Membaca Api
Membaca Api

Mereka berdua duduk di bangku, memandang taman bermain yang sedang sepi itu. Hanya ada mereka berdua. Kaki mungil mereka berayun-ayun santai. Sesekali anak yang perempuan mendongak melihat burung-burung terbang di cakrawala. Hari menjelang sore, banyak angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan. Suara gesekan dedaunan mengisi jeda sepi di taman itu.

“Aru,” ucap anak yang laki-laki, “kamu enggak dicariin orang tuamu?”

“Enggak, enggak akan dicariin,” jawab Aru pelan sambil menunduk. Tangannya meremas ujung baju, seolah mencari pegangan.

Nama anak laki-laki itu Kusha, dia bisa membaca kobaran api, katanya. Aru belum bisa percaya. Aru tidak mengerti cara Kusha melihat api-api itu. Menurut penjelasan Kusha, kobaran api itu memberitahunya tentang kenangan di benda-benda yang terbakar. Aru tetap tidak mengerti.

- Poster Iklan -

“Kusha, memangnya api beneran bisa dibaca? Kamu indigo, ya? Kalau tentang indigo, aku pernah denger. Yang katanya bisa lihat hantu, ‘kan?”

“Beda, bukan indigo. Kamu ini sulit mengerti, Aru. Umurmu berapa, sih?” Kusha melipat tangannya di depan dada, kesal karena Aru tidak bisa memahami penjelasannya tentang cara kerja api, benda, terbakar, atau apa pun yang berkaitan.

“Umurku tujuh.” Aru beranjak dari duduknya, memainkan sebatang ranting pohon untuk menggeser-geser pasir agar menutupi abu bekas api unggun yang nekat dibuat Kusha tadi.

“Oh, cuma tujuh.”

“Ih, kok cuma? Tujuh itu udah umur banyak, Kusha. Aku udah masuk SD Negeri.”

“Belum banyak itu. Aku lebih banyak, sudah sepuluh,” balas Kusha sambil menaik-turunkan alis dan tersenyum.

“Sombong!” protes Aru sambil berdiri menghadap Kusha.

“Sudah masuk SD, tapi kamu masih belum paham apa-apa.” Kusha tertawa mengejek Aru.

“Gimana bisa paham? Aku enggak bisa baca-baca api kayak kamu.”

“Aku bisa lihat kenangan dari benda yang terbakar, bukan membaca api,” jelas Kusha, lagi.

“Tuh, kan, kamu jelasinnya enggak jelas, Kusha. Itu sama aja, api ya terbakar.”

“Terbakar itu kejadian karena api kena benda.”

Aru menggaruk kepala, semua yang dikatakan Kusha membuatnya bingung. “Kamu mirip teman sekelasku yang paling pintar, kalau ngomong bisa bikin pusing orang lain. Kamu ikut les, ya?”

“Enggak sih, aku cuma di sekolah swasta,” jawab Kusha sambil mengangkat kedua bahunya.

Aru hanya mengangguk saja, walaupun sebenarnya tak tahu tentang istilah swasta. Dia berpikir mungkin sekolah Kusha bernama Sekolah Suasta. Aru memilih tidak memikirkannya karena setiap anak pintar yang ditemuinya memang selalu punya gaya bicara yang rumit.

“Kusha, kalau kekuatan ajaibmu itu enggak bohong, coba tebak kenangan yang ada di barang-barang punyaku!” Aru menantangnya.

Kalau yang Kusha ceritakan benar, pasti dia akan tahu kejadian-kejadian yang sudah dialami oleh barang-barang Aru. Selama ini Kusha hanya membakar barang-barang bekas orang lain saja, jadi Aru tidak tahu yang diceritakan Kusha tentang kenangan di barang-barang itu benar atau tidak.

“Kamu mau aku bakar apa? Jangan barang yang bagus, sayang kalau rusak.”

“Aku malah memang bawa barang rusak, sih. Bentar, ada di tasku.”

Aru berlari menuju tas yang terletak di bawah pohon, masih di sekitar taman itu. Setelah mengeluarkan beberapa benda, dia berlari kembali menuju tempat Kusha berada.

“Ini ada buku, tutup termos, sama patahan kursi plastik.”

