Di sebuah pertemuan dua sungai besar di Kalimantan Barat—Kapuas dan Landak—terletak Kota Pontianak. Dikenal sebagai kota khatulistiwa, Pontianak bukan hanya tempat pertemuan geografis, tetapi juga persilangan antara mitos, sejarah, dan modernitas. Nama kota ini membawa resonansi mendalam yang menyatu dengan salah satu legenda paling ikonik di Asia Tenggara: kuntilanak.
Dari sudut pandang seorang warga lokal yang mendalami sejarah, kuntilanak adalah lebih dari sekadar mitos hantu. Ia adalah cerita yang tertanam dalam setiap aliran air sungai, dalam desir angin di pohon-pohon tinggi, dan dalam sejarah pendirian kota ini sendiri. Mari kita menjelajahi hubungan antara mitos kuntilanak dan identitas Kota Pontianak dari perspektif seorang pendongeng sejarah lokal.
Kisah yang Menghidupkan Kota
Saya teringat cerita nenek saya, yang sering berkisah tentang Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Sultan, seorang pemimpin pemberani, berlayar menyusuri Sungai Kapuas pada tahun 1771, mencari tempat untuk mendirikan kerajaannya. Menurut nenek, rombongan Sultan disambut bukan dengan bunga atau tanah subur, melainkan oleh suara tawa yang menggema di antara pepohonan lebat.
“Suara itu, nak, bukan suara manusia,” katanya dengan nada berbisik. “Itu suara kuntilanak—perempuan mati beranak yang tak beristirahat tenang.”
Ketakutan akan gangguan makhluk halus ini tidak menghentikan Sultan. Dengan keberanian, ia memerintahkan prajuritnya untuk menembakkan meriam ke arah suara tersebut. Peluru-peluru meriam yang jatuh menandai tempat di mana kota ini akan berdiri. Dari sinilah, nama Pontianak berasal, diambil dari istilah Melayu puntianak atau kuntilanak.
Mitos dan Modernitas: Refleksi dari Perspektif Animisme
Sebagai pendongeng sejarah, saya sering merenungkan: mengapa kuntilanak begitu melekat dalam identitas kota ini? Jawabannya, saya rasa, ada pada kepercayaan masyarakat Melayu yang kaya akan unsur animisme. Bagi nenek moyang kita, dunia tidak terbagi secara mutlak antara manusia dan roh; ada keselarasan yang harus dijaga.
Kuntilanak, dalam pandangan animisme, bukan sekadar makhluk menakutkan. Ia adalah simbol alam liar yang belum ditaklukkan—sebuah representasi dari ketidakteraturan dan kekuatan alam yang harus dihormati atau diatasi. Dalam konteks ini, keputusan Sultan untuk menembakkan meriam bisa dimaknai sebagai langkah simbolis untuk “menjinakkan” alam liar dan membuka jalan bagi peradaban baru.
Namun, saya juga menyadari bahwa kepercayaan ini berubah seiring waktu. Pengaruh Islam dan modernitas membawa pemisahan yang lebih tegas antara manusia dan makhluk halus. Kuntilanak yang dulunya dianggap sebagai bagian dari ekosistem spiritual kini lebih sering dipandang sebagai ancaman atau sosok jahat yang harus diusir.
Kuntilanak dalam Narasi Kota Modern
Pontianak, seperti kota-kota lainnya, terus berkembang. Namun, legenda kuntilanak tetap bertahan, beradaptasi dengan kehidupan modern. Dalam beberapa dekade terakhir, cerita tentang kuntilanak tidak hanya diceritakan dari mulut ke mulut, tetapi juga dihidupkan kembali melalui media populer. Film-film horor Indonesia sering kali menjadikan kuntilanak sebagai tokoh utama, lengkap dengan penampilannya yang ikonik: perempuan berpakaian putih dengan rambut panjang terurai, wajah pucat, dan suara tawa yang menyeramkan.
Namun, sebagai pendongeng, saya melihat ada kontradiksi dalam representasi modern ini. Di satu sisi, media membantu memperkenalkan mitos ini kepada generasi muda dan audiens global. Di sisi lain, ia sering kali mengaburkan kedalaman makna asli mitos tersebut. Kuntilanak di layar kaca hampir selalu digambarkan sebagai sosok jahat, tanpa mempertimbangkan simbolisme dan nilai budaya yang lebih luas.
Di Pontianak sendiri, masyarakat masih memiliki hubungan kompleks dengan kuntilanak. Beberapa tempat dianggap “angker,” seperti area di sekitar pohon-pohon besar atau tempat sepi. Namun, rasa takut ini juga bercampur dengan rasa hormat. Banyak warga, terutama generasi tua, melihat kuntilanak sebagai bagian dari sejarah kota mereka—sebuah pengingat akan asal usul mereka dan hubungan mereka dengan dunia gaib.
