Selumbari, saya berlatih gamelan untuk keperluan sendratari di salah satu candi di Klaten. Latihan akan segera dimulai. Sembari masuk ruangan, komponis membagikan partitur gendhing kepada para niyaga. Menariknya, tanpa diarahkan oleh sang komponis, para niyaga langsung menempatkan diri ke instrumen yang dipilihnya. Tidak berkerumun dan tidak berebutan. Seolah-olah, ada “kemerdekaan” yang berlandas kesadaran akan kemampuan yang dimiliki. Seperti biasa, ricikan garap adalah mereka yang sudah mempunyai skil mumpuni, ricikan balungan adalah niyaga yang didominasi oleh pemula, dan ricikan struktural adalah mereka yang sudah mentas dari ricikan balungan. Begitulah realitas yang menjadi kebiasaan di kelompok ini.
Sejauh ini, kebanyakan niyaga memandang bahwa ricikan balungan merupakan ricikan yang paling mudah dimainkan. Hal inilah yang menyebabkan para pemula memilih ricikan balungan. Secara teknis, saya mungkin menyetujuinya, namun secara nilai saya kurang setuju terhadap pandangan itu. Gamelan adalah orkestra terbesar ke dua di dunia. Instrumennya puspawarna, bunyinya kompleks, namun mampu mengumandangkan bunyi yang ciamik. Hal ini mengartikan bahwa semua instrumen penting dalam memerankan bunyinya. Hilangnya satu instrumen tentu berpengaruh terhadap keseluruhan bunyi gamelan. Rasanya, tidak rela apabila ricikan balungan hanya dipandang sebelah mata.
Saya ingin meneropong salah satu instrumen dalam ricikan balungan yang kerap dipandang sebelah mata, yakni peking—saron penerus. Secara teknis, peking dimainkan seperti saron barung ataupun demung, hanya saja peking ditabuh dua kali dalam satu ketukan. Kendati permainannya “hanya” seperti itu, sebenarnya peking mempunyai peranan yang penting dalam sajian gamelan, bahkan peranannya lebih banyak dibandingkan saron barung maupun demung.
Lengkung
Untuk membaca peranan peking dengan lebih rinci, perlu diuraikan terlebih dahulu ihwal ragam pola irama dalam karawitan, yakni lancar, tanggung, dados, wiled, dan rangkep. Dalam irama lancar, peking akan ditabuh seperti balungan lainnya; dalam irama tanggung, peking akan ditabuh dua kali—disebut ndobeli dari balungan utama; dalam irama dados, peking akan ditabuh empat kali dari balungan utama; dalam irama wiled, peking akan ditabuh delapan kali dari balungan utama; dan dalam irama rangkep, peking akan ditabuh enam belas kali dari balungan utama (Martopangrawit, 1969). Dalam hal ini, tabuhan peking dilipat-gandakan di setiap pola irama yang digunakan.
Mencermati kronik irama tersebut, peranan peking akan tampak kala irama yang dimainkan semakin panjang. Bayangkan saja apabila irama wiled dimainkan, saron dan demung hanya akan ditabuh sekali dalam 16 ketukan. Lebih pedih lagi bagi instrumen gong yang hanya dimainkan sekali dalam 64 ketukan. Semakin panjang iramanya, maka diperlukan konsentrasi yang lebih tinggi. Dalam hal ini, peking adalah instrumen yang menjaga tempo dan hitungan tersebut supaya iramanya tetap tepat. Tanpanya, mungkin tempo sajian akan kacau, sebab kendhang—selaku pemimpin irama hanya dimainkan pelan dengan pukulan yang sedikit.
Peking juga menjadi instrumen yang memberi identitas ihwal jenis irama yang tengah dikumandangkan. Saya sering menjumpai niyaga yang kebingungan dalam menabuh ketika terjadi perubahan irama. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri memerhatikan niyaga lainnya sembari menunggu nada apa yang akan ditabuh selanjutnya. Perhatian itu tidak boleh luput, karena harus menunggu waktu untuk tabuhan selanjutnya. Untuk menyiasati hal tersebut, para niyaga perlu memerhatikan tabuhan peking, sehingga akan diidentifikasi jenis irama yang tengah dimainkan.
Tabuhan peking memang berbeda dengan tabuhan balungan lainnya, terlebih ketika iramanya semakin lebar. Kendati berbeda, namun peking menjadi pengisi dan penebal nada yang tidak bisa diampu oleh balungan lain. Bayangkan saja apabila tidak ada instrumen peking, maka sajian akan terasa sepi, bahkan akan kehilangan arah. Struktur nada yang seharusnya menjadi kerangka gendhing, menjadi tidak dapat dibaca dengan jelas. Tentu hal ini akan membuyarkan alur sajian.
Satu hal lagi yang menjadi peranan penting peking, yakni menjadi penjembatan antara kerangka gending dengan garap gending. Ketika peking bertemu dengan instrumen rebab, gender, suling, gambang, vokal (ricikan garap), maka peking akan ditabuh berdasar cengkok atau idiom dari ricikan garap tersebut. Sebenarnya, tidak menjadi masalah apabila peking tetap dimainkan sesuai dengan kerangka gendhing, tetapi rasanya menjadi berbeda. Gendhing terasa integral, melegakan, dan sempurna ketika peking dimainkan sesuai dengan cengkok atau idiom dari ricikan garap. Dalam periode ini, peking bukan lagi menjadi ricikan balungan, melainkan menjelma ricikan garap. Mencermati hal ini, dapat dikatakan bahwa peking berada pada liminalitas antara ricikan balungan dan ricikan garap. Ia menjembatani kerangka gendhing dengan hiasan gendhing.
