Bahasa sering kali melempar dan membuat saya terombang-ambing pada situasi yang tak pasti. Entah itu terjebak pada gagasan serta narasi yang sering kali saling meragukan di dalam diri saya.
Mencoba mencari seberkas makna dari takdir saya di dunia ini sementara saya dibekali ilmu pengetahuan sebanyak nasi bungkus yang dijual di warung-warung pinggir jalan, dan harus mencari misteri yang demikian tak terperi.
Hal itu kemudian, membuat saya tak mampu membedakan mana yang disebut sebagai realitas, mana yang disebut sebagai ilusi. Memasuki sajak “Pohon Cikur” karya Suyatna Anirun, membuat saya kembali berada pada situasi yang tak pasti itu.
Sajak “Pohon Cikur” dibuka dengan pernyataan “hijauku” ketika surga tertinggi/bisa berbagi untuk diri sendiri langsung mengasosiasikan saya pada hal yang berbau agamis, sebab terdapat fitur “surga”—serta aktivitas yang didambakan di dalam surga itu.
Kesan pada baris tiga dan empat dalam bait satu, seolah-olah kemudian tampak menghancurkan kesan agamis yang cenderung positif itu dengan larik “tengadah bisa aku melihat/hidup memapak tanah liat”—yang sebenarnya agak melompat dari kesan positif itu dan mengasosiasikan saya pada konsep “ke-cuma-an”—sehingga menghasilkan ketegangan dalam puisi ini.
Menuju bait kedua, “hijauku, kucium wangi melati/bening keheningan diri/di mana bisa memberi/hidup menghampar tikar pribadi” di awal bait dua terjadi repetisi yakni diksi “hijauku”.
Namun, hal yang agak berbeda ialah kali ini penyair melakukan penyetaraan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkret antara wangi melati dan bening keheningan diri.
Bening keheningan diri baris ini terbaca oleh saya sebagai tubuh yang melandaskan dirinya pada spiritualisme yang jika kita coba cari hubungannya dengan bait satu, bernuansa agak sama dengan “di mana surga tertinggi bisa berbagi dengan diri sendiri”. Akan tetapi, sekali lagi, kesan itu kemudian berbantahan dengan lirik “hidup menghampar tikar pribadi”.
Memasuki bait ketiga, ada perubahan pada baris pertamanya. Penyair tidak lagi memakai diksi “hijau”, tetapi “mirut”—walaupun subjek “aku” tetap hadir. Tidak seperti bait satu ataupun bait dua.
Di dalam bait ketiga, penyair mulai menggeser kesan agamis dan spiritual—yang bertegangan dengan “ke-cuma-an” itu menjadi pendambaan atau keinginan.
“Mirutku, lama sudah/warna mendamba senja cerah adanya keinginan”, bagi saya merupakan salah satu syarat sah manusia menjadi eksis. Keeksisan itu kini menjadi lapisan utama bait ini.
Kemudian, dilanjutkan dengan “dadamu reranting patah/bukan buatku tapi” secara tersirat, maka sebenarnya “aku”, lirik agak mendambakan dada yang dimetaforakan menjadi “reranting patah” itu.
“Hidup menghampar tikar pribadi” dihadirkan lagi di baris akhir bait ketiga setelah tadi sudah hadir dalam baris akhir bait kedua. Hal ini kemudian, kembali menghadirkan bayangan ketegangan antara keeksisan “aku”—lirik dengan “ke-cuma-an” yang dialaminya.
Sampai pada bait akhir, yakni bait empat. Kita diberi imaji tentang “demi lahir yang dironakan hari/mirutku, hariku semakin tiba kurentas daun sendiri karena/hidup menghampar tikar pribadi” di sini seperti tak ada pertentangan, kita seperti diberi afirmasi akan proses kekalahan “aku”—lirik oleh “ke-cuma-an” yang sedari awal tadi telah saya utarakan.
Itu tadi pemaparan saya tentang isi. Selanjutnya, mari kita melihat bagaimana Suyatna Anirun menyusun bentuk puisinya.
Puisi “Pohon Cikur” tak pernah sedikitpun membiarkan kita beranjak dalam lingkaran tematik yang terus berulang. Itu seperti kita baru saja memulai sesuatu, tapi kita sudah langsung bisa mengetahui bagaimana akhir dari aktivitas itu.
Lalu akan terus-menerus berputar di dalamnya secara berulang-ulang. Tertandai dari bagaimana dia menghadirkan repetisi “hidup menghampar tikar pribadi”.
Di dalam pikiran saya, terbersit pertanyaan, “Bagaimana soal tubuh ‘aku’ dalam puisi ini?” Tubuh “aku” dalam puisi ini saya tandai sebagai pintu dua arah.
Melalui itu, ia bisa bersatu dengan realitas tertingginya dan utuh. Melalui “Pintu-Tubuh” pula ia terlempar di dunia karena telah tunduk pada gairah—pada instingnya.
Pintu-Tubuh inilah yang membawa tubuh “aku” berkelana menemukan kebebasan sekaligus pengasingan dan kutukannya.
Setelah membaca puisi “Pohon Cikur” secara berulang, saya menemukan kesan yang pas untuk puisi ini. Saya ingin menyebut puisi ini seperti seorang prajurit yang dipaksa bertarung oleh kerajaan walaupun ia telah mengetahui juga pada akhirnya ia akan gugur dan tak pernah mendapatkan kemenangan.
Kemudian, jika membicarakan gangguan dalam puisi ini, maka saya akan mengatakan bahwa gangguannya terletak pada teknik penyair dalam melakukan repetisi. Ketidakkonsistenan ini, sangat mengganggu dalam proses pembacaan saya.
Rasanya seperti ada yang terlepas sekaligus tertangkap. Hal itu dikarenakan ia mengutak-atik posisi apa-apa yang sudah mapan, menuju posisi yang berbeda.
Ini mengganggu. Sebab jika tidak teliti, makna puisi ini, mungkin tak pernah bisa dibayangkan.
Bila memperhatikan puisi “Pohon Cikur” secara lebih detail, sesungguhnya puisi ini dimulai dari hal kecil dan nyaris tak terpikirkan—khususnya oleh saya.
Kemudian, jika para pembaca sekalian mempunyai ribuan tafsir dan membacanya dari kacamata-kacamata filsafat, sains, bahkan lintas seni yang lain, atau apapun itu sah-sah saja.
Hanya saja, saya mau mengafirmasi sedikit bahwa mengapa hal itu bisa terjadi? Sebab, sintaks yang tersusun dengan rapi, semantik sudah membentuk sebuah makna di pikiran kita, lalu semiotik bekerja dengan baik, itulah kemudian yang menghantarkan puisi ke depan pintu gerbang keutuhan.