Jika orang-orang mengenal Pramoedya dari tetralogi Buru, maka saya pertama mengenalnya melalui buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Buku ini berhasil mengaduk-aduk pikiran dan perasaan, membawa saya melalui malam panjang dengan mimpi yang cukup mencekam.
Melalui buku ini, saya melihat Pramoedya sebagai seorang intelektual yang cerdas dan kritis, suami yang tabah, sekaligus ayah yang rapuh. Berlembar-lembar halaman yang dicurahkannya sebagai ungkapan perasaannya akan anak perempuannya yang dipersunting seorang lelaki yang ia sendiri lupa namanya, cukup membuat dada saya sesak. Baru halaman pertama bab “Permenungan dan Pengapungan”, saya langsung disergap perasaan haru akan cara Pram mencintai anak perempuannya. Disampaikannya kepada sang menantu, untuk tidak menghalangi cita-cita anak perempuannya, jangan menyakiti dan memukuli anaknya, hingga pintanya untuk mengembalikan secara baik-baik jika suatu saat ada hal yang terjadi sehingga menantu tak menyukai anaknya lagi. Apakah Pram orang yang melankolis? Saya rasa iya. Ia adalah sosok yang mengingat detail peristiwa, mencatatnya baik-baik, merenungkan dengan mendalam, lalu menuangkan dalam coretannya.
Seorang Pram tak bisa mengelak. Pada tanggal 17 Agustus 1969, sebagai hadiah kemerdekaan Republik Indonesia, ia dan tapol-tapol lainnya berangkat menuju ‘happy land somewhere’ yang disebut Pulau Buru dengan bekal percaya. Kapal yang berisi orang-orang buangan, yang harus rela menanggung penyakit dan kelaparan (makan sehari seukuran tiga kali sekaleng semir sepatu, betapa jauh dari kata cukup). Dari buku ini saya menangkap episode-episode getir yang harus dialami Pram dan belasan ribu tapol Pulau Buru. Mulai dari pemberangkatan hingga hari-hari yang dilalui di Pulau Buru, terror, hukuman, dan ancaman maut seringkali mengintai. Berita-berita kematian pun akrab di telinga. Nasib mereka, apakah akan menjemput ajal atau lolos dari saringan Pulau Buru, tak ada yang tahu pasti.
Jika ingin lebih bersyukur dan berempati, di luar dari memahami sejarah republik ini, maka buku Pram ini sangat layak untuk dibaca. Tapi untuk yang lemah hati seperti saya, bisa jadi akan memerlukan sedikit jeda sebelum melanjutkan halaman demi halamannya. Bersiaplah menyimak fakta yang memuakkan tentang kelakuan korup petugas yang berkuasa. Mereka tidak peduli bahwa proyek yang mereka lakukan menggunakan topeng kemanusiaan, dengan agenda mulia mengembalikan para tapol menjadi manusia yang memegang teguh Pancasila.