Pagi-pagi buta, Kinanthi seorang diri berjalan menyusuri gelapnya bibir pantai. Debur ombak terdengar pelan dan berirama lembut. Kinanthi pun duduk sejenak di hamparan pasir lembut dan membiarkan air membasahi kaki telanjangnya. Irama ombak yang menenangkan mampu membantu meredakan pikirannya yang sedari tadi ramai.
“Rupanya kamu di sini,” sebuah suara terdengar dari sisi kanan Kinanthi. Dia melihat seorang laki-laki duduk di sisinya. Kinanthi tersenyum, “Kamu mencariku? Maaf aku tidak bilang padamu.” ”Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” laki-laki itu bertanya lembut. Kinanthi menggeleng, menatap semburat merah digaris laut. “Aku hanya rindu suasana pantai.” Laki-laki itu menatap raut wajah Kinanthi, ia tau Kinanthi sedang berbohong.
Kemudian ia berdiri, mengulurkan tangan pada Kinanthi dan mendekapnya. Kinanthi merasakan sedikit amarah di sana. “Kamu marah padaku, Agam?” Kinanthi bertanya pelan. Agam hanya diam. “Aku hanya ingin kejujuran darimu, Kinan.” Kinanthi terdiam. “Aku tau ada resah dalam hatimu. Kamu mau membaginya denganku?” Tanya Agam lembut. Dia tidak ingin menyakiti hati Kinanthi meskipun dia tidak suka dibohongi.
Kinanthi memejamkan mata sejenak, berusaha tenang. “Tadi malam, Mamak menelponku. Ada seorang laki-laki yang mencariku, Pradhif. Tapi itu tidak mungkin kan Agam?” Agam menghela nafas setelah mendengar itu. “Mamak bilang, minggu depan dia akan kembali lagi,” Kinanthi melanjutkan. Matanya menatap manik mata Agam dan mendapati resahnya juga dirasakan Agam. “Esok kita temui dia,” Agam berkata mantap dan mengangguk meyakinkan mereka bisa menyelesaikan ini.
Pagi telah menyambut. Sekitar mulai tampak pesonanya. Kinanthi dan Agam memutuskan untuk kembali ke penginapan. Agenda bulan madu ini tidak boleh berantakan hanya karna bayangan masa lalu. Seharusnya ini menjadi momen bagi keduanya untuk menikmati waktu bersama. Maka keduanya sepakat untuk mengenyahkan sejenak persoalan itu.
Hari itu mereka mengunjungi beberapa tempat di Banda Neira. Keduanya sangat menikmati waktu yang mereka miliki. “Tadi itu memang lucu sekali. Aku sampai ingin menangis karena lelah tertawa,” Ujar Kinanthi dengan sisa tawanya, mengingat kejadian beberapa waktu sebelumnya ketika Agam salah menggandeng seseorang karena ia pikir itu adalah istrinya. “Sungguh aku tidak menyadari itu,” Agam juga tertawa mengingat kekonyolan dirinya. Siang itu mereka sedang makan siang disebuah café yang tidak jauh dari Pantai. Kinanthi yang memintanya. Setelah waktu beranjak sore, mereka pun kembali ke penginapan.
Dering notifikasi pesan terdengar ketika Kinanthi sedang mengeringkan rambut. Ia meraih ponselnya dan mendapati pesan dari nomor tidak dikenal. Isi pesan berupa sapaan ‘Hai Nara’ itu membuyarkan fokusnya. Hanya satu orang yang memanggilnya demikian. Kinanthi tertegun. Cukup lama ia terdiam hingga Agam memanggilnya. Raut wajah Agam terlihat khawatir. “Kinan, ada apa?” Kinanthi menggeleng pelan, tatapan matanya kosong. Agam pun meraih ponsel Kinanthi yang masih menyala. Dahinya berkerut, Siapa Nara? Siapa pengirim pesan ini? Kinanthi terisak pelan. “Hei, ada apa?” Suara lembut Agam malah membuat Kinanthi semakin terisak. “Duduk dulu ya. Tenangin diri kamu. Kalau sudah siap, bisa cerita ke aku?” Suara lembut Agam kembali masuk ke telinganya. Akhirnya Kinanthi pun mengangguk.
Kinanthi menghembuskan nafas pelan sebelum mulai bercerita kepada suaminya. “Pesan itu….dia pengirimnya. Nara adalah nama panggilan dia untukku.” Suaranya pelan, tatapan matanya kosong. “Aku sudah bertekad ingin lepas dan melepaskan dia. Sudah terlanjur dalam dan trauma. Kamu tahu itu, Agam.” Hening sejenak. “Kejadian itu membuatku takut untuk membuka lembar baru. Hingga aku bertemu kamu yang mau menerimaku apa adanya.” Kinanthi menatap Agam, matanya menyiratkan permohonan. Agam menghela nafas, kemudian memeluk istrinya. “Aku akan selalu bersamamu. Sekembalinya dari sini, kita selesaikan masa lalu itu segera,” tutur Agam. Kinanthi menangguk pelan.
Dua hari setelah kejadian itu, mereka pulang ke kota tempat mereka tinggal dan menuju ke rumah orangtua Kinanthi. “Kinan, apapun penjelasan dari dia jangan biarkan dendam tumbuh dihatimu ya, Nak.” Kinanthi mengangguk, mengamini pesan Mamaknya. “Manusia bisa saja menyesal. Memang itu tabiatnya. Namun, bubur sudah menjadi nasi. Mamak minta agar nanti kau lapangkan dadamu.” Kinanthi mengangguk lagi. Abah pun menyuruh mereka bersitirahat.