Pemain peking sejatinya adalah orang yang mengerti dan menguasai pola irama, cengkok, serta gendhing yang dimainkan. Rasanya, memandang sebelah mata instrumen peking adalah sebuah kesalahan. Peranannya tidak “selurus” instrumen balungan lainnya. Peking laksana garis lengkung yang meliuk-liuk karena mengampu banyak tanggungjawab. Kendati begitu, lengkungan itulah yang justru membuat gendhing menjadi paripurna.
Tiba-tiba saya teringat dengan Babad Giyanti yang mengisahkan tentang pembelahan Kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pembelahan ini berdampak pada banyak hal, salah satunya adalah gamelan. Ke dua kerajaan dengan sengaja mengembangkan idiom bunyi gamelan untuk melegitimasikan kuasanya, membentuk identitas, atau bahkan menyebarkan pengaruh kerajaan terhadap daerah naungannya.
Salah satu wujudnya adalah tabuhan peking yang berbeda antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tabuhan peking dalam gamelan gaya Yogyakarta berada setelah nada utamanya—disebut dengan teknik ndhisiki, sedangkan gaya Surakarta berada sebelum nada utamanya—disebut dengan teknik nginthili. Dalam hal ini, peking menjadi satu-satunya ricikan balungan yang dijadikan simbol identitas antar kerajaan. Tentu peristiwa ini menunjukan taji peking yang tidak dimiliki oleh balungan lainnya.
Lengking
Gamelan telah didesain oleh leluhur dengan puspawarna wilayah nada—teba—oktaf—register. Ada tujuh register nada dalam gamelan yang dihuni oleh instrumen yang berbeda-beda. Adanya tujuh register ini tentu akan mengumandangkan bunyi yang kompleks nan harmoni apabila dimainkan secara bersamaan.
Dalam hal ini, peking berada pada register tertinggi atau ke tujuh. Dari data yang ada, frekuensi bunyi peking berada pada ambang 1.092, 12 hingga 2.271,76 Hz (Prasetya, 2012). Dengan frekuensi semacam itu, peking dapat mengumandangkan bunyi yang tinggi dengan warna bunyi yang nyaring dibanding instrumen lainnya. Akibatnya, bunyi peking menjadi sangat kentara. Secara musikal, bunyi semacam itu mempu membubuhkan nuansa keindahan karena lengkingannya sangat terasa.
Saya rasa, puspawarna tanggungjawab yang dipikul oleh peking dipengaruhi oleh bunyinya yang melengking tersebut. Bunyi yang melengking adalah bunyi yang paling mudah dibaca atau dideteksi oleh pendengar. Secara musikal, hal ini memungkinkan peking mempunyai kedudukan yang strategis untuk melantunkan idiom, cengkok, ataupun ciri khusus. Ikhtibar bernasnya adalah tabuhan peking gaya Yogyakarta dan Surakarta yang sengaja dibuat berbeda oleh empu kerajaan. Saya rasa, peking dipilih karena memang faktor bunyinya yang melengking, sehingga pendengar diharapkan mampu mendeteksi gaya permainan kerajaan mana yang tengah dimainkan.
Tidak hanya bagi pendengar, lengkingan peking juga mudah dideteksi oleh para niyaga. Di antara kompleksnya bunyi yang berkumandang, lengkingan peking mampu menyelinap dan menembus telinga para niyaga dengan ramahnya. Lengkingan itu mampu memandu para niyaga untuk tetap mentaati aturan gendhing yang tengah dimainkan. Berlandaskan hal ini, Supanggah menyemati peking sebagai pemangku irama (Supanggah, 2002). Peking serasa asisten dari kendhang yang bertugas untuk membantu kendhang dalam menjaga denyut alunan gamelan supaya tetap nikmat didengarkan.
Lengkingan tersebut juga menempatkan peking berada pada ambang transisi antara ricikan balungan dan ricikan penghias. Berada dalam ricikan balungan karena secara organologis dan teknis sama seperti saron dan demung. Berada dalam ricikan penghias karena secara musikalitas peking mampu memerankan fungsi ricikan penghias, yakni memperindah sajian dengan memainkan idiom dan ciri khusus.
Peking berkumandang dengan nyaring dan melengking. Lengkingan itu mengantarkannya pada puspwarna peranan yang tidak mudah. Jalan yang ditempuh peking memang tidak lurus, namun menikung dan melengkung seperti peranan yang diampunya. Alih-alih memahaminya, kebanyakan dari kita justru memandangnya sebelah mata. Saya berharap tulisan ini mampu menjadi bahan refleksi, bahwa seluruh instrumen dalam gamelan adalah penting, entah secara tekstual maupun kontekstual.
Supriyadi,
Etnomusikolog.
Pustaka
Martopangrawit. 1969. Pengetahuan Karawitan I. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta.
Prasetya, Hanggar B. 2012. Fisika Bunyi Gamelan: Laras, Tuning, dan Spektrum. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Supanggah, Rahayu. 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta: Ford Foundation & Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.