jombang

“Refleksi bukanlah persoalan sekedar mengingat masa lalu, refleksi adalah komponen pokok dalam pertumbuhan pemikiran yang berkemajuan” 

Jombang kini terkena amnesia akut. Kabupaten tempat kelahiran ludruk tersebut seperti jalan tol yang hanya dialiri oleh hilir mudik kendaraan. Jombang seperti tempat peristirahatan para pejalan kaki yang sedang bepergian. Seperti anak ABG yang tidak tahu ke mana arah untuk menentukan langkah dan tujuan. Pada tahun 1907 kejayaan kreativitas Jombang tercermin pada sosok seorang humoris yang bernama Pak Santik. Dari sisi pendidikan tradisional keislaman mulai tahun 1899, KH Hasyim Asy’ari telah menggeser stigma kampung yang terkenal kumuh menjadi kampung religius hingga modern ini.

Digdaya Jombang sebagai kabupaten yang dihuni berbagai macam kesenian kini perlahan mati satu per satu. Kesenian modern juga tidak memiliki tempat untuk dapat memperkenalkan dirinya sebagai budaya kekinian.

Layaknya pekarangan sepi di malam hari, Jombang kini tak terawat dengan baik. Lampu-lampu jalanan tidak berfungsi. Penghuni kampung juga mulai lupa merawat pekarangan yang terbengkalai tersebut.

Segelintir orang yang berniat membangun pondasi Kabupaten Jombang untuk mengembalikan Jombang kembali menjadi Jombang. Bagai lahan kosong yang tidak dihuni kehidupan, Jombang menjelma kuburan yang di jauhi dari kerumunan manusia. Sekali muncul, Jombang seperti perempuan yang bersolek yang mengandalkan tampilan ala-ala artis masa kini.

Aktivitas kebudayaan tidak dilakukan dengan cara alami sebagai bentuk kesadaran, namun aktivitas kebudayaan dilakukan dengan tekanan-tekanan atau sekedar bentuk apresiasi saja. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan berkaitan dengan segala bentuk kesenian tradisi di Jombang yang mulai babak belur dan pelan-pelan tenggelam dalam pusaran zaman. 

Istilah “wong Jombang ojo lali Jombang e” kini hanya sebatas kalimat sebagai “gagah-gagahan”. Para seniaman Jombang kini tak lagi memiliki daya dan sudah bersusah-payah mengembalikan marwah kebudayaan Jombang.

Para pemuda kini terdoktrin pendidikan berkemajuan dangan mengembangkan berbagai macam kecanggihan teknologi yang memudahkan dibanding pendidikan berkemajuan dangan mengangkat kembali kebudayaan lama menjadi kebudayaan yang lebih segar untuk menciptakan kemajuan yang esensial sebagai orang Timur. Para pelajar kini disiapkan untuk program industrialisasi dengan tidak memerhatikan kompetensi literasi yang luas, cara memandang, dan menyikapi realitas. Mereka tidak diajak untuk menengok kondisi tanah kelahiran mereka sebagai aset berharga yang perlu dijaga. 

Kekeringan di segala aspek sosial budaya bukan menjadi perhatian serius di kalangan para pemangku jabatan. Berbeda dengan para tetangga sekitar wilayah Jombang yang kian gencar membangun kultur interaksi masyarakat, memunculkan dinamika dan perubahan secara berkelanjutan.

Rumput tetangga jauh lebih hijau memang benar adanya. Jombang hanya menjadi penonton di tengah maraknya aktivitas kebudayaan tetangga wilayah, seperti yang dilakukan Kediri dan Mojokerto.

Media massa kini hanya memberitakan tentang pertumbuhan ekonomi, kasus-kasus, dan berita terhangat. Menyampaikan kebanggan dan kegelisahan dalam memotret aktivitas kebudayaan maupun membangun suasana literasi jarang sekali muncul, atau bahkan hilang.

Perpustakaan kabupaten juga mulai kehabisan akal untuk meningkatkan minat baca masyarakat terlebih para pelajar dan mahasiswa. Kampus-kampus kehilangan daya untuk berkesempatan menciptakan iklim persaingan serta berlomba-lomba menggali potensi kearifan lokal maupun sejarah yang perlu direkontruksi dan diarsipakan melalui riset sebagai aset kebudayaan.

Perawatan kebudayaan merupakan hal pokok yang perlu dilakukan oleh berbagai elemen, khususnya instansi terkait. Arnold Joseph Toynbee pernah menyampaikan bahwa tidak ada kebudayaan yang besifat permanen. Peristiwa gulung tikar kebudayaan pasti terjadi meskipun sedikit orang menyadarinya. Jombang memiliki opsi untuk melakukan dua hal, yakni merawat atau membiarkan kebuadayaan khas menggelinding dan berlalu begitu saja.

Sebagai contoh, menilik gagasan Seno Gumira Ajidarma dalam “Affair Obrolan Urban” bahwa yang menjadi lokomotor penggerak kebudayaan adalah orang-orang yang singgah di Jakarta. Upaya menjadikan kota sebagai pasar wacana adalah hal kecil untuk menghidupkan kembali Jakarta yang esensial. Jakarta telah menjadi produk zaman modern yang terus diburu oleh manusia yang penuh dengan kepentingan sehingga pasar wacana selalu dijajakan di setiap momentum kebudayaan. 

Jombang belum menjadi situs wacana bagi masyarakat umum maupun orang-orang pemikir di bidangnya. Membuat kota menjadi situs wacana bukanlah pekerjaan yang mudah. Perlu ada gerakan pemantik yang berkelanjutan sebagai kegiatan revolusi budaya untuk mengembalikan marwah Jombang sebagai kabupaten produsen kesenian khususnya ludruk.

Jombang masih bermimpi dalam tidurnya yang nyenyak. Dan celakanya mimpi tersebut dianggap nyata, sementara tetangga-tetangga sebelah telah bangun pagi menanak nasi, bekerja, dan berlari untuk mendapatkan kediriannya.

Jombang harus menemukan kembali kediriannya sebagai “Jawa Timur bagian dari Jombang”. Jombang tidak cemas dengan kejombangannya sendiri sebagai esensi dari Provinsi Jawa Timur.

Jika Emha Ainun Najib menyampaikan bahwa  “Indonesia bagian dari desa saya”, maka Jombang harus menyadari bahwa “Jawa Timur bagian dari kabupaten saya”. Hal tersebut sangat mendasar mengingat ludruk dikenal sebagai kesenian Jawa Timur dibandingkan kesenian asal Jombang.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here