Rina termenung menatap gadis bertubuh kurus yang sedang memeluk kedua kakinya di pojok ruang kamar. Gadis kecil itu hanya mengedipkan kedua matanya sambil bernapas pelan. Keheningan di dalam ruangan itu membuat Rina dapat mendengar deru napasnya dengan jelas, beradu dengan dentang jam di dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Ruang kamar yang setengahnya hampir tidak terkena cahaya langit, membuat gadis itu tenggelam dalam gelap di pojokan. Berkali-kali Rina mengajaknya duduk di kursi, gadis itu hanya menggeleng.
Gadis itu menggaruk selangkangannya dengan kasar. Jilbab yang semula menjulur hampir menutupi seluruh tubuhnya, kini hanya menggantung di belakang pintu kamar. Gamis yang dominan berwarna hitam, kini telah tergantikan dengan celana panjang kebesaran. Ia menggaruk selangkangannya lagi. Rambutnya tergerai, menutupi setengah wajahnya yang manis. Sesekali ia mengintip selangkangannya yang memerah.
“Jangan digaruk terus, nanti luka.” Rina menyingkirkan tangan kecil dengan kuku-kuku panjang penuh kotoran itu dari selangkangan yang sudah memerah.
“Memang sudah terluka,” katanya lirih.
Gadis manis berusia sembilan tahun itu berdiri di hadapan Rina. Ia membuka celana panjang hitam yang menutupi kaki kecilnya, dan menyisakan celana pendek berwarna merah. Tangannya kembali menggaruk bagian yang sudah memerah. Gerakannya tidak terlalu cepat dari sebelumnya, tetapi masih terlalu kasar. Lagi dan lagi Rina hanya termenung. Hari ini ia lebih banyak termenung daripada berbicara. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ketika ia bersikukuh untuk membuat gadis itu berbicara.
Gadis itu selalu mengeluh gatal, panas seperti terbakar. Ia menunjukkan bercak-bercak merah di area selangkangan dan pahanya, dan mengatakan bahwa area itu selalu digigit dengan kencang. Gigitan itu selalu didapatkan di awal dan di akhir. Ketika selangkangannya masih terluka karena gigitan sebelumnya, maka gigitan selanjutnya berpindah ke pangkal paha. Gatal dan panas, gadis itu selalu menyimpulkan bahwa kuman dari gigi yang tidak terawat telah bersarang di bawah kulit selangkangan dan pahanya.
Rina dapat melihat dengan jelas wajah gadis itu ketika berdiri di sampingnya. Cahaya langit di siang hari menerangi wajah mungil berkulit sawo matang itu. Hari ini kali pertama baginya melihat gadis itu berdiri dengan tenang, ketika sebelumnya tidak berhenti menangis, meraung dan berteriak, setiap kali Rina datang ke sana. Sekadar melihat wajah gadis itu pun sulit, apalagi memeriksa setiap inci tubuhnya. Namun, saat ini Rina dapat melihat setiap luka yang terdapat pada tubuh mungil itu.
Rina menaikkan celana panjang gadis itu hingga ke pinggang. Saat itu terlihat bercak merah di leher hingga dada yang tidak tertutup dengan kaus v-neck yang dikenakannya. Gadis itu terdiam dan melangkah ke meja rias yang berada di sisi kanan dekat pintu kamarnya. Ia menatap pantulan dirinya di sana sambil memiringkan kepala ke kanan dan kiri. Tangannya sedikit membuka kaus dan menunjukkan dadanya di hadapan cermin.
Gadis itu mengatakan bahwa biasanya hanya di leher. Namun, terakhir kali dadanya pun kena. Sekitar sepuluh titik merah memenuhi leher dan dadanya hari itu, ketika tiga hari yang lalu dirinya kembali pulang ke rumah. Rasanya geli tapi gatal pula, begitu penjelasannya. Memang tidak akan terlihat oleh siapa pun, sebab sebelumnya ia mengenakan jilbab besar.
Lonceng kecil di teras terdengar kencang ketika angin menyentuhnya perlahan. Gadis itu terdiam mendengarkan gemerincingnya sambil terpejam. Bibirnya tidak diam, dan melanjutkan cerita yang belum menemukan titik akhir. Gadis itu menggaruk selangkangannya lagi sampai cairan nanah memenuhi jarinya.
