Katanya, penyair Wahyu Prasetya kerap mengambil kata-kata dari sembarang tempat, lalu menciptakan puisi yang berangkat dari sana. Pernah suatu ketika, ia berjalan sempoyongan bersama Tjahjono Widijanto, lalu menemukan selembar koran sobek yang terseok di trotoar. Wahyu memungutnya, sedikit membacanya, dan “kata yang didapatkan di sana menjadi puisi,” tutur Tjahjono Widijanto pada acara “Mengenang Wahyu Prasetya” kemarin, 3 Maret 2023.

Kata, menurut penyair Wahyu, merupakan bahan bakar pertama dalam membikin puisi. Pemilihan kata yang tepat untuk membangun ruh pada puisi, merupakan proses panjang akan pergumulan antara penyair dan kata itu sendiri. Keluasan berpikir kreatif, akan membawa penyair tak sekadar terpaku pada konsep kata yang formal, yang rigor. Ia akan membawa penyair ke belantara yang lebih jauh—mencari seikat kata di comberan, sumur, dan wilayah-wilayah yang sembarang dan tak terduga lainnya.

Keyakinan Wahyu akan kebebasan kata, membentuk puisinya menjadi tubuh yang sangat bebas, kuat, sekaligus garang. Pada zaman puisi yang masih tak bisa terhindar dari sikap ketat, kata-kata asing dan nyeleneh telah tercatat di kertas-kertas puisi Wahyu yang panjang-panjang itu; penyeka ingus, taik, halo-halo, pagebluk, yes, kwek-kwek, bangsat, fuck, hashis, meskalin sulfat, kodein, hairspray, odol, es krim.

Ini bukan tak mungkin pula, sebab di samping perawakannya yang berani, Wahyu diuntungkan karena tak kuliah sastra. “Ia tak perlu menghabiskan waktu memikirkan sintaksis, kaidah kebahasaan, dan semacamnya, itu sebab puisi Wahyu hidup dan tak kaku,” ucap kurang lebih Tengsoe Tjahjono.

Seiring waktu itu juga, Wahyu Prasetya menjalin relasi dengan penyair-penyair luar daerah. Ia sempat diundang ke TIM (Taman Ismail Marzuki), dan pergelaran Temu Penyair Indonesia yang tak sembarang orang dapat berkesempatan berpartisipasi. Puisi yang visioner, dan narasinya yang partikular, mencatatkan nama Wahyu Prasetya sebagai penyair yang terampil.

“Seorang penyair adalah pemerhati yang bagus, pengamat yang bagus, penyidik yang kejam.” Ucap Tjahjono Widijanto. Dan itulah yang mungkin dapat menggambarkan seorang Wahyu Prasetya yang biasa disapa Pungky. Wahyu pemerhati yang teliti, terlihat pada puisi-puisinya yang padat, sekaligus penyidik yang kejam, terlihat dari lakunya yang bisa menciptakan puisi dari keadaan bagaimanapun.

“Bahkan dari keadaan misuh pun Wahyu bisa menuliskannya menjadi puisi,” kenang Tjahjono Widijanto. Pribadi Wahyu yang cukup keras dan bangal terkadang membuat para rekannya sedikit takut olehnya. Itu juga yang terlihat dalam sajak-sajak Wahyu yang agresif dan begar.

Lebih dari itu, ada satu kejadian yang masih menempel di ingatan para kerabat adalah ketika Wahyu melemparkan botol vodkanya ke penyair Nirwan Dewanto—entah kena atau tidak, yang pasti mereka tertawa mengingat momen tersebut yang tentunya sangat tak mengenakkan bagi Nirwan.

Lalu acara ditutup dengan puisi-puisi Wahyu Prasetya yang indah, berapi-api, sekaligus nyeleneh, yang dibacakan oleh para penyair regional lainnya yang hadir.

 

Wahyu Prasetya menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 14 Februari 2018 yang lalu. Penyair kelahiran Malang tahun 1957 tersebut meninggalkan duka mendalam dan kangen bagi rekan-rekan seperjuangannya di konstelasi kesusastraan. Wahyu adalah penyair yang berkompeten, puisi-puisinya menunjukkan watak keras kepala dan betapa dinginnya ia. Acara Mengenang Wahyu Prasetya adalah bentuk apresiasi dan alarm berulang bahwa ada salah satu penyair hebat yang pernah ada di Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here