Festival Sastra Kota Malang

Hari semakin gelap, tapi kawasan perkopian Dau tak menyusutkan minat beberapa orang untuk datang. Pun begitu di Pan Java Mulyoagung. Dalam rangka penutupan Festival Sastra Kota Malang, orang-orang merayap seperti barisan semut di hamparan rerumputan beratapkan langit bertabur bintang. Di depan mereka, sebuah pagelaran akan segera dipertontonkan.

Pagelaran ini berada di area terbuka tepat di sebelah kanan pasar buku Festival Sastra Kota Malang. Seorang gadis yang baru tiba berlari kecil menghampiri rekan-rekannya yang lebih dahulu mengisi tempat di sana.

“Belum mulai, Mas?” gadis itu menyapa seseorang lalu duduk di sebelahnya.

“Sebentar lagi akan dimulai. Kamu hampir telat.”

Ia menghela napas lega. Perjalanan dari tempat tinggalnya menuju lokasi membutuhkan waktu cukup lama. Ditambah kemacetan Kota Malang yang tiada habisnya, entah siang atau malam hari.

Beberapa waktu kemudian, acara penutupan Festival Sastra Kota Malang dibuka oleh pembawa acara dan disambut riuh rendah sorai penonton. Penampilan pertama adalah musikalisasi puisi persembahan dari komunitas sanggar Aksara UMM. Sanggar ini mempersembahkan Puisi Menepilah karya Edi Sukardi serta Puisi Surat Pujangga karya Wahyu Prasetya.

Permulaan yang menggebu dari para deklamator menjadi pintu memasuki penampilan-penampilan berikutnya yang mengundang sorak sorai membahana. Han Farhani, seorang musisi asal Lombok yang telah lama menjalani proses kreatif di Malang, memulai penampilan dengan lagu barunya, Hujan Duit. Lagu itu berisi kritik terhadap kondisi politik yang carut marut dan banal, lebih-lebih menuju Pemilu 2024. Han menyampaikan keresahan-keresahannya melalui lagu tersebut. Ia juga membawa lagu barunya yang lain, Sajak Kecil.

Festival Sastra Kota Malang
Han Farhani saat tampil dalam acara Penutupan Festival Sastra Kota Malang

Lagu-lagu yang dibawakan Han malam itu merupakan adaptasi dari beberapa puisi seperti puisi Nanang Suryadi, “sajak cinta yang ingin kutulis sore ini”, dan puisi Denny Mizhar, “Hujan dan Kota”. Selamat Tidur, salah satu lagu Han yang hits saat masih bersama grup musik Hankestra dibawakan Han sebagai penutup dan menambah suasana khidmat malam itu. Para penonton turut bernyanyi bersama menambah suasana kehangatan. Angin malam yang dingin pelan-pelan menembus kulit.

Gadis itu, sebagaimana penonton lainnya, asyik mendokumentasikan suasana pada malam itu. Ia merasa dirinya sedang menyaksikan konser musik. Sesekali ia memeriksa gawainya, seperti sedang menunggu kabar seorang.  Ia tiba-tiba bergegas ke luar pelataran.

“Sayangnya tadi kamu melewatkan penampilan musikalisasi puisi. Padahal keren banget, loh! Apa lagi lagu-lagunya Han Farhani barusan, pecah!” Gadis itu terlihat begitu menggebu ketika menceritakan Han, seperti sedang tersihir hingga jatuh cinta pada penampilannya.

Jika lagu yang dibawakan Han bernuansa rekaman retro, Ben Lazuardi justru menyuguhkan lagu yang mendayu bergenre folk, sebut saja lagu berjudul Anggrek dan lagu Membara. Setelah Ben undur diri, giliran Kakimeja.id dan Splendid Dialog yang unjuk gigi. Keduanya merupakan bagian dari paguyuban penggiat literasi di Malang Raya.

Tak ketinggalan, Antok Yunus, seorang musisi lokal juga menyumbangkan suaranya melalui lagu Balada Dua Remaja dan lagu Intermezzo. Menariknya, ia berangkat dari seorang musisi jalanan yang biasanya manggung di bahu jalan Kayutangan menjadi musisi yang kemudian melalang buana dari panggung ke panggung.

Gadis itu tersentak ketika sekonyong-konyong seorang bocah memukul bahunya dengan pistol mainan. Lelaki di sebelahnya tergelak sebelum menjadi korban bocah itu selanjutnya. Rupanya tak hanya pasangan muda-mudi yang hadir dalam malam penutupan festival itu. Anak-anak hingga yang sudah paruh baya pun turut memeriahkan acara. Ya, meskipun tingkah bocah belia sering rusuh tetapi justru tingkah lucu dan konyol mereka menjadi hiburan tersendiri bagi orang-orang yang hadir.

Atmosfer panggung terbuka mendadak hening setelah serangkaian pertunjukan musik berakhir. Malang Performance Art yang mengusung tema “Pembangunan Bongkar Pasang” menyajikan gambaran Kota Malang yang tak lagi sama. Pembangunan seringkali meniadakan keberlangsungan hidup  makhluk lain seperti pepohonan yang juga menjadi rumah burung-burung dan tupai yang kerap bisa ditemukan di Malang.

Di penghujung acara, Feri Said membawa persembahan lagu Ada Rindu Untukmu sebagai penutup pertunjukan. Satu dua orang mulai meninggalkan area terbuka. Tak lama kemudian, gadis itu sudah tak terlihat. Perbincangannya bahkan belum usai tetapi jam malamnya telah berakhir.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here