Wajah mana yang sering anda tampilkan di media sosial anda? Apakah selalu hal positif atau sebaliknya? Adanya media sosial membuat kodrat manusia sebagai makhluk sosial lebih intens bahkan dapat memengaruhi kehidupan di dunia nyata. Jarak yang dekat dapat digulir begitu saja dengan melakukan panggilan video, membagikan cerita sehari-hari, bahkan menjadi teman curhat di kala suntuk.
Itu baru beberapa contoh dampak positif dari media sosial. Pada penelitian di tahun 2014 yang dilakukan oleh Sujarwoto membuktikan dengan menggunakan media sosial akan membuat penggunanya rentan terhadap frustasi dan mudah iri dengan orang lain. Lantas semua itu memiliki hubungan kausalitas yang tak lepas dari tindakan manusia itu sendiri, ingin terlihat sempurna di seluruh penjuru dunia.
Dalam perspektif sosiologis, kehidupan sosial dibagi menjadi dua yaitu front stage dan back stage . Panggung depan sering digunakan manusia dalam mem- branding dirinya melalui berbagai media, bagaimana ia harus tampil sedemikian rupa dengan hal-hal yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Namun, back stage yang jarang ditampilkan pada rekan formalnya, sikap back stage ini akan muncul pada ruang lingkup yang lebih sempit, sehingga citra dirinya yang dibangun saat front stage akan terjaga.
“ Setiap kita dapat satu peranan, yang harus dimainkan, ada peran wajar, dan ada peran wajar-pura ” begitulah kata mbak Nike Ardila dalam lagunya “Panggung Sandiwara”. Fenomena tersebut merujuk pada indikasi dramaturgi -sebuah konsep oleh Erving Goffman. Ia menyatakan bahwa teori dramaturgi adalah tentang bagaimana seseorang menampilkan dirinya di dunia sosial. Orang tersebut akan merancang apa saja yang ingin ditampilkan dirinya dan mempertimbangkan konsekuensi dari penampilannya di depan panggung.
Salah satu artis yaitu Nikita Mirzani, dengan sapaan akrabnya Nikmir sangat pandai dalam menampilkan dirinya di depan panggung. Banyak hal yang warga internet atau warganet tidak tahu di balik layar. Nikmir tampil dengan sosok yang menonjol, memberi kesan bahwa setiap kali ada kericuhan, di situ pasti ada Nikmir.
Induk kemungkinan bisa menjadi sebuah sebutan bagi Nikmir yang menghasilkan karya lain, ia berbeda dengan sosok artis lainnya yang mem- branding diri sebagai tokoh publik yang patut ditiru. Siapa sangka dengan banyaknya kericuhan yang dibuat Nikmir malah kebanjiran, meski sempat diboikot oleh warganet, Nikmir tak ambil pusing. Ia mengelola momen tersebut menjadi ladang cuan yang bisa menghasilkan berkali lipat dibanding saat tidak ada statistik.
Menghadirkan muktamar NU pada tahun lalu, menyekolahkan anaknya pada pesantren dan sempat masuk pesantren merupakan sosok belakang panggung yang Nikmir bangun. Ia paham betul bagaimana warganet dan dirinya dapat menjadi simbiosis mutualisme, dengan membranding dirinya sebagai seseorang yang sering masuk ke luar penjara bahkan saat tersebut ( front stage ) tak penah menampilkan dirinya yang sesungguhnya.
Ialah pemeran utama dari panggung sandiwara, membangun dirinya sebagai sosok yang tak terkalahkan dan mengonversi berbagai hal menjadi ajang penghasilan. Hal ini karena sesungguhnya Nikita Mirzani merupakan panggung depan yang tak bisa dilihat secara mentah, ia harus diolah dan dikritisi agar warganet tidak frustasi kemakan tingkah laku si pemeran dramaturgi.