sastra anak

Jarang dibicarakan, jarang pula diangkat ke satu forum besar yang serius dan intens. Sastra anak layaknya hantu. Tentu hantu, di sini, tidak kita artikan secara harfiah—tidak diterjemahkan dalam makna yang umum kita ketahui. Malah sebaliknya. Eksistensi sastra anak memang tak pernah menyala, mungkin redup—ia kerap berjalan dengan kegaibannya sendiri, kendati kita rasakan kehadirannya.

Sastra anak merupakan salah satu genre sastra yang terbilang kecil pasaran produksinya. Selain ditujukan pada anak-anak—yang notabene memiliki batasan dalam mencerna cerita, sastra anak juga tak memiliki banyak penulis yang benar-benar produktif dalam berkarya. Ditambah lagi ruang apresiasi yang kecil menjadikan sastra anak sulit bergerak lebih leluasa.

Namun tidak hanya ruang, pegiatnya, dan produksinya saja yang menjadi persoalan pelik eksistensi sastra anak di Indonesia. Konvensi-konvensi pakem yang berkembang dalam jarak yang  sangat dekat dengan sastra anak terbilang ketat dan sampai sekarang masih membusung badan yang sama.

Okky Madasari dan Rizka Amaliah, dalam perbincangan seputar sastra anak kemarin malam, Rabu, 14 Desember 2022, di Kafe Pustaka, Kota Malang—sedikit-banyak menyoroti kerumitan persoalan pada sastra anak. Beberapa tulisan sastra anak bahkan perlu ditulis dengan lebih sederhana lagi agar lebih mudah dikonsumsi dan dapat dipahami maksudnya.

“Kalau mau masuk ke media, harus ada sisi ke-indonesiaannya, yang itu saya amati karya-karya demikian cuman sekadar tempelan saja,” kata Rizka Amaliah. Akhirnya karya-karya sastra anak cenderung berjalan pada bantaran isi yang terbatas. Sebab kreativitas dalam mengolah cerita secara tidak langsung wajib diredam. Dalam hal ini, pakem-pakem di ranah sastra anak itu, tak selalu bisa diterima.

Membincang sastra anak otomatis kita membincang kehidupan anak-anak itu sendiri—yang lugu, kadang jahil, tak jarang bebal. Namun anak-anak mempunyai semestanya sendiri dalam memahami kehidupan. Mereka tak bisa sekadar dipandang ‘kosong’ melalui tubuhnya yang mungil dan suaranya yang nyaring. Mereka merupakan nafas yang mengembara di gurun dengan kendaraannya sendiri—kendaraan yang unik. 

Tulisan-tulisan sastra anak yang ramai dibaca-gunakan dewasa ini—oleh guru kepada siswa-siswa sekolah dasar, kerap mendudukkan anak-anak pada teritori yang nihil idea. Seakan mereka tidak mengerti satu huruf dalam sebuah tulisan. Padahal masa anak-anak adalah masa di mana mereka menyimpan tanya yang berlimpah—masa di mana rasa penasaran begitu menggebu. 

“Anak-anak tidak akan mau membaca cerita yang menganggap mereka tidak tahu apa-apa,” ujar Okky Madasari. 

sastra anak
Suasana “ngobrol sastra anak” di Kafe Pustaka, Kota Malang.

Karena sesungguhnya, mereka, anak-anak itu, mampu mencerna cerita-cerita yang kompleks, seperti tema fantasi, magis, dan semacamnya. Bahkan, lanjut Okky, “anak-anak yang ada di desa, dapat menceritakan ulang kisah tersebut.” Ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan mendesak apakah sastra anak yang kompleks bisa diterima atau tidak. Kalau anak-anak cuman disodori buku-buku yang sarat akan perintah-perintah bijak, serta diiringi cerita yang itu-itu saja, itu akan membosankan dan merendahkan mereka.

Okky Madasari dan Rizka Amaliah, seperti jelas menyesali isi dari buku-buku yang dikonsumsi atau diberikan kepada anak-anak di sekolah dasar. Mereka mengamati buku yang berjejal di banyak sekolah dasar terlalu kerap menyuntikkan nasihat secara telanjang. Kiranya ada semacam perlawanan yang pelan-pelan digalakkan oleh tumbuh kembang sastra anak, dari mereka, pada buku-buku cerita yang berjejer di sekolah-sekolah.

“Karena mungkin orientasi yang berbeda dalam menciptakan karya sastra anak. Buku-buku sastra anak itu menuju pada wilayah pendidikan.” Kata Okky. Tapi bukankah setiap cerita selalu mengandung pesan yang didaktis? Seperti yang disebutkannya sendiri; yang mana pesan atau nasihat-nasihat bisa diairi secara alternatif, tanpa perlu dijelaskan di akhir cerita. 

Pesan, nasihat atau semacamnya hadir secara langsung atau tidak. Padahal banyak cara yang bisa digunakan untuk mengungkapkan apa yang dimaksud dalam rangkaian cerita yang dituliskan. Lagi-lagi “secara tersirat mungkin,” ujar Okky, “yang diselipkan saja ke dalam cerita tanpa membabarkannya panjang lebar”. Biarkan anak-anak menerjemahkannya sendiri dengan ‘kendaraan’ mereka masing-masing, ‘kendaraan’ mereka yang unik.

Problematika ini, yang disampaikan oleh kedua pembicara—yang barangkali memungkinkan kebosanan muncul pada anak-anak. Mereka sulit memupuk niat membaca buku lagi—sebab cerita-cerita dari sastra anak tak kunjung keluar dari tempurung ortodoksnya. Dan interpretasi anak-anak terhadap teks—yang menubuh dalam buku-buku ‘sastra anak’ mudah terpatahkan oleh pesan didaktis yang tersemat pada epilog.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here