“Hah? Kenapa ada patahan kursi plastik? Kamu pengen tahu siapa aja yang pernah duduk di kursi ini, gitu?” Kusha bertanya sambil meraih patahan kecil kursi plastik yang Aru sodorkan padanya.

Aru tertawa, lalu menjawab, “Enggaklah. Lihat aja nanti, katanya kamu bisa tahu.”

“Ini mau dibakar satu-satu, atau langsung semuanya aja, Aru?” tanya Kusha sambil menyusun ranting-ranting kayu dan mengeluarkan korek dari saku celananya.

“Memangnya bisa terbaca kalau langsung semuanya?”

“Bisa, tapi kenangannya jadi campur-campur.”

“Ya udah, langsung bakar semua aja. Kayaknya semua kenangannya sama.”

Kusha mulai menyalakan korek dan apinya segera menjalar lewat ranting-ranting yang dikumpulkan tadi. Api itu mulai menyala dan membesar. Aru penasaran, apakah Kusha benar-benar bisa membaca barang-barang itu?

Mendadak ada perasaan aneh ketika Aru melihat Kusha melempar barang-barang itu ke kobaran api, dadanya sesak. Barang-barang itu mengingatkannya pada sesuatu, tetapi dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Aru hampir menangis, tetapi ditahan-tahan saja olehnya agar tidak ketahuan oleh Kusha.

Kusha fokus melihat kobaran api itu tanpa berkedip. Dia menatap api itu seperti sedang membaca sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya sendiri. Kusha menarik napas pendek, wajahnya menegang. Seolah api itu bisa berbisik padanya dan menyampaikan cerita dari masa lalu. Sesekali Kusha tersentak, tetapi dia berusaha menenangkan dirinya kembali. Tingkahnya itu membuat Aru makin penasaran. Mereka berdua memandangi benda-benda yang terbakar itu menjadi abu sampai apinya perlahan mengecil.

“Apinya sudah mulai padam, Kusha. Kamu udah lihat apa aja?” tanya Aru sambil berjongkok mengamati sisa-sisa abu bekas barang yang terbakar.

Kusha tak langsung menjawab. Sebaliknya, dia malah diam sebentar, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Tiba-tiba dia mengambil tas yang tak jauh di belakangnya. Aneh sekali, biasanya Kusha selalu langsung semangat menceritakan penglihatan yang didapatnya dari api-api itu kepada Aru. Aru makin curiga, jangan-jangan Kusha memang berbohong? Aru mengira Kusha tidak berani menjawab, karena kalau Kusha mengarang cerita pasti akan langsung ketahuan oleh Aru.

“Aku punya ide,” kata Kusha tiba-tiba sambil mengeluarkan buku tulis lalu merobek beberapa lembar kertasnya.

“Apa lagi, sih?” protes Aru, sudah tak tertarik lagi karena Kusha tidak mau menjawab pertanyaannya tadi.

Tangan Kusha dengan cepat melipat-lipat lembar kertas itu, membentuk sesuatu. Sampai kertas itu berbentuk topi, ada dua. Topi kertas sederhana yang sering dibuat oleh anak-anak pada umumnya. Kusha juga mengambil dua ranting kayu yang ada di dekatnya.

“Ayo, ke sungai!” ajak Kusha sambil meraih tangan Aru untuk digandeng.

“Mau ngapain?” tanya Aru dengan dahi mengernyit.

“Petualangan.”

Aru bingung dan hendak bertanya lagi, tetapi Kusha sudah menarik tangannya untuk berlari bersama menuju sungai yang tak jauh dari taman tempat mereka bermain tadi. Sungainya tidak terlalu besar, tetapi lumayan dalam. Biasanya orang-orang harus naik sampan untuk ke seberang karena tidak ada jembatan di sini. Kusha tiba-tiba langsung naik ke sampan, tangannya melambai mengajak Aru untuk naik juga.

“Kusha, memangnya kamu tahu cara pakai sampan?” teriak Aru karena tidak yakin. Aru ingat orang dewasa sering melarang anak-anak naik sampan sendirian, bisa tenggelam katanya. Bagi orang dewasa, kecerobohan anak-anak itu penuh risiko. Namun, anak-anak memang hanya mengenal tentang kesenangan.

“Bisa, tinggal didayung.” Kusha tertawa, tengil.

