“Mengapa kau memakai rokok buatan negara imperialis itu?, kata Fidel Castro kepada bung Karno. Lalu dengan santai bung Karno menanggapi Fidel, katanya, “Kaum imperialis dan kapitalis itu harus diisap jadi asap dan debu”.
Itulah sepenggal kalimat percakapan bung Karno dan Fidel Castro (Presiden Kuba kala itu). Obrolan santai dua pemimpin dunia itu menggambarkan persahabatan. Begitulah cara bung Karno menjalin diplomasi. Urusan yang acap dianggap berat dibawa santai oleh bung Karno dengan beragam pendekatan. Tulisan ini mencoba menjelajahi kisah bung Karno saat berdiplomasi.
Bung Karno memang terkenal sebagai seorang pemimpin “nyentrik” dan berkarisma. Tak heran berbagai atribut sering dilekatkan padanya, seperti Bapak Bangsa, Orator Ulung, Putra Sang Fajar, Penyambung Lidah Rakyat, dan Diplomat Kelas Dunia. Julukan-julukan tersebut mempunyai sejarah dan nilai tersendiri. Tak terkecuali predikat “Diplomat Kelas Dunia” atau “Diplomat Ulung”. Kiprah diplomasi bung Karno memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan gaya diplomasi pada umumnya.
Perjalan diplomasi Bung Karno keliling dunia membuatnya bukan saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di penjuru dunia. Bahkan tujuh abad pasca kematiannya, sejak 21 Juni 1970, sosok Presiden Pertama Indonesia itu masih ramai diperbincangkan. Bermacam kisah kharisma, gagasan, persahabatan hingga misteri kematiannya selalu menarik diperbincangkan.
Sebagai generasi penerus bangsa, kiranya kita perlu belajar dari bung Karno tentang mencintai bangsa dan karenanya berjuang demi cita-cita. Apa yang dapat diteladani dari bung Karno? Ada banyak hal. Satu di antaranya gaya diplomasinya yang bersahabat dengan beragam pendekatan.
Bung Karno selalu tampil percaya diri saat bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara di dunia. Ia diketahui piawai memainkan jurus diplomatik untuk menjalin hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara tujuan. Ia menawarkan gagasan dan pergerakannya yang sudah terbukti berhasil.
Gaya diplomasi bung Karno terbilang unik. Pendekatan diplomasinya jauh dari kesan formal sebagaimana diplomat pada umumnya. Ia memberi kesan diplomasi sederhana nan elegan.
Perjalanan diplomasi bung Karno sering dilakukan pada kisaran tahun 1960-an. Apa sesungguhnya tujuan beragam diplomasi tersebut? Cindy Adam, penulis buku otobiografi bung Karno menyebut “Aku ingin agar Indonesia dikenal orang.
Aku ingin dunia tahu bagaimana rupa orang Indonesia, dan melihat bahwa kami bukan lagi “bangsa pander” seperti orang Belanda berulang-ulang menyebut kami; bukan lagi ‘Inlander goblok.. dst”. Selain itu, pada masa 1960-an Indonesia sedang bergelut dalam kasus Irian Barat yang ingin diklaim Belanda. Menurut sejarawan Aswi Warman Adam, Indonesia bergerlya mencari dukungan internasional. Karenanya, Bung Karno giat melakukan perjalanan diplomatik.
Pendekatan Sebatang Rokok
Bung Karno merupakan seorang perokok. Siapa sangka, kegemarannya itu ternyata berkesan dalam panggung politik internasional. Dengan sebatang rokok, bung Karno menjalin persahabat dengan para pemimpin dunia yang dikunjunginya untuk urusan diplomasi.
Sigit Aris dalam buku “Dunia dalam Genggaman Bung Karno” menuliskan kisah Putra Sang Fajar saat menyambangi Havana, Kuba pada Mei 1960. Pertemuannya dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro, tampak akrab berbincang sembari keduanya menikmati cerutu. Kuba memang terkenal dengan kualitas tembakaunya yang apik di mulut para perokok.
Menariknya, Bung Karno berkunjung bukan dengan tangan kosong lalu menikmati cerutu Kuba. Ia justru menyodorkan rokok produksi Inggris kepada Fidel. Terkejut melihat tawaran Bung Karno, sebagai seorang sosialis, Fidel lantas mempertanyakan mengapa Bung Karno memakai rokok buatan negara imperialis itu.
Bung Karno menanggapi dengan santai, “Kaum imperialis dan kapitalis itu harus diisap jadi asap dan debu”. Tak pelak, respon sederhana bung Karno membuat Fidel makin menaruh percaya kepada bung Karno. Mereka adalah kawan senilai.
Kejadian itu membuat Fidel akan berpikir dua kali kalau kalau ingin mempertanyakan gerak bung Karno. Sebab, bung Karno sudah mempersiapkan sedetail mungkin respon dalam berbagai situasi yang dihadapinya.
