Awalnya, saya memutuskan untuk menunda terlebih dahulu menonton sekaligus mengamati karya sutradara kondang, Quentin Tarantino (selain Pulp Fiction), yang selalu dibicarakan, dielu-elukan dalam banyak diskusi film, dan menjadi landasan teoritis teknis sinematik, juga studi kasus dalam beberapa buku-buku perfilman, sinematografi, dan yang menyoal itu semua. Itu, saya anggap sebagai langkah yang tidak tepat.
Jujur, saya sempat menyesal kenapa baru sekarang menonton Kill Bill: Vol I. Tapi kemudian saya berfikir bahwa di balik itu ada baiknya. Karena memang, menonton Kill Bill: Vol I tanpa adanya pengetahuan film yang cukup, dan relasi tontonan yang luas, membuat kenikmatan menonton sedikit berkurang.
Kill Bill: Vol I adalah salah satu mahakarya dari banyaknya mahakarya yang lahir melalui tangan dingin Quentin Tarantino. Setelah berhasil dengan Reservoir Dog, Pulp Fiction, dan Jackie Brown. Tarantino menggarap film aksi bela diri yang dibagi menjadi dua babak, atau yang disebutkannya volume.
Film Kill Bill: Vol I, dibuat dengan mencampur-adukkan pelbagai teknik. Dan dalam film tersebut, Tarantino tak membawa kebiasaan dirinya untuk mengisi berjuta-juta dialog omong kosong dalam setiap adegannya. Di mana telah ia lemparkan itu semua di film-film sebelumnya. Kali ini, dalam Kill Bill: Vol I, kita hanya akan memandangi pertumpahan darah, bunyi nyaring katana, dan pastinya manipulasi plot yang sudah menjadi ciri khas Quentin Tarantino.
Terbagi dalam beberapa sekuens atau chapter. Kita diajak berkelana dari Texas ke Okinawa, Tokyo, lalu kembali lagi ke Texas, lewat kacamata tokoh utama, Black Mamba (Uma Thurman). Untuk menumpas semua orang yang sudah menjadi catatan di daftar kematiannya. Sebelum langkah mengeksekusi nama-nama dalam catatannya, Black Mamba adalah salah satu anggota dari geng kumpulan pembunuh bernama Deadly Viper Assassination Squad, yang dipimpin oleh orang bernama Bill. Black Mamba mengalami pengkhianatan pada hari pernikahannya oleh anggota geng lainnya. Dan itu mengakibatkan ia berakhir koma di rumah sakit selama 4 tahun.
Dalam hal naskah di film Kill Bill: Vol I yang bergerak secara non-linier, Tarantino sudah dipastikan selesai (berhasil). Semuanya berjalan lancar dan padat, kita dipuaskan menelan informasi dari setiap karakternya yang ada dalam Vol I, tanpa harus bertanya-tanya. Kecermatan inilah yang dimiliki Tarantino. Dalam mengungkap semua tokoh dalam film-filmnya sesuai dengan porsi, ia tak perlu diragukan lagi. Pun, pola manipulasi plot yang dimainkan masih sama sebagaimana film-film sebelumnya. Hanya saja, tidak semulus Pulp Fiction.
Kill Bill: Vol I, hanyalah film balas dendam biasa, yang barangkali banyak kita temui di film-film lainnya. Namun, pengemasannya yang keren, dan bermacam-macam teknik yang dipakai, takkan kita dapati di film balas dendam pada umumnya. Inilah yang menjadi keunggulan Kill Bill: Vol I. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Film ini memang tidak se-superior Pulp Fiction dalam manipulasi plot. Tapi dari segi teknik, film ini lebih ramai dan lebih memukau. Transisi dari berwarna ke monochrome pada saat adegan berdarah, lalu perubahan sinemanya ke dalam dunia animasi, pada sekuens O-Ren Ishii (Lucy Liu). Dan match on action yang lincah dalam setiap adegan perkelahian membuat Kill Bill: Vol I terasa lebih cantik serta sangat mengagumkan.
Yuen Wo-Ping, sang master bela diri yang menjadi Martial Arts Advisor dalam film ini, tentu sangat berpengaruh dan memiliki peran penting di belakang layar. Pasalnya, koregrafi bela diri yang kita saksikan itu, tersaji dari ilmu, keterampilan dan pengalamannya selama bertahun-tahun. Semua adegan bela diri yang ada dari awal sampai akhir begitu indah. Apalagi dalam perkelahian pada sekuens O-Ren Ishii, yang konon itu adalah adegan yang paling sulit dibuat. Ketika Black Mamba membantai ratusan kaki tangan O-Ren Ishii, sekuens itu mengingatkan saya pada cerita Musashi, sewaktu membantai orang-orang dari Perguruan Yoshioka.
Itulah yang saya bayangkan. Kill Bill: Vol I memvisualisasikannya dengan hebat. Darah mengucur di mana-mana, kilatan katana dan bunyi nyaringnya menambah keterpukauan kita pada adegan itu. Dan tentunya juga kepada Quentin Tarantino.
Untuk kelanjutannya yang belum terselesaikan, seperti membunuh Bill dan anggota geng lainnya, kita bergeser ke Vol II, yang dirilis hanya selang setahun setelah Vol I. Apakah nuansa yang dibangun masih akan sama dengan Vol I. Atau Vol II, dirancang untuk lebih mencengangkan dan menegangkan? Serta teknik apalagi yang ditambahkan oleh sang Tarantino ke dalamnya. Kita lihat saja.