Keraguan Parmin serta merta sirna. Dapur rumahnya yang sepi dari asap selama dua hari belakangan inilah yang telah melumat keraguannya. Dia coba redam detak liar jantungnya yang seakan menggila.
“Tadi Bu Haji datang lagi, memastikan apakah kita masih akan melanjutkan sewa kontrakan di sini atau tidak,” ucap Lastri, istrinya. Kata-kata itu kemarin menjelang malam mengusik telinganya yang masih menyisakan bising kota. “Bu Haji juga bilang,” tambah istrinya, “Kita harus pindah kalau dua hari lagi masih belum bisa melunasi tunggakan bulan kemarin dan bulan ini.” Parmin menangkap isak tertahan dari suara istrinya. ”Dua hari lagi?” Antara bertanya dan menjawab, Parmin mengulang ucapan istrinya yang sebenarnya cukup jelas terdengar di telinganya.
Istrinya mengangguk dan mendudukkan diri di atas karpet usang yang sudah tak layak lagi disebut karpet. Tak banyak barang yang bertahan di kontrakannya. Semuanya telah dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang tersisa hanya sebuah lemari untuk mereka berdua menyimpan pakaian, dan perangkat-perangkat masak di dapur. Tak ada lagi meja, kursi-kursi, atau televisi 21 inch.
Sebelumnya, Parmin merupakan seorang buruh di sebuah pabrik yang memproduksi dompet kulit imitasi di sebuah kawasan industri yang jika hujan akan kebanjiran dan jika kemarau matahari seakan bekerja sama dengan debu membungkus setiap jengkal kawasan itu. Kehidupannya yang pas-pasan tetap berhasil dijalani bersama istrinya yang belum juga bisa memberikan keturunan, meski mereka telah menjalin kehidupan bersama selama dua tahun.
Suatu ketika, salah seorang teman Parmin, yang juga bekerja di bagian yang sama dengannya, telah berbuat kesalahan yang fatal. Membuang sisa rokok yang belum sempurna mati ke tempat sampah di dalam ruangan yang sebetulnya terpampang tulisan besar berbunyi ”DILARANG MEROKOK”, lengkap dengan gambar sebatang rokok menyala dalam lingkaran merah yang diiris garis yang juga berwarna merah.
Kebiasaan melanggar peraturan ini memang sudah sangat biasa bagi mereka, termasuk Parmin sendiri. Hanya saja belum pernah ada yang sebodoh itu, sampai-sampai mengakibatkan kebakaran, sehingga pabrik terpaksa harus menghentikan produksinya untuk batas waktu yang tidak ditentukan dan merumahkan seluruh karyawan produksi.
Kabar terakhir dari si pembuat ulah adalah mendapatkan ancaman penjara karena kelalaiannya. Tapi Parmin tak peduli dengan nasib si pembuat ulah. Hatinya sudah terlalu sesak oleh masalah-masalah yang harus dihadapinya ke depan nanti. Dengan status barunya sebagai pengangguran, tak ada tempat untuk memikirkan temannya yang mengakibatkan dia dan ratusan karyawan lainnya harus menelan kepahitan yang nyata.
Dengan bekal pesangon yang minim, Parmin pernah mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukannya, yaitu berjualan. Dengan sedikit kenekatan tanpa pengetahuan yang cukup tentang jual beli, dia pernah mencoba berjualan gorengan di pinggiran jalan yang tak jauh dari lingkungan tempat dia tinggal. Tapi hanya bertahan sepuluh hari. Hambatan-hambatan terjal yang menjegal usahanya benar-benar di luar perkiraan.
Pembeli yang sepi, abang jago yang meminta jatah, persaingan dan pengalaman di bidang usaha yang masih nol telah membuatnya menyerah dan ingin kembali bekerja. Hanya saja, sebagai lelaki kampung yang merantau tanpa bekal pendidikan yang tinggi, usahanya untuk mendapat pekerjaan kembali sia-sia dan selalu mentah oleh ucapan “sedang tak ada lowongan untuk yang beriijazah SMP”. Parmin kembali terjebak dalam ruang beku yang tak memberi kesempatan untuk menjernihkan pikirannya. Pulang ke kampung halaman bukanlah pilihan, karena dirinya hanya tersisa sendiri dan tak memiliki kekayaan untuk dikelola. Ke kampung halaman istrinya pun sama saja.
Semakin lama semakin buntu. Kebutuhannya untuk menyambung hidup membuat benaknya semakin menghitam. Terlintaslah pikiran itu. Sebuah rencana untuk menjambret orang yang kelebihan harta. Parmin berpikir, mereka adalah orang kaya yang tak tahu lagi harus ke mana membuang uang mereka. Bukankah ada hak orang yang tidak mampu pada harta orang-orang yang mampu tersebut, dan dirinya merasa sangat yakin sekali bahwa dia termasuk ke dalam orang yang tidak mampu tersebut.