“Adakah alat yang bisa menjangkau ke bagian dalam sini?” Ia menunjuk kemaluannya. “Rasanya gatal dan panas,” lanjutnya.
Rina menyesap teh yang sudah dingin. Membiarkan pahitnya mengalir perlahan di tenggorokan. Ini bukan kali pertama baginya mendengarkan cerita-cerita serupa. Namun, setiap cerita yang didengarnya selalu membuat tubuhnya gemetar hebat hingga keringat dingin. Bibirnya kelu untuk mengatakan kata-kata motivasi atau penyemangat, karena semakin hari kata-kata itu hanya sebagai penenang sementara.
Awalnya gadis itu sangat ketakutan, kesakitan, dan menderita. Pertama kali bercak darah terus keluar dari kemaluannya, tetapi ia tidak pernah bercerita. Kedua kali, sakitnya tidak pernah berubah. Ia selalu menangis, meraung, dan meminta pertolongan Tuhannya. Ketiga kali, rasanya seluruh tulang panggul ke bawah seolah akan lepas menjadi kepingan. Keempat kali, rasa perih, gatal, sakit, panas, menjadi satu dan terus menjalar ke seluruh tubuh. Kelima kali, tubuhnya terasa memiliki lubang dan terus mengeluarkan darah dari berbagai sisi. Akhirnya, gadis itu berlari ke rumahnya, ketika semua orang di asrama sedang tertidur.
Setiap Senin, tangisan, jeritan, raungan, dari dalam ruangan itu berasal dari gadis mungil tersebut. Namun, hari Selasa, Rabu, dan Jum’at, selalu ada suara tangisan, jeritan, dan raungan lain. Setiap hari Kamis tidak ada suara apapun dari ruangan itu, sebab pemiliknya tidur di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Begitupun Sabtu dan Minggu, pemiliknya sudah tidak ada di tempat sejak sore hari karena menghabiskan waktu dengan anak-anaknya di taman rekreasi atau di pusat perbelanjaan.
Katanya, semua itu merupakan syarat untuk memperoleh pahala, nilai yang bagus, serta uang jajan. Hadiah-hadiah besar, seperti disekolahkan ke Mesir atau Turki juga selalu ditawarkan setiap kali gadis itu dijinakkan. Katanya, Tuhan tidak akan marah dan murka. Soalnya, pemilik ruangan itu paling dekat dengan Tuhannya. Paling taat, paling paham seluk-beluk agama, paling hapal setiap doa yang diajarkan Tuhan dan Nabinya. Katanya Tuhan pasti memaklumi dan mewajarkan, karena ia sangat taat. Semua orang bahkan tidak akan percaya. Seseorang yang taat beragama selalu dapat nilai tambah perihal akhlak.
Rina mendekat ke arah gadis kecil yang masih menikmati alunan lonceng di teras rumahnya. Semilir angin membuat beberapa helai rambutnya menari-nari. “Katakan padaku, siapa yang melakukan itu?” tanyanya.
“Lonceng kunci,” jawabnya.
Deru motor terdengar di depan rumah, membuat gadis itu terdiam sejenak. Ketika suara gemerincing lonceng terdengar ketika kunci motor diputar, gadis itu ketakutan dan menarik-narik rambutnya dengan kasar. Ia berlari ke pojok kamar yang tidak tersentuh cahaya, dan kembali meringkuk memeluk kedua kakinya. Langkah sepatu di teras rumah beriringan dengan gemerincing lonceng lain. Ketika gemerincing lonceng itu mulai sayup-sayup dan tidak terdengar, gadis di pojok kamar tersebut mulai tenang.
Rina pergi ke ruang tamu sambil menggendong tas ransel hitam di bahunya. Ia bertemu ibu sang gadis yang sedang berbincang-bincang dengan seseorang beraroma parfum malaikat subuh di ruang tamu. Ibu sang gadis mengenalkan Rina yang datang dari Asosiasi Perempuan dan Anak sekaligus Psikiater. Selanjutnya bergantian mengenalkan laki-laki bertubuh besar tertutup jubah putih dan peci di kepalanya, sebagai pemilik pesantren yang ditempati gadis kecil. Belum ada yang tahu kecuali gadis kecil itu. Jika mungkin laki-laki beraroma parfum malaikat subuh dan pemilik lonceng kunci itu juga pemilik ruangan yang berisi tangis, jeritan, dan raungan setiap Senin, Selasa, Rabu, dan Jum’at.