laksana kata Romo Mangunwijaya, “Tanah Air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia yang menginjak manusia lain.” Dengan demikianlah kita genap sebagai manusia merdeka yang sejati, kala kemerdekaan kita menghargai kemerdekaan orang lain, lebih-lebih memerdekakan yang terkungkung.

Bersemailah kesadaran sejati!

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here