Kejanggalan yang ada bisa jadi adalah skema yang dirancangnya sendiri. Seperti memakai rokok buatan imperialis lalu menyodorkannya kepada negara berhaluan sosialis. Jelas dipertanyakan. Namun itulah pintu masuk diplomasinya. Sat set sat set..
Sama hal, kala bung Karno bertemu dengan Perdana Menteri Uni Soviet (sekarang Rusia), Nikita Khrushchev pada Maret 1960. Dalam sebuah jamuan makan malam di Istana Tampaksiring, Bali, kedua pemimpin tersebut tampak mesra saat “menyambung” rokok. Bukan tanpa dasar, kejadian itu adalah penanda persahabatan atau saling percaya dalam budaya Uni Soviet.
Pertemuan tersebut membuahkan hasil di mana Uni Soviet sepakat mengucurkan dana, pembangunan proyek, dan memasok senjata besar-besran ke Indonesia yang merupakan kebutuhan negara masa itu.
Pendekatan sebatang rokok tidak hanya sekali tampak diperlihatkan bung Karno. Ialah Perdana Menteri India Jawaharhal Nehru, yang turut merasakan pendekatan sebatang rokok bung Karno.
Pada sebuh acara konferensi, bung Karno tertangkap kamera tengah membantu Nehru saat menyalakan rokok. Terlihat sederhana memang, namun menimbulkan kesan bersahabat.
Begitulah luwesnya Bung Karno mendekatkan diri secara emosional dengan banyak pemimpin dunia. Baginya rokok bukan saja kesukaannya, melainkan juga merupakan pendekatan kultural. Dari situ kita bisa melihat sosok Bung Karno memiliki visi jauh ke depan dan dia mampu menggunakan banyak cara untuk meraihnya, termasuk dengan cara yang tampak remeh temeh; sebatang rokok.
Politik Perut
“Mustika Rasa” adalah judul buku yang ditulis bung Karno. Isinya tentang catatan resep kuliner nusantara. Uniknya, buku tersebut bukan semata berisi resep memasak, akan tetapi memiliki pesan tersirat. Bung Karno menjadikan buku itu sebagai media membangun diplomasi politik kepada tamu negara dan lawan politiknya. Pendekatan diplomasi itu juga dikenal dengan istilah “politik perut” dan “diplomasi meja makan”.
Soekarno menyadari betul betapa pentingnya menciptakan suasana gembira saat makan. Untuk menciptakannya, tuan rumah harus menyuguhkan menu yang berkenan bagi para tamu. Di saat tamu sudah nyaman dan senang, maka tujuan diplomasi pun dapat berjalan lancar. Selain itu, bung Karno juga bermaksud menyampaikan kepada dunia Internasional betapa kayanya kuliner nusantara.
Pendekatan diplomasi yang tidak terduga bukan? Begitulah cerdiknya bung Karno. Mampu melihat peluang kecil dan mengolahnya sebaik mungkin.
Belajar dari Bung Karno
Kisah unik diplomasi bung Karno di masa lampau patut kita pelajari di masa kini.
Keberhasilan diplomasi bung Karno tidak terlepas dari kepribadiannya yang supel, cerdas, dan kemampuan berbahasa asing (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda). Penulis buku “Bung Karno dan Revolusi Mental serta Dunia dalam Genggaman Bung Karno” memaparkan rumus diplomasi beliau, bahwa ia selalu menempatkan dirinya sebagai sahabat yang menyenangkan bagi siapa pun dengan menyapa, berjabat tangan, merangkul, serta menampilkan keramahtamahan dan berempati.
Bagi bung Karno, hubungan internasional antar negara tidak melulu harus kaku dan serius. Hubungan diplomasi juga butuh sentuhan emosional antar pemimpin negara yang berlandaskan humanisme. Prinsip itulah yang dipraktikkan bung Karno terhadap semua pemimpin dunia yang ditemuinya.
Dalam hal berteman, bung Karno tidak pilih-pilih. Meski berbeda garis politik, ideologi, agama, ras, dan perbedaan lainnya, Ia tetap menjalin persahabatan. Baginya nilai kemanusiaan lah yang harus diutamakan. Memanusiakan manusia. Karena itu, bung Karno mudah diterima oleh para pemimpin dunia yang dihampirinya. Di saat yang sama, tujuan diplomasi memperjuangkan kepentingan bangsa dan rakyat juga tercapai.
Membaca kisah unik diplomasi bung Karno, rasanya sangat pantas atribut diplomat ulung kelas dunia itu disematkan kepadanya.
Kemampuan diplomasi berpadu pendekatan humanis membuatnya berhasil mendobrak sekat-sekat perbedaan, meredakan ketegangan, dan merajut tali persahabatan. Di samping itu, melalui diplomasinya, bung Karno juga bermaksud mengajarkan kepada bangsa dan rakyatnya bahwa bangsa Indonesia dapat berdiri sejajar dan duduk sama rendah dengan bangsa yang lain.
[…] yaitu The Explorer (Penjelajah), The Builder (Pembina), The Director (Pemimpin), The Negotiator (Perunding). Yuk kita bahas […]