
Beberapa waktu belakangan saya keranjingan untuk membaca karya sastranya Seno Gumira Ajidarma. Dari beberapa karyanya yang telah saya baca, baik novel maupun kumpulan cerpen, entah mengapa saya merasa banyak yang berkaitan dengan “senja” dan “pelacur.” Demikian pula novelnya yang diberi judul Kitab Omong Kosong.
Kitab Omong Kosong menceritakan ulang Ramayana dari sudut pandang lain dengan melibatkan “tokoh kecil,” tokoh manusia biasa yang justru menjadi tokoh utama dalam novel ini. Tokoh tersebut adalah Maneka dan Satya.
Novel ini terbagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama menceritakan bencana persembahan kuda atas perintah Rama yang kehilangan kebijaksanaannya setelah ditinggal Sita. Sebuah kuda dilepas sehingga kerajaan dan tempat mana saja yang dilewatinya akan diratakan oleh bala tentara Ayodhya.
Hanuman melihat bahwa seisi Ayodhya telah dipengaruhi gelembung-gelembung jahat Rahwana. Bala tentara Ayodhya pada akhirnya bertemu dengan dua bocah kembar maha sakti yang ternyata adalah Lawa dan Kusa, anak Rama. Bagian pertama ditutup dengan akhir hidup Rama dan Sita yang moksa.
Bagian pertama menampakkan upaya Seno untuk “menyimpangkan” karakter para tokoh Ramayana. Misalnya, Rama yang dalam pewayangan dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu justru terkesan kejam melalui upacara persembahan kudanya yang menyebabkan peradaban dan kebudayaan kembali ke titik nol. Tokoh-tokoh dalam Ramayana, dalam novel ini dinarasikan oleh Seno dengan tidak hitam-putih.
Pada bagian kedua, cerita berlanjut dan beralih fokus pada seorang pelacur bernama Maneka. Sedari lahir ia memiliki rajah kuda di punggungnya, yang mirip dengan kuda yang digunakan dalam persembahan kuda. Sedari belia ia ditelantarkan ayahnya di rumah pelacuran, dan karena rajah kuda di punggungnya itulah hidupnya senantiasa sengsara.
Hal tersebut menyalakan api gugatan di dalam dirinya. Ia bertekad kabur dari rumah pelacuran untuk mencari Valmiki yang menulis Ramayana, di mana Maneka merasa riwayatnya ikut terjalin di dalamnya. Dalam petualangannya Maneka bertemu dengan Satya, remaja sebatang kara karena tempat tinggal dan keluarganya disapu bencana persembahan kuda. Mereka pada akhirnya berpetualang bersama untuk mencari Valmiki yang konon selalu berjalan ke arah senja.
Pada bagian kedua, dengan piawai Seno meramu petualangan Maneka dan Satya dengan kilas balik peristiwa dalam Ramayana. Terutama mengenai riwayat Hanuman yang diceritakan menyimpan kitab bernama Kitab Omong Kosong. Kitab inilah yang diperebutkan banyak orang setelah bencana persembahan kuda. Dipercaya bahwa kitab tersebut adalah satu-satunya yang berisikan salinan riwayat pengetahuan manusia.
Maneka dan Satya bergeser misi. Dari yang semula ingin mencari Valmiki untuk menggugat nasib, mereka justru ikut terlibat dalam keributan pencarian kitab itu. Namun, pencarian kitab itulah yang justru mengarahkan mereka kepada Valmiki. Bagian kedua ditutup dengan Maneka yang bertemu dengan Valmiki untuk menggugat nasibnya dan melepaskan diri dari rangkaian cerita Ramayana yang dituliskan Valmiki.
Mengenai gugatan nasib yang dilakukan Maneka, menarik untuk menyimak jawaban Valmiki ketika Maneka melakukan gugatan terhadapnya. Berikut jawaban Valmiki dalam dialognya dengan Maneka.
“Jangan panggil aku mpu, aku sama bodohnya dengan semua orang yang tak kunjung mengerti. Riwayatku juga ditulis oleh suatu kuasa yang tidak akan pernah mampu kusingkapkan. Aku ini hanya setitik nada dalam lagu, sebuah pion dalam bidak catur, hanyalah alat tulis untuk sebuah riwayat di atas lontar. Aku tidak lebih tahu darimu, anakku” (hal. 269-270).
Pada bagian ketiga, diceritakan bagaimana Maneka dan Satya bertemu dengan Hanuman. Kitab Omong Kosong, yang oleh Hanuman dipecah menjadi 5 bagian berhasil mereka temukan satu per satu. Di bagian ini juga dijalin riwayat beberapa tokoh dalam Ramayana yang minim peran. Mereka turut menggugat Valmiki untuk melepaskan diri dari cerita yang telah ditulis.
Isi Kitab Omong Kosong yang ditemukan Maneka dan Satya dinarasikan secara filosofis dan cukup rumit, yakni sebuah gagasan tentang “adanya dunia.” Kitab bagian kelima barangkali menjadi yang terpenting. Secara metaforis dinyatakan bahwa bagian tersebut justru tanpa tulisan. Hanya kekosongan di setiap lembarannya yang menuntut untuk dibaca.
“Kekosongan ini harus kau baca.” (hal. 436)
Itulah kutipan dialog Maneka ketika berdebat dengan Satya perihal kitab bagian kelima. Membaca kekosongan?
Saya pribadi merasa cukup sulit untuk memahami novel ini sebab banyak hal yang dirajut Seno yang menjadikan novel ini multi tafsir. Mulai dari keadilan, cinta, hingga gagasan filosofis mengenai “adanya dunia.” Dan tentu saja, mengenai pergulatan dengan takdir dan bagaimana seseorang tetap menjalani nasibnya, meskipun ia tahu ujungnya adalah omong kosong karena asumsi bahwa segalanya telah ditakdirkan. Namun, keputusan untuk tetap menjalaninya justru dengan sendirinya telah menjadikannya bermakna.
Novel diakhiri dengan kematian Hanuman, bersatunya Maneka dan Satya, serta pengakuan penulis cerita Kitab Omong Kosong. Siapakah dia? Adalah Togog, yang menyarankan untuk tidak membaca tulisannya karena hanya omong kosong belaka.
Apakah Seno, penulis asli cerita ini, menempatkan dirinya sebagai Togog? Mungkin saja begitu. Melalui Togog, ia menyampaikan berlembar-lembar omong kosongnya yang berbobot.
Demikianlah, mungkin resensi yang saya tulis ini juga sebuah omong kosong belaka.
Identitas buku:

Judul : Kitab Omong Kosong
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Bentang
Tahun terbit : Edisi IV, Cetakan Pertama, April 2021
Jumlah halaman : x + 446
ISBN : 978-602-291-800-4