Hari itu, Launa merasa begitu berat untuk terbangun dari tempat tidurnya. Kepalanya penuh dengan pikiran kacau, seperti badai yang tak kunjung reda. Pekerjaan, keluarga, keuangan, semua menumpuk menjadi beban yang ia bawa tanpa tahu cara menyingkirkannya. Semuanya terasa tak terkendali, dan ia merasa tenggelam dalam pusaran kekhawatiran yang semakin dalam dan tak berujung.
Dalam kebingungannya, Launa duduk di pinggir tempat tidur, menatap lantai. Ruangan itu hening, namun pikirannya berisik. Ia merasakan tubuhnya tegang dan otot-ototnya kaku. Napasnya pendek, seakan paru-parunya tidak bisa menghirup udara dengan bebas. Ia tahu, keadaan ini tidak bisa terus dibiarkan.
Hingga pada pagi hari itu, Launa memutuskan untuk mengunjungi Ara, sahabatnya sejak lama yang selalu punya cara untuk membantu ketika hidup terasa terlalu berat. Sesampainya di rumah Ara, Launa mengungkapkan semua yang ia rasakan, perasaan terjebak, kecemasan yang menumpuk, dan bagaimana ia merasa tak berdaya menghadapi semua itu.
Ara mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa memotong. Setelah Launa selesai bicara, barulah Ara tersenyum lembut, mengajak Launa duduk di taman belakang rumahnya.
“Aku tahu masa-masa sulit bisa membuat kita merasa seperti ini,” Ara berkata dengan tenang, “Tapi, ada beberapa strategi yang bisa kita coba untuk menjaga kesehatan mental. Aku sudah sering mencobanya, dan mungkin ini juga bisa membantu kamu.”
Launa mengangguk pelan, merasa bahwa ini adalah langkah yang tepat untuknya. Ia siap mendengar apapun yang bisa membantunya menemukan jalan keluar dari kekacauan dalam pikirannya.
Ara memulai dengan berkata, “Di masa sulit, salah satu hal pertama yang bisa kita lakukan adalah menetapkan rutinitas sederhana. Sesederhana apapun. Seperti bangun di jam yang sama setiap hari, mandi, atau sarapan. Ketika kita merasa segala sesuatu di luar kendali, rutinitas kecil ini bisa memberikan rasa stabilitas.”
Launa terdiam, mengingat betapa acak kehidupannya belakangan ini. Ia sering bangun tanpa jadwal tetap, kadang lupa makan, dan bahkan tak peduli lagi dengan waktu. “Itu mungkin hal sederhana, tapi aku belum memikirkannya,” balas Launa.
Ara tersenyum. “Kadang kita lupa bahwa tubuh dan pikiran kita membutuhkan kestabilan. Dengan rutinitas, kita memberikan pesan kepada diri kita sendiri bahwa kita masih punya kendali atas hidup kita, meskipun hanya dalam hal-hal kecil.”
“Kedua, kita harus belajar mengenali batasan diri,” lanjut Ara, “Tidak apa-apa untuk tidak melakukan segalanya dengan sempurna. Di masa-masa sulit, ekspektasi tinggi hanya akan menambah beban. Kita perlu memberi ruang untuk istirahat dan memaafkan diri sendiri.”
Launa memikirkan pekerjaannya yang semakin menumpuk. Ia selalu merasa harus menyelesaikan semuanya dengan sempurna, dan ketika tidak bisa, rasa bersalah menyelimutinya. Launa merasa seolah dirinya adalah manusia paling gagal.
Ara melanjutkan, “Terkadang, lebih baik kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan hari ini daripada membebani diri dengan harapan yang terlalu tinggi. Berharap boleh, tapi kita juga harus tau batasan diri kita.”
Dalam hembusan angin sejuk yang berhembus, Ara berkata lagi, “Sering kali, kita terjebak memikirkan hal-hal yang di luar kendali kita. Itu membuat kita semakin stres. Cara untuk menjaga kesehatan mental adalah dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan.”
“Seperti apa contohnya?” tanya Launa, penasaran.
Ara menjelaskan, “Misalnya, kamu tidak bisa mengendalikan reaksi orang lain terhadap suatu hal, tapi kamu bisa mengendalikan bagaimana kamu merespon situasi itu. Kamu bisa mengontrol apa yang kamu konsumsi setiap hari baik itu makanan, informasi, atau hal-hal yang mempengaruhi suasana hati kamu.”
Launa mengangguk setuju. Ia sering merasa khawatir tentang banyak hal yang sebenarnya tidak bisa ia ubah. Namun, kata-kata Ara membuatnya sadar bahwa ia bisa mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.
“Selain itu, jangan lupa untuk mengambil jeda,” kata Ara lembut. “Ketika semuanya terasa berat, penting untuk berhenti sejenak. Berikan ruang bagi dirimu untuk sekadar bernafas, untuk melepaskan ketegangan.”
Launa tersenyum kecil. “Aku sering lupa melakukan itu. Rasanya seperti terus berlari tanpa henti. Berlari di jalan tak berujung.”
Ara mengangguk. “Bahkan mesin pun butuh istirahat, apalagi kita, manusia. Mungkin kamu bisa meluangkan waktu 10 menit setiap hari hanya untuk duduk diam, mendengarkan musik, atau berjalan-jalan di sekitar rumah.”
Launa mengerti bahwa jeda seperti ini sangat penting, terutama ketika kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang tak menentu.
“Dan yang paling penting,” Ara menambahkan, “Jangan ragu untuk mencari dukungan dari orang-orang yang kamu percaya. Tidak semua beban harus kamu pikul sendiri. Cerita, curhat, atau bahkan sekadar berbicara dengan orang yang peduli bisa membantu meringankan perasaan berat itu.”
Launa menatap Ara, merasa bersyukur. Ia menyadari bahwa selama ini, ia sering menutup diri, berpikir bahwa masalahnya terlalu besar untuk dibagikan kepada orang lain. Namun, duduk bersama Ara dan berbicara tentang perasaannya sudah membuatnya terasa lebih ringan.
“Terima kasih, Ara,” kata Launa pelan. “Aku merasa lebih baik hanya dengan berbicara denganmu. Mungkin aku memang butuh belajar untuk terbuka dan tidak menyimpan semua ini sendirian.”
Ara tersenyum hangat, merangkul bahu Launa. “Kita semua membutuhkan dukungan di masa-masa sulit. Dan ingat, Launa, kamu tidak sendiri. Kamu punya aku dan orang-orang yang sayang sama kamu.”
***
Malam itu, ketika Launa kembali ke rumahnya, dia merasa sedikit lebih tenang. Langkah langkah kecil yang Ara sarankan memang sederhana, namun cukup untuk membantu menghadapi hari demi hari kedepan.
Esok paginya, Launa bangun sedikit lebih awal, melangkah keluar kamar, dan menyalakan air untuk mandi. Rutinitas kecil itu memberikan rasa pencapaian, meskipun hanya sesaat. Di masa sulit seperti ini, Launa tahu bahwa merawat kesehatan mental adalah tentang membuat keputusan-keputusan kecil yang membawa keseimbangan.
Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan strategi yang tepat, Launa mulai belajar bahwa ia bisa mengelola apa yang ia rasakan satu langkah kecil demi satu langkah kecil. Dari langkah kecil itu akan menjadi sesuatu yang besar.
[…] ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi pemicu stres atau kecemasan serta mengembangkan strategi coping yang lebih efektif. Kesadaran diri yang […]