Angin segar telah terbawa berkat pertemuanku dengan seorang pemuda perantau pada acara ibadah salah satu Gereja di Kota Malang. Begini ceritanya, kami duduk bersebelahan saat ibadah, dan seperti biasa di akhir ibadah jemaat saling bersalaman.
Raut muka, tatapan, logat, dan cara bersalaman kawan itu seperti berasal dari Sumatera Utara. Tak disangka, ia pun berucap yang sama dalam hatinya. Akibat rasa penasaran, setelah ibadah kami saling menyapa lalu bercerita.
Benar saja, ia juga perantau asal Sumut, sama sepertiku. “Marga apa lek?” tanyaku. “Turnip lek. Kau?” balasnya. “Tarigan lek”, jawabku. Senang rasanya bisa bertemu saudara di tanah rantau.
Alhasil kami pun bertukar kontak. Sejak saat itu, kami berkawan dan tetap merawat komunikasi. Suatu ketika, libur panjang di semester genap menimbulkan kejenuhan.
Terlebih teman-teman seperkuliahan pulang ke kampung masing-masing. Tidak ada kawan main. Tidak ada kawan bercerita. Kawan makan bareng pun tak ada. Huft … perantau oh perantau. Pahit manis perjalanannmu. Begitulah kira-kira selama liburan tiga bulan ke depan, pikirku.
Baru dijalani satu minggu saja sudah sangat menjenuhkan. Apa kira-kira dapat kulakukan untuk mengisi waktu liburan panjang agar bermanfaat dan menyenangkan? pikirku sambil rebahan menjelang tidur.
Pagi hari yang cerah nan penuh harapan, teringat ku dengan kawan sekampung yang dua bulan lalu pernah berjumpa di gereja. Aku coba hubungi, mungkin saja beliau juga tidak pulang.
Tut … tutt … bukan suara kereta api, ini dering panggilan telepon. “Halo kawan Turnip, apa kabar!?”
“Eh kawanku, kabar baik, gimana … gimana?” timpanya. “Aku juga waras kawan” lanjutku. “Eh ngomong-ngomong, posisi di mana ini? Pulang ke kampung kah?”
Lalu dia tertawa “Hahaha kita di Malang aja ini kawan, pantang pulang sebelum lulus hehehe….” “ya ya ya … perantau sejati emang pantang pulang sebelum manang yaa huahaaha….”
lalu dia lanjut tanya dengan logat Batak kentara, “Kenapa emang kawan? Ada bisnis yang bisa kita garap? Ada acara? Apa ini kenapa ini?”
Beliau memang orang yang senang memulai bisnis, setelah memulai lalu memulai lagi, begitu seterusnya … wkwkwk
“Bukan, bukan, sodara. Ini, kamu liburan panjang ini ke mana? Ada kegiatan kah? Kalau nggak, ayok kita budal dolan-dolan” kataku. “Wah … menarik”, celetuknya. Lantas ia mengajak diskusi di kosnya di daerah dekat kampus Universitas Muhammadiyah Malang.
“Okelah, serius ya, sampai bertemu nanti sore”, ujarku. Sore hari, kami ngobrol soal rencana tujuan perjalanan sembari ngemil. Perbincangan santai itu menghasilkan kesepakatan, kami akan melakukan perjalanan ke Banyuwangi.
Touring coy … kami akan berangkat lewat jalur pantai utara (pantura) dan pulang dari jalur pantai selatan. Begitu gambaran rencananya.
Bayangan kami, Banyuwangi itu punya Taman Nasional Baluran, Gunung Ijen.
Begitu pun di perjalanan, akan ada banyak persinggahan yang tak kalah menawan. Kebetulan saya baru saja menempah motor custom serupa CB 100 yang lagi nge-tren. Karena motornya baru saja dirakit, jadi sering rewel, kadang mati kadang hidup.
Tapi ya … namanya jiwa muda menggelora kebelet bertualang, kendala itu tak jadi persoalan berarti. Kami sepakat berangkat dengan motor tua akhir hayat itu dengan segala konsekuensi kalau-kalau motornya mogok di tengah jalan.
Belum lagi, duit di kantong kawan satu hanya 100 ribu, ditambah duitku 200 ribu. “Walah, buat hidup seminggu di Malang saja sudah pas-pasan, bro”, keluhku.
Ya namanya jiwa muda berapi-api sudah kebelet. “Gampang wes … nanti kita bisa cari duit di jalan”, ujar kawan satu. “Hehe bijak. Berangkat ….” sambutku kemudian.
Entah apa yang ada di pikiran kami ini hingga begitu nekat mempertaruhkan harkat dan martabatnya. Mengingat kata Bob Sadino yang menggelegar bahwa anak muda harus berani mencoba dengan cara-cara goblok, kami pun meneguhkan hati.
Hari ini kami sadar Bob hanya pura-pura goblok, sementara kami … ya sudahlah. Nekat, g*bl*k!!!
Berbekal sepasang pakaian dan jaket legend, kami berangkat. Tidak lupa sebagai Kristen taat, kami berdoa sebelum berangkat (jangan ragukan, biar gedung gereja sebagai saksi).
CB100 baru jadi pun bergerak dengan santai nan elegan. Jika gas ditarik penuh kira-kira kecepatan maksimal 60km/jam, agak lambat memang. Sulit menyalip kendaraan lain.
Kami memilih menyusuri jalan dari pinggir agar tidak terlindas kendaraan lain yang kecepatannya jauh melebihi Si Tua. Tapi ya … nikmati saja perjalanannya kawan.
Tidak jauh dari Kota Malang, kira-kira di jalan perbatasan Malang-Pasuruan, motor sudah mogok. Huaaa … kami pun menepi dan memeriksa motor. Tidak ada yang paham betul tentang permotoran.
Sembari istirahat, kami mencoba meng-engkol terus dan terus, tak kunjung hidup sudah setengah jam. Ingin rasanya pulang saja ke Malang. Mau bagaimana lagi, jika pun pulang ke Malang motornya harus hidup juga.
Di tengah keputusasaan, mesin motor mulai dingin, dan ketika coba diengkol lagi ternyata hidup. Ternyata tadi mesinnya terlalu panas, karena motornya belum terbiasa.
Niat balik ke Malang pun segera surut. Kami segera melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Yang jelas rumusnya jika nanti motornya mati lagi berarti mesinnya panas. Berangkat lagi, tidak ada penyesalan, jalani saja kawan.
Bersambung…