Bagi pembaca sastra Indonesia, nama Eka Kurniawan tentu sudah tak asing lagi di telinga. Novelis kelahiran Tasikmalaya, 28 November 1975 ini merupakan novelis Indonesia pertama yang karyanya berhasil masuk dalam nominasi Man Booker International Prize 2016.
Eka Kurniawan menyelesaikan pendidikan tingginya di bidang Filsafat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1999. Keseriusan untuk menjadi penulis muncul ketika ia kuliah di Yogyakarta. Pengalamannya selama di Yogya membuka dan mengasah pikirannya. Meski begitu, Eka mengakui bahwa butuh waktu lama baginya untuk meyakinkan diri menjadi penulis.
Pria paruh baya berkacamata ini telah aktif menulis sejak dua dekade yang lalu. Sebelum menulis karya fiksi, ia telah mengeluarkan buku berjudul “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis”. Buku tersebut terinspirasi dari tugas akhirnya yang berjudul “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme”.
Karya fiksi pertamanya berjudul “Corat-coret di Toilet”, yang berisi sekumpulan cerita pendek. Dua tahun berselang, Eka kembali menulis. Kali ini ia memulai debut novelnya dengan menulis “Cantik itu Luka”. Tidak butuh waktu lama bagi “Cantik itu Luka” untuk menjadi favorit para pecinta sastra. Pada tahun 2006, novel ini bahkan sukses menembus skala internasional. CIL kini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Malaysia, Jepang, Inggris, hingga Lithuania.
Dua tahun setelah menulis CIL, Eka meluncurkan novel keduanya dengan judul “Lelaki Harimau”. Novel ini semakin melejitkan namanya sebagai seorang penulis. Lagi-lagi, karyanya menembus skala internasional. “Lelaki Harimau” atau “Man Tiger” sukses menembus nominasi Man Booker International Prize dan bersanding dengan novelis dunia lainnya.
Layaknya setiap penulis, Eka juga memiliki seorang role model dalam menulis. Dalam menulis, Eka menjadikan Pramoedya Ananta Toer sebagai sumber inspirasi. Baginya, tidak ada yang dapat melampaui Pram dalam hal menulis. Ia tak menampik bahwa karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh Pram, baik itu gaya kepenulisan, penciptaan karakter, plot, hingga gaya bahasa. Eka juga mengikuti jejak Pram yang kerap mengisahkan manusia dan masyarakat terpinggirkan serta mengangkat isu-isu kontroversial.
Diksi yang digunakan Eka juga tidak tanggung-tanggung. Ia tak ragu menggunakan kata-kata vulgar dalam novel-novelnya. Baginya, memperhalus bahasa dengan menggantikan kata menjadi lebih lembut sama saja dengan membunuh kata-kata. Hal itu membuat Eka liar dalam menulis, tapi tetap tidak murahan.
Eka merupakan penulis yang concern dalam permasalahan gender. Terbukti dalam beberapa karyanya seperti “Cantik itu Luka” dan “Lelaki Harimau” yang mengangkat permasalahan tersebut.
CIL menceritakan kondisi perempuan di akhir masa kolonial yang dipaksa menjadi pelacur. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam CIL adalah marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, hingga beban kerja. Diceritakan ketika menjadi tahanan tentara Jepang, perempuan-perempuan diperlakukan kasar dan menjadi bahan untuk melepaskan hawa nafsu para tentara.
Secara garis besar, “Lelaki Harimau” menceritakan ihwal kehidupan keluarga kecil Nuraeni dan Komar. Keduanya bersatu dalam ikatan pernikahan berkat perjodohan. Komar, seorang tukang cukur rambut yang kala itu berusia 30 tahun dijodohkan dengan Nuraeni yang masih berumur 16 tahun. Ketidakadilan gender yang diterima oleh Nuraeni pun sangat beragam, mulai dari sektor keluarganya (ibu dan bapaknya), sektor keluarga kecil yang dibangunnya bersama Komar, hingga sektor pekerjaan.
Eka juga kerap kali menyindir maskulinitas. Maskulinitas yang identik dengan dominasi laki-laki seolah diolok-olok oleh Eka lewat novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Sosok Ajo Kawir digambarkan sebagai laki-laki yang merasa dirinya tidak jantan sebab penisnya tidak bisa ereksi. Eka seolah mengajak pembacanya untuk menertawakan Ajo Kawir dan maskulinitasnya. Ajo Kawir melakukan segala cara demi membuktikan kejantanannya, bahkan lewat perkelahian.
Tak hanya strategi pengarangan yang kontroversial, dalam dunia nyata Eka juga pernah melakukan hal yang kontroversial. Ia pernah menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. Penolakan tersebut merupakan bentuk kritiknya pada pemerintah yang menurutnya, krisis akan bukti nyata dalam melindungi seniman dan kerja-kerja kebudayaan.
Baginya, penghargaan berupa pin dan uang sebesar Rp50 juta (belum dikenakan pajak) bukan jaminan keamanan bagi pegiat-pegiat kebudayaan. Karya kreatif dan pejuang-pejuang sastra yang berjuang meningkatkan kualitas literasi bangsa seharusnya mendapatkan hal apresiasi lebih daripada itu.
Sebab pada kenyataannya, kebebasan dalam lingkup literasi masih dibatasi oleh tindakan-tindakan tak pantas oleh negara, misalnya nasib buku-buku “ke-kirian” yang dirampas dan dibakar oleh aparat. Padahal, membakar buku adalah upaya membakar peradaban.
Sikap Eka patut diacungi dua jempol. Terima kasih telah bersuara, Eka Kurniawan!