Mitos Sebagai Cermin Identitas Sosial
Bagi saya, mitos kuntilanak bukan hanya tentang ketakutan akan makhluk halus. Ia juga mencerminkan dinamika sosial yang lebih besar. Dalam narasi tradisional, kuntilanak sering kali digambarkan sebagai perempuan yang meninggal saat melahirkan. Ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi perempuan dalam masyarakat tradisional, terutama terkait dengan kesehatan reproduksi dan ketidakadilan gender.
Mitos ini juga berfungsi sebagai peringatan sosial. Wanita hamil, misalnya, dianjurkan membawa benda tajam seperti paku atau gunting untuk melindungi diri dari kuntilanak. Secara simbolis, ini mungkin mencerminkan kebutuhan untuk menjaga diri dan bayi mereka dari bahaya, baik fisik maupun spiritual.
Sebagai pendongeng, saya juga melihat kuntilanak sebagai simbol kemarahan yang tak tersalurkan. Dalam konteks ini, ia adalah perwakilan dari perempuan yang terpinggirkan, yang suaranya tidak didengar. Dengan cara ini, kuntilanak mengingatkan kita tentang pentingnya mendengar dan menghormati pengalaman perempuan dalam masyarakat.
Pengaruh terhadap Pariwisata dan Budaya Lokal
Pontianak hari ini adalah kota yang hidup dengan budaya yang beragam. Namun, mitos kuntilanak tetap menjadi bagian penting dari identitasnya. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah lokal dan komunitas budaya telah memanfaatkan legenda ini untuk mempromosikan pariwisata.
Festival budaya sering kali menampilkan cerita tentang pendirian kota dan hubungan dengan kuntilanak. Bahkan, beberapa tempat wisata, seperti Tugu Khatulistiwa, sering dikaitkan dengan cerita rakyat ini, meskipun tidak secara langsung. Wisatawan yang berkunjung ke Pontianak sering kali penasaran dengan legenda kuntilanak dan ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah serta kepercayaan lokal.
Namun, sebagai warga lokal, saya merasa penting untuk menjaga keseimbangan. Meskipun pariwisata memberikan manfaat ekonomi, kita juga harus memastikan bahwa mitos ini tidak kehilangan makna aslinya. Cerita kuntilanak bukan sekadar atraksi wisata; ia adalah bagian dari warisan budaya kita yang harus dihormati dan dipahami.
Menjaga Harmoni Antara Mitos dan Modernitas
Pontianak adalah kota yang dibangun di atas cerita. Dari tembakan meriam Sultan hingga suara tawa kuntilanak yang masih diceritakan hingga kini, legenda ini adalah jantung dari identitas kota ini. Sebagai pendongeng, saya percaya bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga cerita ini tetap hidup, tetapi juga relevan dengan konteks modern.
Kuntilanak, bagi saya, bukan hanya sosok yang menakutkan. Ia adalah pengingat akan hubungan kita dengan alam, sejarah, dan satu sama lain. Dalam tawa seramnya, kita mendengar gema masa lalu, tetapi juga harapan untuk masa depan di mana kita dapat menghormati warisan kita sambil membangun kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dan setiap kali saya berjalan di tepi Sungai Kapuas pada malam hari, saya membayangkan suara tawa itu masih ada, berbisik pelan di angin. Bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai pengingat bahwa mitos kuntilanak adalah bagian dari siapa kita, warga Pontianak, di persimpangan sejarah dan modernitas.
Kuntilanak bukan sekadar cerita hantu untuk menakut-nakuti. Ia adalah penjaga ingatan kolektif, simbol perjuangan perempuan, dan cerminan dari hubungan masyarakat dengan alam dan dunia spiritual. Dalam konteks Pontianak, kuntilanak juga menjadi bagian integral dari identitas kota, menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Sebagai masyarakat modern, kita mungkin tidak lagi percaya pada cerita-cerita kuno dengan cara yang sama seperti nenek moyang kita. Namun, mitos seperti kuntilanak memiliki nilai yang melampaui kebenaran literalnya. Ia mengajarkan kita untuk menghormati sejarah, memahami nilai-nilai budaya, dan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual.
Pontianak, dengan segala kemajuan dan modernitasnya, tetap menyimpan kisah kuntilanak sebagai bagian dari warisan yang tak ternilai. Dan mungkin, saat malam tiba dan angin berbisik di antara pohon-pohon, kita akan kembali mendengar suara tawa yang mengingatkan kita bahwa beberapa cerita tidak pernah benar-benar mati.