media sosial

Di pagi hari, minggu yang lalu memasuki minggu kedua bulan September tahun 2021 ini, saya mendapat notifikasi bunyi “ting” tunggal pada gawai yang tergelatak di samping saya rebahan. Bunyi itu memaksa saya mengambil gawai dan menengok pesan apa yang masuk di media sosial saya.

Setelah saya buka, barulah saya ketahui bahwa saya mendapatkan kiriman petuah hidup dari seorang kawan yang jarang sekali bertemu. Hanya lewat media sosial sajalah—yang boleh dikata saya dengannya relatif agak rajin saling memberikan komentar. Terlebih komentar yang ringan-ringan, komentar remeh temeh melihat tingkah pola teman lain yang sama-sama kami ikuti di media sosial yang semakin hari semakin ramai.

Mungkin ini dampak dari pandemi dan kebijakan pemerintah soal pembatasan sosial sehingga kita tidak ada pilihan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Akhirnya, kita lebih banyak melampiaskan hasrat untuk beraktivitas dengan gawai yang dimiliki.

Kembali pada isi pesan yang dikirim kawan saya melalui gawai tadi, isinya sangat menyentuh. Kesimpulan isi pesannya adalah “jadi orang itu jangan berlebih, sekalipun mempunyai segala hal”. Kawan saya ini bukan seorang tokoh politik dan juga bukan seorang agamawan yang bertugas mengingatkan jamaahnya.

Kawan saya ini juga bukan seorang pesohor yang selalu diintai para juru tulis media untuk dijadikan sekadar informasi hiburan. Ia bukan seseorang yang tingkah lucunya membuat kita semua tergelak bersama, karena tak jarang terlihat melakukan hal yang tidak berkesesuaian antara yang diucapkan dengan yang dipraktikkan.

Sebagaimana yang belakangan terjadi dan telah menghiasi halaman-halaman media cetak maupun laman-laman media elektronik, lengkap dengan foto dan infografis tentangnya yang menyeruak di media sosial.

Memang, di zaman simulakra modern ini hampir semua orang selalu berebut ruang untuk tampil menjadi penanda awal. Semua urusan nyaris diperlombakan untuk mendapatkan keriuhan pujian sebagai yang terdepan dan tercepat. Membuatnya jauh dari substansi yang semestinya, yaitu tujuan utama setiap kegiatan tersebut.

Akhirnya yang tampak hanyalah “gebyarnya”, urusan hasil dan manfaat mengikuti di kemudian hari.

Inilah era berlari, kurun saling mendahului. Hal ini bisa terlihat pada pengumuman pemerintah terkait beberapa level pembatasan di masa pandemi Covid-19. Levelnya banyak. Ada level yang diangkakan dari angka satu hingga angka empat, yang memaknai angka empat sebagai titik mengkhawatirkan.

Selain angka, juga ditunjukkan dengan warna dan jamaknya diikuti dengan infografis. Penandaan dengan warna pun demikian, warna merah diposisikan sebagai warna yang membahayakan dan warna hijau sebagai warna baik yang berarti tidak ada lagi penularan virus berbahaya ini.

Angka dan warna yang disajikan oleh pemerintah tampil begitu adanya dan kita sebagai rakyat jelata tidak tahu menahu argumentasinya apa. Apa yang telah ditetapkan pemerintah sering kali maknanya tak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat luas.

Para pemegang otoritas kebijakan menyampaikan angka-angka statistik yang terinfeksi, yang diisolasi, yang meninggal, termasuk yang telah sembuh. Data ini sering kali tidak diikuti dengan penjelasan, misalnya dengan infografis. Dengan begitu masyarakat tahu harus melakukan ini dan itu atau sebagainya, termasuk informasi yang membantu mereka menyelesaikan masalah ekonomi keluarganya.

Sering kali masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai. Maka tak ayal di lapangan sering kali terjadi ketegangan-ketegangan antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Hingga saat ini, masyarakat hanya bisa menikmati apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara terpaksa.

Selain urusan pandemi, juga muncul kehebohan tentang “uang gaji dan tunjungan” anggota parlemen pusat. Angka yang tertulis dan tersebar jumlahnya sangat besar sementara pekerjaannya dianggap tidak seberapa. Tidak sebanding antara pekerjaan dengan gaji, demikian tanggapan beragam orang di ruang publik.

Diberitakan bahwa pemberian gaji oleh negara kepada anggota parlemen ternyata tanggal pengirimannya tidak terjadi hanya sekali. Ada yang dikirim tanggal 1, ada yang dikirim tanggal 5, dan seterusnya. Pengiriman gaji yang bertubi-tubi dalam waktu kerja satu bulan menyesakkan dada kita. Usaha rakyat mengumpulkan uang setahun belum tentu akan setara hasilnya dengan gaji anggota parlemen dalam sekali tanggal pengiriman gaji.

Selain urusan gaji, ada pula urusan pemecatan pegawai yang dianggap tidak lulus ujian wawasan kebangsaan. Anehnya, mereka tidak lulus tetapi tetap disebut punya dedikasi dan integritas oleh pimpinan yang juga seturut tidak meluluskan mereka dalam ujian tersebut. Pernyataan yang berseberangan ini membingungkan kita yang membaca atau pun yang mendengarnya melalui saluran televisi maupun youtube.

Selain informasi di atas, masih banyak informasi yang terhidang setiap saat di ruang publik ini. Ada yang memang layak untuk dijadikan diskursus, dan ada pula yang cukup kita respon dengan tersenyum.

Terkadang memang kita sangat sulit untuk membedakan mana yang semestinya dilakukan sesuai dengan apa yang telah “digariskan”, dan mana yang seharusnya tidak perlu dilakukan karena melampaui garis yang telah ditetapkan. Baik garis yang ditetapkan oleh lingkungan sosial-budaya masyarakat, maupun oleh norma yang sudah tertulis begitu adanya.

Sungguh benar betul kiriman kawan saya tersebut, bahwa jadi orang itu jangan berlebih. Kalimat ini bisa dimaknai bahwa kehidupan mestinya dijalani dengan sepatutnya saja. Ibarat orang makan yang terlalu kenyang, tidak akan merasa nyaman bahkan untuk duduk sekalipun.

Namun demikian, kita tetap harus melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh. Bukan untuk berebut ruang publik, melainkan untuk menegaskan bahwa aktivitas yang kita lakukan ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan sebatas pencitraan.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here