“Rukiah terkenal sebagai penulis yang produktif, berpikir tajam, sekaligus aktivis kebudayaan.”
Tak banyak orang membicarakan penulis perempuan dalam ranah sastra, khususnya pasca-kemerdekaan; sering kali yang muncul ke permukaan adalah karya lelaki. Mereka mengisi sendi-sendi ruang kesustraan Indonesia. Padahal perempuan saat itu turut andil dalam setiap gelanggang perjuangan kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah Siti Rukiah Kertapati.
Namanya sengaja terlupakan dalam sejarah. Bermula dari peritiwa 65 yang mengubah garis takdir Rukiah, yang mulanya gemilang harus terhenti karena ulah rezim kala itu. Peliknya, buku-buku karya Rukiah harus ditarik dari peredaran literasi Indonesia, dan dijadikan sebagai buku merah ‘karya terlarang’.
Alhasil, para penerusnya merasa kelasah-kelusuh perihal literasi yang absen membicarakan penulis perempuan dalam dunia sastra. Ahli-ahli mengatakan bahwa sebabnya karena ketidakmampuan perempuan dalam berkarya, dan selalu dibenturkan soal tugas domestik. Namun, asumsi itu terpantahkan oleh setiap geliat yang dilakukan oleh Rukiah, hingga menjadi icon penulis perempuan produktif pada zamannya.
Karya Rukiah dan Literasi Pasca-Kemerdekaan
“Dia menjadi sosok perempuan yang sangat penting di gerakan literasi pada masa itu. Jarang sekali, apalagi penulis perempuan yang menceritakan tentang periode kemerdekaan sastra revolusi saat itu,” kata Giovanni, peneliti isu perempuan.
Giovanni juga menambahkan bahwa sejak usia 18 tahun, Rukiah telah menjadi seorang pendidik di Sekolah Gadis Purwakarta. Selain itu pada umur 19 tahun, dia telah mulai menulis.
Pada masa perang dan pasca-kemerdekaan, Rukiah juga terlibat aktif dalam aktivitas sosial dan perjuangan dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia, salah satunya dengan aktif dalam kepengurusan organisasi kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi seniman sayap kiri yang cukup besar pada masa pasca-kemerdekaan; bahkan dia menjadi pionir penggerak dalam organisasi tersebut. Karena kecerdikannyalah, dia mampu berinisiasi melahirkan konsep turba untuk segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh aktivis Lekra.
Pada 1960-an, Rukiah mengunjungi Jerman sebagai perwakilan seniman Lekra dan menyampaikan pidato dalam sebuah kongres. Salah satu penggalan pidotanya berbinyaa: “…sekarang perjuangan rakyat Indonesia sudah mencapai sejumlah hasil-hasil yang lumayan. Hampir semua kapital Belanda sudah dinasionalisasi, kapital Belgia juga sudah diambil alih, perjuangan pembebasan Irian Barat makin berkobar, partai-partai reaksioner sudah dilarang, begitu pula surat-surat kabarnya. Di bidang kebudayaan telah diambil pula tindakan-tindakan positif oleh pemerintah seperti larangan atas barang-barang impor dari Amerika seperti rock ‘n’ roll, hulla-hoop, buku-buku cabul, pemecatan terhadap elemen-elemen reaksioner dari panitia sensor film, dll.”
“Dan Lekra kini sudah tersebar di seluruh nusantara Indonesia, sudah menghimpun lebih dari 10.000 pengarang, dramaturg, pelukis, komponis, musisi, pekerja-pekerja film dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya… Lekra mendidik anggota-anggotanya supaya selalu mempererat hubungannya dengan massa, antara lain dengan metode kerja “turun ke bawah”, dan supaya senantiasa mengejar “dua tinggi”, yaitu tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik…”
Dari penggalan tersebut, dapat dilihat peranan Rukiah dalam memperkuat literasi Indonesia. Tidak hanya sekadar jargonis, tapi punya metodologi yang jelas, seperti memperkuat jejaring dari lokal hingga Internasional, serta konsep turba untuk menggapai pelbagai lapisan masyarakat dalam mengampanyekan pentingnya literasi.
Dia telah menulis pelbagai buah karya di antaranya Si Rawun dan Kawan-Kawannya, Teuku Hasan Johan Pahlawan, Jaka Tingkir, Dongeng-Dongeng Kutilang, Kisah Perjalanan Si Apin Taman Sanjak Si Kecil, Adik Kecil, Kejatuhan dan Hati, Tandus, Ilham II, Adikku Kecil, Pahlawan, Buntu Kejaran, Pohon Sunyi, Pulasan Hidup, Kamar Tua.