Parmin merasa dia hanya mengambil haknya saja yang masih belum diberikan oleh mereka. Parmin hanya akan mengambil sedikit saja. Dan mereka tak akan kehilangan banyak. Mereka tak akan dirugikan dengan kehilangan yang sedikit itu. “Dengan begitu, harta mereka juga terbersihkan”. Begitu yang ada di benaknya.
Dan kini, di pojokan sebuah halte dekat pusat perbelanjaan, mata Parmin menyapu. Mencari secelah kecil kesempatan untuk menjalankan aksinya. Sapuannya terhenti pada sosok perempuan gemuk setengah tua yang dandanannya selangit. Jari-jari gemuknya terlihat baru saja memasukkan dompet dan telepon genggam ke dalam tas yang dicantelkan pada lengannya yang menyerupai akar pisang.
Jantungnya berdebar-debar tak berirama. Rasa takut sempat terbesit, tetapi bayangan akan kebutuhan hidupnya menghanguskan rasa itu. Dengan kebulatan hati yang dipaksakan, Parmin mengikuti perempuan yang dipilih sebagai mangsanya itu. Orang yang lalu-lalang tidak sedikit memang, “tapi persetan dengan itu”. Dia membatin. Parmin mengikuti pada jarak yang aman menunggu mangsanya lengah.
Perempuan itu berhenti. menghadap jalan. Tampaknya hendak menyebrang. Inilah saatnya, parmin memutuskan. Parmin sudah tak lagi merasakan dirinya secara utuh. Antara sadar dan tidak. Antara percaya dan tidak dengan apa yang akan dia lakukan. Parmin merenggut paksa tas tersebut dengan kekuatan sepenuh yang dia miliki. Perempuan itu kaget mendapatkan serangan yang begitu mendadak. Sempat terjadi tarik menarik, dan Parmin keluar sebagai pemenang.
Ini adalah operasi penjambretan yang pertama baginya. Semua rencana yang telah dia susun arah mana dia akan berlari nantinya malah buyar. Bahkan lenyap. Akhirnya Parmin berlari tak tentu arah. Sensasi ketegangan membuatnya panik.
Lama-lama setelah setengah perjalanan dalam upayanya meloloskan diri, sensasi tegang tadi yang dia rasakan berangsur hilang. Indra-indranya yang sempat mati rasa oleh ketegangan mulai kembali menemukan kepekaannya.
Telinganya mulai bisa mendengar kegaduhan di belakang yang sebelumnya tak disadarinya. Teriakan perempuan itu telah mengundang semua mereka yang berada di sekitar, yang tanpa perintah, dengan senang hati mengejar Parmin.
Rasa tegang yang semula melanda tergantikan oleh rasa takut. Kakinya semakin melambat seirama dengan kinerja otaknya yang dilanda bingung, sementara, di belakangnya para pengejar semakin mendekat dengan jumlah yang sepertinya semakin berlipat. Riuh suara mereka semakin terdengar jelas di sela-sela sengal napas yang semakin payah. Perut bagian kirinya terasa sakit karena memaksakan berlari, pandangannya tak jelas terhalang kunang-kunang yang tak nyata. Dan tiba-tiba… bukkk.
Parmin tak tahu apa yang menghantam tengkuknya, tapi itu sudah cukup untuk menghilangkan setengah kesadarannya yang tadi sempat hilang timbul oleh kelelahan. Tetapi para pengejarnya tak mau tahu dan tak mau peduli, mereka menghantamkan bogem mereka tanpa ampun.
Tubuh Parmin koyak. Setiap jengkal tubuhnya adalah nganga luka dengan disertai amis darah. Dia tak sanggup lagi bernapas karena hidungnya tertutup oleh darah segar yang keluar dari lubang hidung. Di sisa kesadarannya, Parmin merasa tubuhnya basah oleh sesuatu yang dia yakin bukan keringat tubuhnya.
Ternyata seseorang telah menyiramkan bensin ke seluruh tubuhnya. Tak lama otaknya sadar bahwa dia telah dibakar, tetapi tubuhnya sudah tidak mampu lagi bergerak bahkan untuk berdiri sekalipun. Tubuhnya hanya menggelepar satu kali, untuk kemudian tak bergerak lagi. Nyawanya terbang meninggalkan raganya yang masih dinanti oleh istrinya di kontrakan yang sewanya masih tertunggak.
***
Belasan kilo dari lokasi jasad Parmin, seorang perempuan tengah diminta untuk pergi oleh seorang perempuan yang lebih tua karena tak lagi sanggup membayar sewa. Si perempuan yang tengah diminta pergi memberikan alasan bahwa dia tengah menanti suaminya yang akan segera pulang membawa uang untuk melunasi semua biaya sewa yang belum terlunasi, tetapi sang pemillik tetap pada pendiriannya.