Jawaban Kusha tidak meyakinkan, tetapi Aru berpikir sepertinya itu akan seru. Aru memutuskan turut naik ke sampan. Kusha memakaikan topi kertas di kepala Aru, lalu juga untuk dirinya sendiri.

“Kita bisa jadi bajak laut, ini pedangmu.” Kusha menyerahkan satu ranting kayunya.

Perlahan Kusha mulai mendayung dan sampan bergerak maju. Aru memekik ketika sampan sedikit goyang ke kanan dan ke kiri seperti hendak tenggelam, tetapi ini seru baginya. Mereka tertawa bersama. Suara mereka melengking di tengah iringan angin sepoi-sepoi.

“Kamu sama aku aja, kita bisa jadi bajak laut. Berpetualang,” ajak Kusha.

“Kusha, kamu beneran bisa liat cerita di barang-barangku yang terbakar tadi?”

“Aku lihat … ada suara teriakan dari benda-benda itu. Kursi itu patah karena untuk memukul, keras sekali, dan ada darah di lantai. Buku tadi … aku lihat tangan besar menggunakan buku itu untuk menampar seseorang. Dan termos …,” ucap Kusha dijeda, napasnya tersenggal, “air panasnya tumpah ke lantai. Tapi aku rasa bukan lantai saja yang kena.”

Aru merasakan badannya perlahan gemetar, tetapi berusaha menguatkan diri. “Kayaknya kamu salah lihat, Kusha. Itu cuma … ya, hal biasa. Namanya juga orang tua, pasti suka marah-marah, ‘kan?”

“Tapi marahnya beda, Aru. Aku lihat kamu sampai sembunyi di kamar mandi.”

“Eh, itu bukan apa-apa. Aku cuma main air kok. Kamu kan enggak ngerti rumahku.” Aru membeku sesaat.

“Kalau aku jadi bajak laut, aku bisa melindungimu, Aru. Bajak laut kan enggak takut sama siapa pun.”

“Tapi bajak laut juga bisa kalah kalau ketemu sama orang yang lebih kuat.”

Samar-samar isak tangis Aru terdengar. Perlahan Aru mengusap air mata dan ingus dengan lengan baju. Aru merasa malu kepada Kusha, karena Kusha akhirnya tahu bahwa rumah Aru ternyata menyeramkan.

Tiba-tiba angin yang berhembus lumayan kencang, membuat sampan yang mereka naiki terombang-ambing lagi. Air sungai itu terciprat ke tangan Aru. Dia tersentak karena cipratan air itu justru terasa panas di tangan, membuatnya teringat jelas dengan air panas yang ada di termos rumah. Badannya menjadi gemetar, napasnya tak beraturan.

Melihat Aru menangis, Kusha merasa iba dan ingin berusaha menghiburnya. Kusha menyodorkan ranting kayu dan berkata, “Ini, pedangmu. Bajak laut enggak boleh nangis, Aru. Bajak laut itu berani. Ayo, berlayar!”

Kusha berdiri di sampan dengan memakai topi kertas dan mengacungkan ranting kayunya. Namun, tingkah Kusha itu membuat sampan jadi tidak stabil. Aru makin ketakutan dan berpegangan erat pada tepian sampan dengan napas yang masih sesak. Kusha jadi kehilangan keseimbangan, tangannya langsung terentang untuk menyeimbangkan tubuh. Topi kertasnya jatuh ke air. Kusha terhuyung, kakinya salah berpijak dan membuat badannya seketika tercebur ke sungai.

“Aru, tolong aku!” Kusha berteriak sambil sebisa mungkin meraih permukaan air.

Aru terduduk diam, tubuhnya membeku. Sungai itu menjelma berisi air dari termos, panas sampai beruap. Di matanya, bayangan Kusha yang tenggelam berubah menjadi lelaki besar dengan tangan yang menyiramkan air termos. Suara teriakan Kusha berganti menjadi teriakan lain, mirip teriakan kesakitan dari ibunya yang tak bisa Aru lupakan.

Saat perahu kembali stabil, Aru gemetar sendirian. Hanya ada suara gemercik air. Aru menunduk, menggenggam ranting kayu di tangannya. “Aku cuma pengen kabur,” bisiknya dengan tatapan kosong.

Perahu itu tak bergerak, dan sungai tetap membawa semuanya pergi ….

Termasuk Kusha.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here