Dengan karya yang berjudul Tandus, Rukiah—menerima penghargaan sastra 1952 dari BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), sebuah anugrah—yang paling bergensi, ditambah Rukiah adalah satu-satunya pemenang perempuan, yang bersanding dengan Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Utuy Tatang Sontani (Austriningrum, dkk., 2021).
Dia tak hanya menjadi pengarang yang lihai dalam mengukir untai kata, hingga membetuk sebuah kalimat yang apik, tapi dia juga berprofesi sebagai seorang editor, jurnalis hingga seorang Ibu. Walaupun dengan segala hiruk piruknya untuk berkarya, bekerja, berorganisasi, tak pernah sekalipun meminggirkan keluarganya.
Ahli-ahli mengatakan bahwa Rukiah tak ingin terkenal sebagai seorang penulis ataupun aktivis, dia ingin terkenal sebagai seorang ibu dari keenam anaknya. Bahkan cerita anak yang ditulisnya terilhamkan, tatkala Rukiah menjadi seorang Ibu.
Dan keinginannya pun tercapai, dia tak lagi terkenal sebagai penulis ataupun sesuatu yang tersematkan pada dirinya; dia hanya terkenal menjadi ibu penjual kue yang pontang-panting membiayai anaknya untuk bersekolah. Sebab, rezim kala itu memberangus dan menghapuskan jejak Rukiah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia serta namanya hilang di dunia sastra.
Penulis Terlupakan
Pada 1965, suasana sangat mencekik tak ada rasa aman. Semua sudut kota hingga desa berisikan kemarahan, kebencian, hingga pembantaian. Rukiah masuk dalam daftar orang-orang yang akan tertangkap; hingga akhir 1965 Rukiah ditangkap tanpa pengadilan dan ditahan di Kompleks Corps Polisi Militer Gabungan Tentara (Kompleks CPM) di Purwakarta.
Semua berubah seperti petir yang menyambar hidup Rukiah. Kalang kabut hidupnya. Ia berpisah dengan suaminya yang juga kebetulan harus melarikan diri ke luar negeri, sebab juga masuk pada daftar orang merah, namun yang membuat Rukiah makin gelisah harus berpisah dengan enam anaknya. Hidupnya pun berantakan dan keenam anaknya pontang-panting harus dititipkan ke sanak saudara.
Namun, pada 25 April 1965, ia dibebaskan dengan syarat tak boleh lagi menulis, tak boleh lagi menerbitkan buku, mesin tiknya dirampas; dan syarat itu pun disetujui oleh Rukiah karena ia hanya ingin bertemu dengan anaknya. Dia tak ingin anaknya tumbuh tanpa kasih. Ia hanya ingin melihat tumbuh dan kembang anaknya. Walaupun, Rukiah harus menggubur segala bentuk keinginannya untuk terus menulis.
Dia kubur dalam-dalam mimpi itu. Cintanya pada Indonesia, dan segala janji yang diutarakan untuk meningkatkan literasi di Indonesia. Di rumah, Rukiah hanya melakukan pekerjaan rumah seperti perempuan pada umunya, dia tak lagi berorganisasi, tak lagi menulis, tak lagi membaca, dan tak lagi bermimpi tentang kemajuan Indonesia.
Wisnu—anak pertama Rukiah mengatakan bahwa—Rukiah sering kali hanya terdiam, tak banyak menceritakan kejadian yang menimpanya, sekalipun dengan buah hatinya. Dia hanya menyulam, menjahit, atau bahkan membuat kue untuk bertahan hidup bagi keluarganya. Jika ditanya Rukiah hanya terdiam. Bagi Wisnu, ibunya mengalami trauma yang mendalam atas kejadiannya di masa lalu.
Sejak itu pula, namanya hilang dari peredaran dunia sastra. Tak dikenal sebagai seorang penulis perempuan yang produktif, dan karyanya pun tak pernah pula dinikmati oleh para generasi selanjutya yang rindu dengan setiap torehan kata yang bermakna itu.
Perempuan yang dikenal amat lihai dalam mencatat segala peristiwa sosial yang terjadi saat itu, lalu ditorehkan dalam bentuk karya, hingga karyanya banyak dinikmati oleh banyak orang, harus hilang, tenggelam, tak pernah lagi muncul ke pemukaan. Iya, dia Siti Rukiah Kertapati seorang penulis perempuan yang terlupakan.