Tidak sampai satu minggu, tamu itu sudah datang mengetok pintu. Tidak ada yang berubah darinya, hanya saja tatapan mata itu menyiratkan penyesalan mendalam. Kinanthi mencoba menguatkan dirinya dengan Agam menggenggam tangannya erat. Setelah Kinanthi duduk, suasana menjadi tegang. Terlihat Pradhif bersiap untuk berbicara tetapi Abah cepat menahannya. “Saya masih membukakan pintu untukmu, demi masa lalu itu agar cepat selesai. Maka saya minta jangan membuat keributan di sini atau kesempatan ini tidak pernah datang lagi untukmu.” Pradhif menunduk, mengangguk pelan. Abah berdeham, “silahkan.”
Semua diam, hingga perlahan Pradhif menatap Kinanthi sendu. “Ra, aku sungguh sangat menyesal atas perlakuan dan ucapanku dulu. Malam itu aku tidak dapat mengontrol diriku. Aku marah. Dan aku tidak menyangka hal tersebut terjadi,” Pradhif menunduk, lirih suaranya. “Aku…. Aku tidak menyangka jika kamu harus kehilangan rahimmu. Itu semua salahku. Maaf. Maaf. Aku sungguh minta maaf, Ra.” Pradhif mengangkat wajahnya, matanya memerah. “Aku harus bagaimana untuk mendapatkan maafmu?” pintanya lirih. Kinanthi menunduk menahan air matanya jatuh. Sesak kembali menghampirinya ketika mengingat kejadian dan fakta bahwa dia tidak dapat memiliki keturunan.
Kejadian lalu itu terjadi sangat cepat. Pradhif yang sangat posesif merasa cemburu ketika Kinanthi mendapatkan lamaran tidak terduga dari bos Kinanthi. Kinanthi sudah mencoba menjelaskan bahwa ia tidak menerima lamaran itu. Namun, Pradhif terlanjur marah dalam keadaan setengah mabuk. Maka malam itu, di dalam mobil mereka bertengkar hingga tidak sadar Pradhif kehilangan kendali dan mobilnya menabrak pembatas jalan dengan sangat keras dibagian kiri. Akibatnya Kinanthi harus menjalani operasi pengangkatan rahim atau nyawanya yang terancam. Keluarga Kinanthi sangat sedih dan takut memberitahukan yang sebenarnya. Namun, kebenaran mesti diungkapkan dan setelahnya Kinanthi merasa sangat terpukul. Ke mana Pradhif setelah kejadian itu? Dia koma selama dua minggu dan setelah sadar ia menghilang. Mendapati tidak ada iktikad baik, maka pintu hati Kinanthi tertutup untuknya. Butuh waktu lama untuk dia sembuh, menerima kenyataan bahwa dia tidak ‘sempurna’. Lambat laun hatinya mulai tertutup hingga datanglah Agam yang selalu mengkhawatirkan keadaannya, mewarnai hari-harinya.
Kinanthi mulai terisak kecil. “Ke mana kamu setelah hari itu?” tanyanya lirih. Pradhif menunduk, ia terlalu pengecut kala itu. “Aku akui aku menghindar darimu dan dari tanggung jawabku. Aku pengecut, Ra. Aku terlalu takut. Dan itu malah semakin membuatku selalu terbayang dirimu. Hingga aku tahu kamu akan menikah. Sungguh ingin aku menghampirimu tapi perasaan itu menghalangiku. Aku sungguh menyesal, Ra. Demi tuhan.” Pradhif terisak. Sejujurnya dia masih mencintai Nara-nya, hingga hari ini.
“Penyesalanmu sekarang menjadi omong kosong, Pradhif. Setelah ini aku minta kamu untuk pergi dari kehidupanku. Aku sudah bahagia bersama Agam,” Kinanthi berucap mantap, menghapus bulir air mata yang hendak jatuh lagi. Keteguhan hatinya dia dapatkan dari dukungan Agam yang sejak tadi berada di sisinya. Pradhif mengangguk pelan. Apapun keputusan Nara akan ia lakukan. Ia berhak mendapatkannya. Setelah mengatakan itu, Kinanthi pergi ke kamar. Agam segera menyusulnya. Mamak menghela napas, “Nak, hormati keputusan Kinan. Akibat perlakuanmu dulu meninggalkan trauma mendalam baginya. Saya dan suami saya sebenarnya sangat marah padamu. Tapi sekarang apa gunanya? Semoga penyesalan dan perasaan bersalahmu ini menjadi pelajaran berharga untukmu.” Mamak berkata tajam. Abah kemudian berdiri. Menunjuk pintu, ‘mengusir’ Pradhif. Keputusan sudah dibuat. Dia harus pergi dari seseorang yang masih dicintainya, untuk kedua kalinya. Semoga kamu selalu bahagia. Maafkan aku, Ra. Lembar masa lalu itu sempurna ditutup.
Kinanthi bahagia menghabiskan waktunya bersama Agam, sosok yang tidak pernah mengeluh dan mau menerima kekurangannya. Hatinya pun kini terasa lebih lega. Senyum lebih banyak terukir dibibirnya. Agam yang melihat perubahan baik itu pun turut senang. Baginya Kinanthi adalah wanita yang sempurna dan akan selalu dicintanya.